Sore harinya, Chika terbangun dari tidurnya. Dia merasakan badannya begitu pegal.
"Uah! Pegel bener nih badan," katanya dalam hati sambil menggeliat.
Perlahan, dia membuka matanya. Dia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.
"Chika, ada Mayang di depan," kata ibunya dari balik pintu.
"Iya, Bu. Sebentar, Chika baru bangun tidur," balas Chika sambil sesekali menguap.
Chika langsung bangkit dan membereskan tempat tidurnya. Dia berganti pakaian rumah, dan langsung mencuci muka. Sejenak, dia melihat cermin kamar mandinya. Wajahnya masih tampak sedih, namun dia berusaha tenang. Setelah mencuci muka, dia berjalan ke ruang tamu. Di sana, Mayang telah menunggunya.
"May. Maaf, gue tadi kecapekan sampai lupa kalau ada janji sama lo," kata Chika menyampaikan permintaan maafnya.
Mayang tetap tenang. "Sudahlah, Chik. Lagian gue juga baru datang juga."
Mayang mengeluarkan tiket film bioskop yang dia pegang. Rupanya Mayang mengajak Chika menonton film korea terbaru. Dia berikan tiket itu pada Chika.
"Nah, ini tiket yang gue janjiin tempo hari. Bagaimana? Lo tertarik? Nih bintangnya keren lho," katanya dengan senyum manis.
Chika mengangguk. "Oke, kita berangkat aja sekarang, mumpung masih sore."
Chika segera pamit pada ibunya, lalu dia dan Mayang langsung menuju ke Mall untuk menonton film.
Sementara itu di waktu yang sama, Raymond tengah bersama teman bandnya. Mereka berkumpul di studio milik Boim. Sambil menunggu giliran, Raymond tampak serius mendengar musik dari pemutar MP3.
"Ray, gimana dengan music yang akan kita mainkan untuk festival esok lusa?" tanya Romi.
Raymond tampak berfikir keras. Dia selama ini tak begitu mengerti music jazz. Berulang kali dia mendengarkan alunan nada music jazz tersebut dengan serius. Berulang kali dia mencoba, namun tak tampak kepuasan di wajahnya.
Raymond berkeluh kesah. "Waduh, Rom. Lo bawa berita festival kok selalu music ginian sih? Dua kali kita gagal ikut karena gue gak paham music macam ini,"
"Ya gimana lagi, Bhro. Itu aja gue di beri info kakak gue. Kalau kita gol, kita bisa dapat duit gede. Kita bakal manggung di club jazz," kata Romi.
"Iya kalau berhasil, Rom. Kalau gagal kita tetap begini aja," balas Raymond.
"Ray, sesekali lah kita beranikan diri mengikuti festival ini. Lagian, gue juga mau belajar ketukan music jazz," kata Yusta menimpali.
"Tapi bhro, gue beneran belum tahu music jazz. Ini music terlalu berat untuk kita," keluh Raymond sambil berulang kali memutar lagu itu.
Victor yang dari tadi diam akhirnya berbicara. "Ray, music jazz ataupun klasik itu adalah dasar dari segala music. So, kenapa kita tak mencobanya? Ini kesempatan bagus lho buat ningkatin skill gitar lo."
Raymond terdiam sejenak. Romi kembali menimpali perkataan Victor. "Ray, lo ingat gak, dulu, lo begitu bodoh matematika. Lo begitu takut dengan matematika sampai berulang kali lari dari kelas. Nah sekarang? Lo bisa juga kan? Itu karena apa? Karena belajar. Walau awalnya Lo malas, sekarang coba lihat nilai matematika Lo. Meningkat kan? So, kenapa musti nyerah, Bhro?"
Deg! Mendengar ucapan Romi, Raymond terdiam. Dia kembali teringat Chika. Dalam hatinya, dia berkata, "Rom, kenapa lo buat gue ingat dia? Gue mau belajar matematika itu awalnya karena dia."
Melihat Raymond yang terdiam, Victor merangkulnya. "Bhro, menang atau kalah itu biasa. Kita gagal juga biasa. Bukannya sudah puluhan kali kita gagal juara festival music. Ayolah, kita coba yang ini."
