Setibanya di Café Jawara, mereka berdua segera duduk di bangku yang kosong. Sambil melihat menu hidangan, Chika menatap Raymond yang tampak jutek. Dia hanya tersenyum simpul sambil melihat-lihat menu makanan dan minuman. Agak lama Chika memilih-milih menu masakan yang ingin di pesan. Raymond tampak mulai jengkel.
"Ih, nih cewek lama bener milih hidangan? Sebel gue!" keluhnya dalam hati.
Berulang kali dia lihat jam tangannya sambil menggelengkan wajahnya.
"Eh, Chika. Buruan ngomong dong. Gue mau pulang nih," katanya dengan wajah jutek.
"Sabar, Ray. Belum juga kita pesan hidangan," kata Chika sambil melihat-lihat daftar menu.
Raymond terdiam. Dia hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah jutek. Diam-diam, Chika hanya tersenyum sambil mencuri pandang.
"Uhm … oke. Ini gue belum pernah minum," katanya sambil mencatat pesanannya.
Dia lalu memberikan daftar menu pada Raymond. "Ray, lo pesen apa gitu. Masak lo biarin gue minu sendiri."
"Yah, gue lagi gak pingin pesen, Chik. Ayolah, gue pingin pulang nih," kata Raymond berusaha menolak.
Chika meyikapinya dengan senyum manis. "Ray, ayolah. Lo pesen apa kek supanya lo dikit relax gitu."
"Chik, udah deh. Buruan gih, apa yang mau lo omongin," kata Raymond mencoba menawar.
Chika hanya diam. Dia pandangi Raymond yang tengah jutek. "Ray, gue ulang tahun, dan gue mau ngerayain ama lo. Selain itu, ada hal lain yang mau gue sampein. Please, lo jangan tersinggung."
Raymond hanya menggelengkan kepalanya. "Oh, jadi lo sekarang ultah? Oke, met milad."
Chika membalas perkataan Raymond, "Makasih, Ray. Tapi, ada yang lain yang mau aku omongin sama lo."
Raymond kembali mengernyitkan dahinya. "Ya udah, ngomong sekarang."
Chika hanya diam. Dia langsung menulis sesuatu di notes, dan memanggil pelayan. Dia berikan daftar pesanannya. Setelah pelayan itu pergi, Chika kembali menatap cowok di depanya. Sejenak, dia menghela nafasnya.
"Ray, gue bener-bener nyesel dengan apa yang gue lakuin ke lo. Jujur, gue sedih setelah lo menjauh," kata Chika memulai pembicaraannya.
Dia kembali menghela nafasnya. Matanya mulai berkaca.
"Waktu lo benar-benar ngejauh, baru gue sadar kalau ternyata gue salah. Gue akuin, kadang gue terlalu egois dan gengsi untuk ngakuin hal itu. Tapi, hari ini gue rela malu ngakui kalau gue benar-benar kehilangan lo," lanjutnya.
Raymond hanya tersenyum sinis. "Chika. hanya itu? gue udah tahu kalau lo gak suka dengan kebiasaan merokok gue. Iya kan? Kenapa dulu lo gak terus terang? Kenapa lo langsung seenak jidat ngatur-ngatur gue?"
Chika hanya diam sambil menatap Raymond yang mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
"NIh, gue ngerokok depan lo. Dan lo musti tahu, gue memang begini. Inilah adanya gue. Dan, apa lo gak nyesel ngelakuin ini semua demi cowok berandalan seperti gue? Bukanya lo sangat popular di sekolah lo? Bukannya lo mudah mencari cowok idaman yang tajir melintir?" lanjutnya dengan nada sinis.
Percakapan mereka terputus ketika pelayang mengantarkan jus untuk Chika dan segelas kopi hitam. Raymond sedikit terkejut, karena dia tak merasa memesan segelas kopi.
"Pak, ini kopi pesanan siapa? Saya tak memesannya?" tanya Raymond dengan wajah keheranan.
"Maaf, Mas. Tadi di notes dituliskan meja ini juga pesan kopi hitam," kata Pelayan itu.
"Tapi …" kata Raymond sambil memandangi Chika.
"Sudah, Ray. Gue yang pesanin," kata Chika.
Raymond terdiam. Pelayan itu langsung pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah pelayan itu pergi, Chika kembali memandangi Raymond yang tengah menghisap rokoknya.
"Ray, gue memang dulunya anti sama perokok. Tapi, gue gak bisa bohongin diri gue. Silahkan lo merokok sekarang. Gue akan memakluminya," kata Chika sambil menatap Raymond.
Raymond terkejut. Dalam hatinya dia merasa jengkel. "Yah, nih anak makin aneh aja."
"Ray, ayo di minum kopinya. Gak enak lho kalau dingin," kata Chika dengan senyum manisnya.
Raymond akhirnya mencicipi kopinya, lalu kembali merokok. Chika kembali melanjutkan perkataannya.
"Ray, selama lo menjauh, gue benar-benar sedih. Lo tahu, gue selalu melihat pagar rumah gue dari kamar. Itu karena gue mengharap lo ke sana. Gue pingin ngeliat lo di depan rumah gue," katanya mulai mengenang masa suramnya.
Chika memandang jauh ke depan. "Ray, gue nyesel ngejauhin lo. Mungkin, gue lo anggap apa sekarang ini."
Dia mencicipi minuman di depannya. Lalu, dia kembali berkata. "Maafin sikap gue selama ini, Ray. Gue bener-bener nyesel. Please … maafin gue."
Raymond hanya diam. Chika memegang tangannya. Dengan lembut, dia berkata, "Ray, gue bener-bener minta maaf."
