Tak terasa, Ujian Akhir Semester sudah tinggal seminggu. Raymond telah menyelesaikan bimbelnya, dan pretasi belajarnya pun meningkat.
Ibunya begitu senang melihat perubahan pada diri Raymond. Karena perubahannya, kini ibunya jarang sekali mengomel. Entah apa yang ada di pikiranya, pagi itu dia sarapan bersama ayah dan ibunya. Timbul niat iseng Raymond.
Dia berkata sambil tersenyum memandangi ibunya, "Ma, Pa. akhir-akhir ini rumah semakin sepi saja. Biasanya kan tiap pagi mama berteriak-teriak, sekarang kok diam ya?"
"Iiiih, ini anak. Emangnya kamu mau mama terus teriak-teriak gitu? Capek tahu," balas ibunya dengan wajah jutek.
Ayahnya menimpali perkataan Raymond. "Tapi, Ma. Beneran lho. Kalau mama gak teriak-teriak rumah terasa sepi."
Dengan gemas, Anggi mencubit lengan Robby, suaminya. "Iiih, papa sekongkol ya sama Raymond."
"Aduh, Ma. Ampun …" Robby meringis kesakitan sambil tertawa.
Raymond tertawa renyah melihat tingkah lucu sang ayah.
"Tahu gak, kadang Raymond kangen dengar teriakan mama. Biar bagaimanapun, setelah itu hilang, eeeh ternyata ada rasa kangen juga," katanya sambil bercanda.
Anggi memandangi anaknya dengan senyum manis sambil menggelengkan kepalanya.
"Sudah, Raymond. Jangan buat mama marah. ntar mama cepat jadi nenek lho. Buruan gih, habisin tuh sarapan lalu berangkat sana," balasnya dengan nada pura-pura marah.
Raymond menurut. Segera dia habiskan sarapannya dan berangkat ke sekolah. Sepeninggalnya, Robby dan Anggi kembali bercengkrama.
"Lihat, Pa. Anak kita sekarang lebih rajin belajar," kata Anggi dengan perasan senang.
"Iya, Ma. Papa ikut senang melihatnya," kata Robby sambil memandangi istrinya.
Dengan gemas, dia sentil hidung istrinya. "Terima kasih, Ma. Kalau gak ada mama, mungkin dia gak jadi apa-apa."
Anggi tersenyum mesra. "Sudahlah, Pa. Raymond kan buah cinta kita. Papa juga mendidiknya dengan baik kok."
Mereka sejenak saling pandang dengan tatapan mesra sambil menikmati sarapan paginya. Dan, tak lama kemudian Robby langsung pamit untuk bekerja.
Sementara itu di sekolahnya, Chika tampak terdiam di sebuah bangku di depan lapangan basket. Dia menatap jauh ke depan. Wajahnya tampak bingung. Berulang kali dia membaca pesan dari Dandy.
"Dandy begitu baik. Dia juga tampan dan pandai. Tapi, apakah pantas aku terima cintanya, sedangkan hingga saat ini aku sebenarnya berharap Raymond kembali?" katanya dalam hati sambil berulang kali melihat pesan di hpnya.
Chika langsung menutup pesan dari Dandy. Dia kembali membuka kotak dialog dengan Raymond. Dilihatnya pesan yang dia kirim sebulan lalu. Ternyata, tak berbalas. Wajahnya begitu sedih.
"Raymond, sekejam itukah aku kepadamu? Maafkan aku, Ray. Aku terlalu menyayangimu," katanya sambil memandangi pesan itu.
Ingatannya kembali ketika dia begitu emosi kepada Raymond. Kedekatannya dengan Dandy pun tak sanggup menghilangkan kenangan indahnya bersama Raymond.
"Ray, kenapa begitu susah ngelupain Lo? Gue udah lakuin apapun buat ngusir bayang-bayang Lo, tapi kenapa tak bisa? jujur, gue sulit menerima kenyataan kalau gue sayang sama Lo," keluhnya dalam hati sambil menatap pesan yang tak berbalas itu.