Raymond kembali menyanggahnya. "Tapi itu kan karena gue mau ngebanggain orang tua gue. Beda lah dengan ini."
Boim yang mendengar diskusi mereka akhirnya nimbrung. Dia membawa biskuit untuk langganannya dan duduk diantara mereka.
"Ray, gue setuju sama Romi. Dia gak salah. Lo bisa kok buat bangga bokap nyokap lo dengan talentamu sekarang. Bukannya lo udah menghasilkan uang dari bermusik?" kata Boim sambil menaruh biscuit itu di meja.
Lalu, Boim menawarkan biskuit itu. "Ayo, dicicipi. Giliran kalian masih 30 menit lagi."
Mereka langsung mencicipinya. Sejenak, Raymond terdiam memikirkan perkataan teman-temannya. Dalam hati, dia membenarkannya. Sambil mencicipi biscuit itu, Raymond terus berfikir. Setelah agak lama, dia akhirnya mengerti.
"Oke, gue akan belajar," kata Raymond.
"Nah, gitu dong," kata Romi dengan senyum manis.
Raymond kembali berlatih sambil menunggu giliran memakai studio music itu. Dengan secangkir kopi, Raymond begitu konsentrasi memahami music itu. tak terasa, tiga puluh menit berlalu. Mereka langsung masuk ke dalam dan berlatih.
Waktu terus berjalan. Malam pun tiba. Kala itu, Chika baru saja tiba di rumahnya. Di kamarnya, dia tengah duduk di teras depan rumahnya. Dia melamun sambil memandangi pagar depan rumahnya.
"Ray, lo lagi ngapain? Gue kangen," katanya dalam hati.
Chika kembali teringat kenangan indahnya dengan Raymond. Dia tak sadar jika ibunya membawakan minuman hangat untuknya. Sang ibu hanya tersenyum melihat Chika melamun. Dengan lembut dia sapa putrinya.
"Hei, kok melamun dari tadi? Awas lho nanti digigit nyamuk," katanya dengannada lembut sambil duduk di sebelah Chika.
Chika terkejut. "Mama, ng—nggak. Chika gak melamun kok. Hanya mau nikmati udara malam."
"Nikmati udara malam atau mikirin seseorang ya?" balas ibunya sambil tertawa renyah.
Wajah Chika memerah. Dia mulai malu. Ibunya kembali berkata, "Nak, jujur aja. Mami tahu kamu melamun. Ayolah, cerita sama mami. Siapa tahu mami bisa bantu kamu."
Chika menghela nafasnya. Dia diam sambil memandang jauh ke depan. Setelah tenang, Chika mulai berkata, "Mam, apa Chika salah kalau mencintai seorang cowok?"
Ibunya tertawa renyah. "Chika mulai jatuh cinta ya?"
Chika hanya mengangguk. Ibunya tersenyum simpul. Dia menepuk lembut pundak Chika, dan membelainya dengan lembut.
"Nak, seorang wanita itu kodratnya mencintai seorang pria. Tentu itu tak salah. Hanya saja, kamu kan masih sekolah. Sebaiknya kamu fokus belajar dulu. Kejar cita-cita," kata ibunya.
"Chika maunya begitu, Mam. Tapi akhir-akhir ini Chika bingung harus bagaimana. Chika masih terus mikirin dia," kata Chika dengan nada sedih.
Ibunya tersenyum. "Nak, kamu ada masalah apa dengan dia? Coba ceritakan."
Chika akhirnya menceritakan permasalahan yang dia hadapi. Chika menceritakan kenangan indahnya dengan Raymond hingga perselisihan itu, dan terakhir mengenai Dandy yang mengungkapkan perasaan cintanya. Ibunya menyimak semua perkataan Chika. setelah panjang lebar dia bercerita, ibunya mencoba memberikan solusi.
"Nak, menurut mama, sebaiknya kamu katakana pada Raymond apa yang buat kamu marah. Katakan saja supaya semua bebanmu hilang. Kalau terus kamu pendam, kamu yang nantinya sakit," kata ibunya memberikan solusi.
"Tapi ma, dia pasti marah karena Chika ngejauhin dia. Chika kini menyesal, Ma," balas Chika.
