Jacob Mandel sore itu baru saja selesai memantau perkebunan dan peternakan miliknya. Luas perkebunannya, sedikitnya ada 35,5 juta hektar. Sebagian besar ditanami gandum, kelapa sawit, anggur, jagung, beberapa tanaman bunga, dan lain-lain.
Peternakannya sendiri, sedikitnya seluas 395 juta hektar padang rumput, di mana 333 juta hektar di antaranya digunakan untuk penggembalaan ternak.
Hingga kini, peternakan yang dikelola Jacob secara turun temurun sejak tahun 1800-an telah memiliki 30.000 ekor sapi perah, dan mengelola sekitar 19.000 sapi potong yang menjadikannya salah satu produsen susu sapi dan sapi potong terbesar di dunia.
Mandel Hills didirikan lebih dari 200 tahun yang lalu oleh empat keluarga dan memiliki hanya 1.000 ekor sapi pada awalnya, dan 10 ekor kuda. Dan kini, peternakan itu sudah memiliki sekitar 2000 ekor kuda, dengan 50 karyawan yang tinggal di area peternakan.
Tubuh lelahnya telah membawanya untuk segera membersihkan diri dan menemui ibunya tercinta.
Wanita paruh baya yang masih setia menanti kabar bahagia dari kedua putranya, atau setidaknya salah satu dari mereka pulang ke rumah dengan membawa seorang gadis, dan memperkenalkannya sebagai calon menantunya.
"Apa kabar wanita tercintaku sore ini?" sapa Jacob seraya mengecup ke dua pipi ibunya, Jen. Kependekan dari Jennifer.
Jen, sedang duduk santai di ruang keluarga. Tempat yang biasa Jen gunakan untuk menghabiskan waktu selagi menanti putra ke duanya pulang dari perkebunan atau peternakan.
Jen mengenakan long dress warna salem. Rambutnya yang mulai memutih disanggul kecil di belakang. Memperlihatkan lehernya yang mulai termakan usia.
"Mom akan lebih bahagia, jika kau pulang tidak dengan tangan hampa," Jen mulai menyindir putra ke duanya.
Jacob mengerang mendengar ucapan ibunya itu. Merasa keberatan.
"Mom ... Javier saja belum pernah membawa satu orang gadis pun ke rumah ini. Bagaimana mungkin aku mendahului kakakku?" Jen mencibir mendapat jawaban mengelak khas Jacob.
Selalu berlindung di balik nama kakaknya. Yang entah sudah berapa lama belum juga kembali ke kampung halamannya.
Javier setiap kali menghubungi satu-satunya orang tua yang masih hidup di tempat kelahirannya, selalu berdalih dengan kesibukannya mengelola beberapa perusahaan di kota.
Berjanji pekan depan akan pulang, namun hingga bulan berganti, Javier masih belum menampakan batang hidungnya lagi di rumah yang besar itu.
Jacob dan Jen memang hanya tinggal berdua di rumah peninggalan mendiang ayahnya, yang meninggal hampir dua hingga tiga belas tahun lalu, saat Jacob baru berusia sekitar lima belas tahun dan Javier dua puluh tahun.
Sejak saat itu, Jacob muda mulai terjun mengelola perkebunan dan peternakan milik keluarganya. Dengan dibantu Javier, sang kakak yang telah lebih dahulu terjun di perkebunan dan peternakan Mandel Hills.
Setelah melihat kecakapan Jacob mengelola Mandel Hills, Javier kemudian merantau ke kota, berbekal ijazah S2nya, memulai bisnis dari bawah bersama beberapa rekan kepercayaannya, dan perlahan bisnisnya maju dan berkembang, hingga memiliki beberapa anak perusahaan.
Kegemaran Javier sering berganti pasangan sejak masih di pedasaan, membuat Jen tidak terlalu mengharap lebih terhadap perkembangan hubungan percintaan putra sulungnya itu.
Apalagi berharap yang dibawanya ke rumah untuk diperkenalkan pada Jen adalah seorang gadis. Terlebih gadis polos. Javier tidak menyukai gadis yang terlalu polos, menurutnya itu kuno dan membosankan.
Berbeda dengan Jacob, yang sering kali bersikap dingin terhadap wanita. Jen pernah mencoba mendekatkan Jacob dengan salah satu anak gadis dari karyawan kepercayaannya.