Wajahnya tampak sedih. Ketika tengah terdiam, Rita yang melihat Chika langsung duduk dan menepuk pundaknya.
"Yeee! Tuan Putri, kok melamun sih? Besok padahal minggu tenang lho. Fokus hadapi UAS dong," sapanya dengan senyum lebar.
Chika berusaha tersenyum. "Ah Lo bikin kaget gue aja. Gue gak kenapa-napa tuh."
Namun, Rita yang mengetahuinya hanya tersenyum simpul. Dia menggelengkan kepalanya.
"A ... a … a," katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya dan menggoyangkannya.
Chika berusaha menutupi kegalauannya. Dia langsung menutup layar hpnya dengan buku dan berusaha menyangkalnya.
"Iih, serius, Rita. Gue baik-baik aja kok."
Rita tetap tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya. "Kali ini, lo gak bisa bo'ong, Chik. gue tahu apa yang lo harap. Lo masih mengharap kehadiran Raymond kan?"
"Enggak, Rit Itu gak bener," balas Chika dengan wajah memerah.
Rita hanya tersenyum simpul. Dia duduk di sebelah Chika dan merangkulnya.
Sambil tertawa, Rita berkata, "Nah, gue dari tadi lihat Lo mantengin HP mulu kayak mantengin singkong basi aja. Hayo ngaku ...."
Wajah Chika memerah. Dia buru-buru menutup layar hpnya dan menyangkal.
"Iih, apaan sih, Rit. Kagak, gue gak begitu kok. lagian gue sama dia udah sepakat jalan sendiri-sendiri," balas Chika berusaha menyembunyikan perasaannya.
Rita hanya tersenyum memandangi Chika.
"Oh, jadi udah jalan sendiri-sendiri ya? Tapi kok wajah Lo begitu sedih? Bukannya Lo mustinya tenang dan gak kepoin dia lagi?"
Chika hanya diam. Dia menunduk menahan malu. Dalam hatinya, dia masih berharap pada Raymond.
Dengan nada lembut, Rita kembali berkata, "Chika, sudahlah. Lo jangan terlalu gengsi mengakui cinta lo pada Raymond. Gue belum pernah ngeliat lo segitunya pada cowok selain Raymond. Gue juga perempuan, Chik. Sama kayak lo."
Chika hanya diam dan menundukkan wajahnya. Rita diam sejenak menatap Chika, lalu menatap jauh ke depan.
"Chika. Gue udah tahu perselisihan Lo dengan dia. Gue lihat sendiri, Chik," katanya sambil menatap jauh ke depan.
Chika. hanya diam tertunduk sambil menggenggam erat handphonenya.
Sambil memandangi Chika, Rita kembali bertanya, "Chik, coba lo jujur pada diri lo. Sebenarnya, apa sih yang buat lo tak seceria biasanya?"
Chika hanya diam. Dia begitu sedih, namun dirinya begitu enggan untuk menceritakannya. Sebagai sahabatnya, Rita mengerti.
"Oke, Chik. Gue gak maksa. Kalau Lo sedih, keluarin aja kesedihan Lo supaya gak terbeban," katanya sambil merangkul sahabatnya yang ternyata mulai menangis.
Chika tak dapat berkata-kata. Dia berusaha menyeka air matanya yang mulai menetes. Rita berusaha menenangkannya. Tak lama kemudian, jam masuk kelas berbunyi.
"Chika, sudah jam masuk kelas. Gue masuk duluan ya," katanya sambil memandangi Chika.
"Uhm ... Oke, Rit," katanya sambil memasukkan hpnya ke dalam tas.
Sejenak, Chika terdiam. Dia berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya berjalan masuk ke kelasnya. Waktu terus berjalan. Dan, hari itu semua murid kelas tiga pulang lebih awal.
Ketika Chika pulang, dia terkejut melihat Dandy yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah.
