Tengah malam, Chika terbangun. Entah apa yang membuatnya susah tidur. Dia ambil hp yang ada di dekatnya, dan memandanginya dengan wajah kecewa.
"Ray, sekejam itukah aku kepadamu?" tanyanya dalam hati sambil memandangi pesan yang dia kirim.
Dia begitu sedih mengetahui raymond hanya membaca pesannya tanpa membalasnya.
"Tidak, Chika. Lo gak boleh kalah dari dia. Lo musti bangkit," kata suara hatinya.
Namun, di sisi lain membisikinya, "Chika, lihat perbuatan lo. Lo nyesel kan sekarang?"
Chika hanya terdiam. Dia pandangi kamarnya yang begitu gelap tanpa berbicara apapun. Sambil menghela nafasnya.
"Gue musti bangkit apapun itu. Gue gak boleh larut dengan kesedihan gue. Lagian, cowok di dunia ini tak hanya dia. Okelah kalau dia tak membalasnya. Waktunya buat gue untuk move on," katanya dalam hati sambil meyakinkan dirinya.
Dia taruh kembali hpnya, dan langsung tidur. Di hari-hari selanjutnya, Chika berusaha keras untuk move on dari Raymond. Dia tampak kembali ceria. Hubungannya dengan Dandy pun semakin dekat. Tak jarang mereka menghabiskan waktu berdua. Karena kedekatannya, diam-diam Dandy menaruh rasa cintanya pada Chika, namun dia tak berani mengungkapkannya. Mereka tetap berteman akrab.
Setelah sebulan berlalu, tanpa terasa Ujian Akhir Semester akan tiba. Siang itu adalah hari terakhir bimbingan belajar yang diikutinya. Chika berusaha mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Seperti biasa, dia datang lebih awal dan menunggu di depan kelasnya sambil membaca buku. Mengetahui hari itu adalah hari terakhir bimbel, Dandy merasa inilah saatnya untuk mengungkapkan perasaannya.
"Uhm, ini mungkin saat yang tepat," katanya dalam hati.
Dia mendekati Chika yang tengah terdiam. seperti biasa, dia sapa Chika yang tengah duduk di depan kelas. Sejenak, Dandy heran melihat Chika membaca manga. Seperti biasanya, dia langsung menyapanya.
"Eh, Chika. Tumben-tumbenan lo baca manga?" sapanya dengan senyum ramah.
Chika menutup buku bacaannya. Dia pandangi Dandy dengan senyum manisnya.
"Oh, lagi pingin aja kok. Gue dikit gabut nih ama pelajaran Biologi. Mana hari ini kita ada biologi sih. Mngkin karena hari terakhir, jadwal kita lebih panjang," balas Chika.
Dandy mengernyitkan dahinya. "Oh ya? Gue lihat sih lo udah ada peningkatan di bidang biologi, Chik."
Chika hanya menggelengkan kepalanya. Dia menghela nafas panjangnya.
"Entahlah, Dan. Gue ngerasanya kayak masih kurang untuk masuk ke fakultas kedokteran. Padahal, itu cita-cita gue dari kecil. Tapi, dengan peguasaan gue di pelajaran bio, kayaknya gue bakalan gagal deh," katanya dengan wajah sedih.
Dandy menyentuh pundak Chika dengan lembut.
"Chika, lo jangan nyerah. Gue akan selalu dukung lo. Gue percaya, lo pasti bisa meraih cita-cita lo," katanya dengan nada lembut.
Chika terdiam. Dia kembali memandangi Dandy. "Thanks, Dan. Gue gak akan nyerah."
Dandy hanya tersenyum dan mengangguk. Dia lalu mengajak Chika untuk makan siang sambil menunggu jam belajar tiba.
"Chik, kita makan siang di warung depan ya. Laper nih gue," ajaknya.
"Oke, gue juga haus banget. Tadi abis olah raga," balas Chika.
Mereka berdua langsung berjalan ke warung depan dan langsung memesan makanan. Tanpa sepengetahuan mereka, Shelly dan Rinda ternyata ada di warung itu. Mereka tengah asyik menikmati bakso bakar di tempat itu.