Hasilnya, di luar harapan Jen dan Hansen–karyawan senior, ayah sang gadis, Shasa.
Bukannya mengeratkan hubungan. Jacob membuat Shasa menangis pada kencan pertamanya. Dan membuat Shasa enggan bertemu muka dengan Jacob, meski ia termasuk salah satu pekerja di peternakannya, sebagai pemerah susu.
"Apa yang kurang pada Shasa?" tuntut Jen meminta klarifikasi dari Jacob.
Bagaimana bisa, gadis sebaik dan secantik Shasa dibuat menangis oleh Jacob. Dan Jacob hingga hari ini tidak pernah memberikan jawaban yang sebenarnya.
Jacob hanya beralasan, dirinya tidak menyukai Shasa. Itu saja. Tidak ada alasan lain. Sehingga akhirnya Jen melupakan peristiwa lima tahun lalu itu.
Kembali ke ruang keluarga, setelah pembicaraan mengenai calon istri yang keberadaannya entah ada di mana, Jacob mengundurkan diri dari ruangan itu. Mengecup sekali lagi ke dua pipi wanita kesayangannya, dan memeluknya.
"Jangan lupa temani wanita tua ini makan malam," pesan Jen sebelum Jacob berlalu dari hadapannya.
"Tentu, Mom. Aku akan minta bibi Lee membangunkanku nanti saat makan malam akan tiba.
Bibi Lee adalah pengasuh Jacob dan Javier sejak lama, sejak Jacob masih dalam buaian dan Javier lima tahun. Bagi Jacob atau Javier, keberadaan bibi Lee sudah seperti ibu ke dua bagi mereka.
Jacob membuka baju flanel kotak warna birunya, menyampirkannya di kursi, menyisakan kaos tipis yang melekat di tubuhnya yang atletis, kemudian merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang nan empuk.
Sebentar saja kepalanya menyentuh bantal, jiwa Jacob telah berkelana ke alam bawah sadar.
Jauh berkelana ke alam lain.
Jacob terbangun tiba-tiba karena merasakan sesuatu yang berbeda dari balik punggungnya. Permukaan empuk menghilang, tergantikan dengan permukaan yang keras dan terasa lembab.
Susah payah Jacob membuka matanya. Penasaran akan apa yang terjadi dengan ranjang empuknya.
Kini, ia tahu mengapa ranjang empuknya menjadi keras dan lembab. Jacob terbangun di tengah-tengah padang rumput. Serupa dengan tempat miliknya untuk membiarkan bebas ternak-ternaknya berkeliaran sambil digembala oleh beberapa pekerjanya.
Namun, padang rumput yang luas itu sekarang kosong. Tidak ada satu pun hewan ternak miliknya yang digembala di sana.
Ke mana mereka? Tanya Jacob dalam pikirannya.
Ia pun beranjak dari pembaringan, melihat sekelilingnya yang tampak hijau, sejauh mata memandang. Lama ia bergeming di tempat itu. Menunggu. Namun, tidak ada sesuatu pun yang terjadi.
Jacob kemudian memutuskan untuk berjalan, menyusuri padang rerumputan yang tampak asing. Hingga langkahnya terhenti, karena indra pendengarannya menangkap sesuatu. Sebuah suara. Suara yang asing, dengan bahasa yang belum pernah ia dengar sebelumnya.
Netranya menyusurui setiap bentangan padang rumput yang masih seperti semula. Kosong. Tidak ada siapa pun di sana, selain dirinya.
Perlahan Jacob merasa dirinya mulai gila. Suara-suara itu makin terdengar jelas, namun tak kasat mata. Ia tidak memahami bahasa apa itu, terdengar menyayat hatinya. Makin lama menghilang dan tersisa seperti suara rintihan. Lagi-lagi dengan bahasa yang asing, seperti bukan bahasa makhluk bumi.
Di tengah kekacauan pikirannya. Jacob memejamkan matanya. Berharap, saat ia membuka matanya kembali, ia telah berada di kamarnya dengan ranjang empuknya.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga Menit.
Empat menit.
Lima menit.
Hingga Jacob merasa telah sepuluh menit berlalu, suara itu makin nyata terdengar. Perlahan, ia memutuskan untuk mengintip dengan sebelah matanya.
Hal mengejutkan terjadi ....