"Dandy?" kata Chika dengan wajah terkejut.
Dandy langsung mengungkapkan niatnya pada Chika. "Chik, kita jalan yuk. Mumpung pulang pagi nih."
Chika sebenarnya ingin menolak, namun dia tak sampai hati melihat Dandy. Tanpa berbicara, dia mengangguk, dan langsung naik motor yang di bawa Dandy.
Mereka langsung pergi ke sebuah tempat yang tak jauh dari situ. Di sebuah tepat yang indah, Dandy menepikan motornya. Dia mengajak Chika duduk di sebuah bangku taman.
Dandy langsung mengungkapkan perasaannya. "Chik, setelah beberapa lama gue kenal Lo, jujur gue mulai mencintai Lo.
Chika terdiam. Dandy kembali berkata, "Chika, gue belum pernah senyaman itu pada cewek. Lo selama ini cewek yang buat gue nyaman."
Dengan lembut, Dandy memegangi kedua tangan Chika. Dia pandangi Chika yang tampak kebingungan.
"Chika, gue sayang sama Lo. Gue pingin kita jadian. Apa Lo mau terima cinta gue?" tanyanya kemudian.
Mendengar perkataan Dandy, keringat dingin keluar. Chika begitu resah dengan perkataan Dandy. Dia terdiam.
Dandy yang melihat Chika terdiam memandanginya. Dia mengernyitkan dahinya.
"Chika, kok diem? Apa gue salah?" katanya dengan wajah keheranan.
Chika begitu gugup. "Uhm ... Ng--Nggak. Lo gak salah."
"Terus, kenapa Lo diam?" tanyanya kemudian.
Chika kembali diam. Dia seolah tak sanggup menjawabnya. Dandy memandanginya dengan wajah keheranan.
"Chik, kenapa Lo sedih? Apa yang buat Lo sedih?" kata Dandy dengan wajah keheranan.
Chika tetap diam. Dia mencoba mengendalikan kegundahannya. Dalam hatinya, dia tak ingin menyakiti Dandy yang baik kepada dirinya.
"Dan, Lo keren, baik dan juga smart. Tapi, apa gue pantas terima cinta Lo sedangkan gue masih mikir Raymond?" tanyanya dalam hati.
Chika kembali memandangi Dandy. Dengan wajah menyesal, dia akhirnya menjawab perkataan Dandy.
"Dandy, gue minta maaf sebelumnya. Lo begitu baik, dan juga care ke gue. Tapi, gue gak sebaik yang Lo kira," kata Chika mulai berbicara.
Dandy memperhatikan Chika dengan wajah serius. "Maksud Lo apa?"
Chika tercekat. Tampak kesedihan di wajahnya. Dia kembali memandang jauh ke depan.
"Dandy, Lo terlalu baik buat gue. Gue gak pantes untuk Lo cinta. Maafin gue, Dandy. Gue ... Gue gak bisa menerima cinta Lo."
Chika mulai menangis. Dia langsung beranjak meninggalkan Dandy.
"Chika, tunggu!" Dandy berteriak mengejar Chika.
Dia memegangi tangannya dan mencegah Chika untuk pergi.
"Chika, tunggu. Apa maksud perkataan Lo?" tanya Dandy dengan wajah serius.
"Dandy, gue mencintai cowok lain. Bukan Lo. Lo terlalu baik buat gue, Dan. Maafkan gue, biarkan gue sendiri," kata Chika di tengah tangisnya.
"Tapi, Chik. Gue sayang Lo. serius, apapun diri Lo, gue tetap menyayangi lo," balas Dandy.
Chika menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dandy. Gue gak bisa terima cinta Lo. Please, biarin gue sendiri."
Chika melepaskan pegangan Dandy dan berlari meninggalkannya. Dandy merasa kecewa karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia hanya diam memandangi Chika yang semakin menjauh dengan wajah kecewa . Sambil menangis, Chika terus berjalan pulang ke rumahnya.