"Shell, lo ini tahu aja ada bakso bakar seenak ini? Beneran nih, pedesnya minta ampun. Enak lagi kuahnya," kata Rinda sambil menikmati hidangan itu.
Shely tersenyum. "Yah, gue pernah diajak sama Bang Firman makan di sini. Sumpah, ni bakso bakar enak banget."
Mereka berdua saling bercanda sambil menikmati bakso bakar itu. Namun, di tengah perbincangan, Shely tiba-tiba memandang ke suatu tempat. Dia terdiam. Rinda yang melihatnya melambaikan tangan di depannya.
"Shell … Shelly. Kok lo bengong?" tanyanya sambil melambaikan tangannya.
Shely terkejut. Dia buru-buru memandangi Rinda yang ada di depannya.
"Uhm … I—Iya, Rin. M—Maaf gue tadi meleng," katanya gugup.
Rinda memandanginya. "Lo tadi lihat apa sih? Kayak lihat monyet masuk warung aja."
Shely menarik nafas panjang. Pandanganya kembali tertuju pada Chika dan Dandy. Wajahnya tampak kecewa. Rinda yang merasa penasaran memperhatikan kemana Shelly memandang.
"Eh, Shely. Udah deh, biarin aja mereka. Toh mereka gak ada hubungan ama kita," kata Rinda mengingatkan.
Shely berkata, "Rinda, itu Chika. teman dekatnya Raymond."
Mendengar perkataan Shely, kemarahannya pun muncul. Rinda menatap Chika dengan wajah marah.
"Oh, jadi tuh cewek yang namanya Chika? belagu amat sih tuh anak," katanya dengan nada marah.
Rinda langsung bangkit dari duduknya dan mendatangi Chika yang tengah berdua dengan Dandy. Shelly terperanjat begitu melihat reaksi Rinda. Dia berusaha mencegahnya.
"Rinda, sudah. Jangan bikin ribut. Gak enak dilihat orang," kata Shelly berusaha mencegahnya.
Namun, Rinda yang tenaganya kuat langsung menepis tangannya. Tanpa bicara dia mendatangi Chika yang tengah duduk berdua dengan Dandy.
"Jadi Lo yang namanya Chika?" kata Rinda sambil menatap tajam ke arah Chika.
Chika dan Dandy terkejut memandanginya. Rinda langsung menunjuk ke arah Chika.
"Chika. Ada yang mau gue omongin. Kita ngomong di luar," katanya dengan nada tegas.
Dandy memandangi Rinda dengan wajah keheranan. "Eh, siape lo? Kita gak ada masalah ama lo."
Rinda memandang tajam pada Dandy. "Diem lo! Belum tahu siape gue, Hah?" bentaknya.
Dandy terkejut. Dia langsung berdiri dan menatap Rinda dengan tatapan tajam.
"Emang siapa lo?" katanya dengan nada tenang.
Tanpa bicara, Rinda langsung memukul wajah Dandy dengan keras dan membuatnya terhuyung. Pemilik warung langsung melerai pertengakaran itu.
"Udah, Neng. Jangan berantem di sini. Waduh, bisa amsyong nih warung ane," katanya dengan nada khawatir.
Shelly langsung mendatangi Rinda. Dia berusaha menenangkannya.
"Rinda, udah. Jangan ribut," katanya berusaha menenangkannya.
Rinda memandangi Dandy dengan tatapan tajam. "Lo jangan belagak jadi hero buat nih cewek. Ngerti gak?"
Chika langsung bangkit dari duduknya. Dengan wajah tenang, dia pandangi Rinda.
"Oke, gue akan keluar. Tapi, biar gue bantu teman gue dulu," katanya.
Rinda mengangguk. "Oke, gue tunggu Lo diluar.
Dia menunukuk ke wajah Chika, lalu berjalan keluar dan menunggu Chika.
Shelly yang merasa malu langsung membayar pesanannya dan membungkus hidangan itu, lalu keluar bersama Rinda. Tak lama kemudian, Chika benar-benar keluar dan menemui Rinda.
"Oke! sekarang lo mau ngapain?" tanya Chika dengan tenang.
Plak!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Rinda yang begitu marah menamparnya berulang kali. Chika yang tak terima hendak membalas, namun Rinda berhasil menangkisnya.