Ibunya kembali tersenyum simpul. Dia pandangi wajah putrinya, dan berkata, "Nak, tak ada yang sempurna di dunia ini. Orang yang paling baik saja pernah melakukan kesalahan. Jangan malu meminta maaf, karena kita memang tempatnya salah dan lupa."
Chika mendengarkan perkataan ibunya. Ibunya kembali berkata, "Nak, mama dahulu pernah seperti kamu. Dahulu, mama juga terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan mama. Hingga suatu ketika, mama bertemu papa."
Sang ibu akhirnya menceritakan pengalaman masa lalunya. Dia menceritkan awal perkenalannya dengan pria yang sekarang dia nikahi. Rupanya, sang ibu waktu itu memiliki kesamaan sifat dengannya. Chika tersenyum mendengar cerita lucu di balik pernikahan ibunya dengan ayahnya. Cukup lama ibunya menceritakan masa lalunya.
"Nak, itulah masa lalu mama. Semenjak bertemu papa itulah mama mulai berusaha untuk berubah," kata sang ibu menutup ceritanya.
Chika mengangguk. Dia mulai tenang. Sejenak, dia mencicipi minuman hangat yang dibuat ibunya.
"Baik, Ma. Chika mengerti," jawabnya sambil menikmati minuman hangat yang di buat ibunya.
Sang ibu tersenyum. "Ya sudah. Omong-omong kamu sudah siap menghadapi UAS?"
"Tentu, Ma. Chika sudah siap," balas Chika.
Ibunya tersenyum. Dia langsung beranjak masuk ke dalam rumah, sementara Chika masih menikmati minuman hangat di depannya. Setelah ibunya pergi, Chika tampak begitu tenang. Dia pandangi bintang di langit yang cerah dengan senyum manis.
"Ray, gue akan selalu ingat kenangan indah kita. Andai gue boleh minta, gue akan minta pada Tuhan untuk pertemukan kita di lain waktu," kata Chika dalam hati.
Malam makin larut. Di kamarnya, Raymond tengah berbaring sambil memainkan gitar akustiknya. Dia mencoba memainkan music jazz yang tadi di mainkan di studio langganannya. Dia begitu menghayati permainan gitarnya.
Ketika tengah konsentrasi, dia dikejutkan dengan pesan masuk di hpnya. Sejenak dia hentikan permainan gitarnya. Dia ambil hpnya dan tampak sebuah notifikasi.
"Yah, Chika. Apa lagi sih?" gerutunya.
Raymond membuka pesan itu. Pesan itu berbunyi, "Ray, gue tahu mungkin gue terlalu gengsi dan egois. Gue minta maaf atas sikap gue ke lo selama ini, dan gue mau kita ketemuan setelah UAS nanti. Ada yang mau gue omongin. Top Secret."
Raymond menggelengkan kepalanya. "Ini cewek kenapa sih? Pakai Top Secret segala macam FBI aja deh," gerutunya sambil menaruh hpnya di dekatnya berbaring.
Dia coba kembali memainkan gitarnya, namun konsentrasinya terpecah. Hatinya mulai berkecamuk.
"Uh! Kenapa gue mikirin dia sih? Bukannya udah lebih baik gue menjauh, tapi kenapa sih gue tetap mikir dia?" keluhnya.
Dan, hpnya kembali berbunyi. Rupanya, Chika kembali mengirim pesan kepadanya. Pesan itu sama, dan tak lama kemudian pesan serupa dari Chika kembali masuk. Berulang kali Chika mengirim pesan yang sama. Dengan wajah marah, Raymond memandangi hpnya.
"Ugh! Nih pesan enaknya gue bales atau gak? Ngeganggu aja nih anak," keluhnya dengan nada marah.
Sementara itu, di kamarnya Chika berbaring sambil menatap messengernya. Dan, setelah beberapa saat, tampak keterangan bahwa Raymond mulai mengetik. Wajahnya kembali berseri ketika akhirnya raymond menyetujui ajakannya. Dia langsung mengirip pesan balasan.
"Oke, thanks Ray akhirnya lo balas pesan gue. Gue seneng banget. Untuk tempatnya gue kabarin nanti," berikut isi pesan balasan dari Chika.