"Heh, cewek manja. Emang lo siapa yang seenaknya mencampuri urusan pribadi orang?" bentak Rinda.
Chika meradang. "Gue gak paham maksud lo! Apa sih maksud lo?"
Rinda kembali memandangi Chika dengan wajah marah.
"Lo tahu, Raymond itu teman gue. Lo buat dia sedih karena gengsi lo. Emang Lo gak bisa selesaikan secara baik-baik? Emang segede itukah gengsi lo ama cowok sebaik dia?" bentaknya.
Chika pun tak mau kalah. "Oh, jadi lo jubirnya Raymond hah? Emang apa sih untungnya kalo gue ladenin lo?"
Rinda makin emosi mendengar perkataan Chika. Dia kembali marah dan bersiap memukul Chika. Namun, Shelly langsung mencegahnya.
"Udah, udah. Rinda, please jangan ribut. Gak enak," kata Shelly sambil menengahi.
Rinda terus merangsek, namun Shelly berusaha menenangkannya. Chika rupanya tak gentar.
Dia kembali berceloteh, "Dasar cewek gorilla. Emang, lo pikir gue takut apa?"
Mendengar perkataan Chika, Rinda yang terbakar amarah makin kuat merangsek. Dia sempat menjambak rambut Chika. Shelly berusaha keran memisah pertengkaran sengit itu. Dengan di bantu Dandy yang tiba-tiba keluar, akhirnya mereka berhasil di pisah.
"Chika. Udahlah. Jangan di terusin," kata Dandy membujuk Chika.
Sementara itu, Shelly berusaha keras membujuk Rinda.
"Rin, udah. Gini aja, biar gue yang bicara sama dia," katanya membujuk Rinda.
Perlahan, Rinda mulai tenang, namun dia masih menatap Chika dengan wajah marah. Sejenak, Rinda menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya.
"Oke, gue percaya sama lo. Gedek gue ngadepin cewek belagu kayak dia!" katanya dengan nada tinggi.
Shelly mengangguk. Dia langsung menemui Chika.
"Chika, lo ingat gue kan?" katanya dengan nada serius.
"Uhm, lo …." Dia berusaha mengingat. Setelah berfikir sesaat, akhirnya Chika teringat. "Ah iya. Gue ingat."
"Lo Shelly kan? Yang model di cover majalah itu," kata Chika yang berhasil mengingatnya.
Shelly mengangguk. "Iya."
Shelly diam sejenak. Dia lalu melanjutkan perkataannya.
"Chika, gue minta maaf sama kelakuan teman gue. Tapi, dia memang begitu karena dia perduli pada Raymond. Dan, waktu lo begitu marah kepadanya, dia sedih. karena itulah dia marah."
Shelly menceritakan bagaimana sikap Raymond kala itu. Agak lama dia menjelaskan apa yang di alami Raymond. Dalam hatinya, Chika merasa bersalah.
Wajahnya tampak sedih mendengar cerita Shelly, namun dia tetap berusaha tenang.
"Itulah sebabnya mengapa temen gue begitu," kata Shelly mengakhiri penjelasannya.
Chika mengangguk. "Uhm, gue sama dia sudah jalan sendiri-sendiri, Shel. Gue sadar, mungkin selama ini gue keterlaluan. Gue ngaku salah, tapi dia sudah terlanjur kecewa. Gue gak mau kecewakan dia untuk yang kedua kalinya. Gue udah maafin dia, dan gue anggap masalah selesai."
Shely mengerti. "Ok, Chik. Gue ngerti. Maafin teman gue ya."
Chika hanya mengangguk. Shelly segera mengajak Rinda untuk pulang.
Sepeninggal Rinda dan Shely, Chika kembali mengajak Dandy ke dalam warung dan makan siang. Di sana, mereka kembali terlibat dalam sebuah percakapan.
"Uhft. Gile tuh cewek. Tenaganya kayak badak," kata Dandy sambil memegangi wajahnya yang lebam di pukul Rinda.
Chika tersenyum. "Sudahlah, Dan. Lupain masalah tadi."
Mereka berdua kembali terlibat dalam percakapan ringan sambil menikmati hidangan itu. Setelah beberapa saat, mereka langsung kembali ke tempat bimbel.