Raymond langsung melepaskannya. Dia menatap Chika dengan tatapan tajam.
"Chika. Lo ingat waktu lo usir gue? Gue malu! Malu sama teman-teman lo, Chika. Emang, gue sadar siapa gue dan di mana gue sekolah," katanya dengan nada marah.
Mendengar ucapan Raymond, Chika langsung menunduk. Perasaannya begitu tersayat melihat Raymond marah. Dengan nada marah, Raymond melanjutkan perkataannya.
"Chika, untuk apa siswa seperti Lo dengan segudang prestasi dekat sama gue yang hanya anak band? Sekolah gue lo tahu apa reputasinya. So, mendingan kita gak usah dekat aja daripada nanti lo dianggap jelek teman-teman lo," lanjutnya.
Raymond berniat beranjak. Dia langsung bangkit dari duduknya dan berjalan keluar. Chika berusaha mengejarnya. Dia pegang tangannya kuat-kuat, dan langsung berdiri di depannya. Sambil menangis, dia pandangi Raymond yang menatapnya dengan wajah marah.
"Ray, gue sadar gue salah. Lo belum tahu apa yang gue rasain, Ray. Walau gue semarah itu ke lo, gue sebenarnya sayang sama lo. Gue cinta lo, raymond. Dan gue gak mau kehilangan lo," katanya sambil menangis.
Deg! Raymond terdiam. Dia pandangi Chika dengan tatapan tak percaya. Sambil mengernyitkan dahinya, dia pandangi gadis itu. "Apa?! Lo cinta gue?"
Chika hanya mengangguk. Raymond tersenyum sinis seolah tak percaya dengan perkatannya.
"Hey, Chika. Lo sadar dengan apa yang lo omongin hah? Lo naksir gue, hah? Bulshit!"
"Gue sadar, Ray. Gue sadari ini aneh, tapi gue gak bisa bohongin perasaan gue," jawab Chika di tengah tangisnya.
Raymond menanggapi dengan senyum sinis. Dia teringat ketika melihat Chika akrab dengan cowok lain di dalam angkot.
"Owh! Gak bisa bohongin perasaan lo? Eh, gue inget ya lo pernah akrab ama cowok lain di dalam angkot, dan gue lihat itu. Kenapa lo gak jadian ama dia aja? Tuh cowok lebih dari gue," balas Raymond dengan nada mengejek.
Mendengar cemoohan Raymond, kesabaran Chika habis. Tangisnya kian keras. Di tengah tangisnya, dia kembali menatap raymond dengan tajam.
"Enggak, Ray! Gue gak ada rasa apapun ke dia. Kita hanya berteman, gak lebih!" balas Chika setengah berteriak.
Isak tangisnya terdengar makin keras. Chika berusaha menghapus air matanya. Raymond hanya diam menatap Chika. dia tampak kebingungan. Di tengah tangisnya, Chika kembali berbicara.
"Ray, gue hanya ingin lo tahu kalau gue bener-bener mencintai lo seorang. Bukan dia!" katanya di tengah isak tangisnya.
Raymond hanya diam. Chika kembali memegangi tanganya.
"Ray, Lo adalah cowok pertama yang berhasil mengetuk hati gue. Tapi, mungkin gue terlambat. Gue terlambat ngucapinnya," lanjutnya.
Chika memegang erat tangan raymond, lalu melepaskannya. Dia berusaha menenangka dirinya.
"Ray, kalau memang gue udah gak pantas buat lo, okelah gue terima. Tapi, bisakah kita kembali seperti dulu? Bersama sebagai teman?" kata Chika yang sudah mulai tenang.
Raymond diam dan berfikir. Dalam hatiya, dia tak tega melihat Chika yang menangis. Setelah berfikir, dia akhirnya mulai melunak.
"Chika, gue belum bisa menjawabnya, tapi untuk kembali berteman gue setuju. Oke, gue terima permintaan maaf lo, dan kita kembali bersahabat," kata Raymond yang sudah reda emosinya.
Chika kembali tersenyum. "Terima kasih, Ray. Gue udah lega sekarang."
Dia kembali mengajak Raymond ke dalam café untuk menikmati minuman yang ada di meja. Susasana kembali mencair setelah pertengkaran hebat itu. Mereka tengah terlibat dalam sebuah percakapan ringan setelah beberapa waktu bersitegang. Setelah hari makin siang, mereka pulang.
Malam harinya, Raymond kembali merenung. Dia teringat kata-kata Chika.
"Nih cewek beneran suka sama gue? Heran aja, emang gue ini apa hebatnya?" gumamnya dalam hati.
Raymond hanya tersenyum keheranan mengingat perkataan Chika. "Ah, gue kenapa jadi ge-er gini? Ayolah, Raymond. Ujian masih ada ..."
Di malam yang sama, Chika duduk di teras depan rumahnya sambil melihat-lihat bintang di langit. Dia tampak begitu bahagia
"Ray, gue seneng banget Lo mau kembali temenan ama gue," katanya dalam hati sambil tersenyum memandangi bintang di langit.
Di tengah lamunannya, sang ibu tiba-tiba mengagetkannya. Dia sentuh pundaknya dengan lembut. "Eeeh, anak mami ini kenapa? Kok senyum sendiri?"
Chika terkejut. Dia pandangi ibunya dengan wajah sedikit terkejut. "Uhm ... Chika lagi senang, Ma."
Ibunya tersenyum, dan duduk di sebelahnya.
"Nak, ibu senang melihat kamu sudah kembali ceria. Kayaknya, kamu lagi kasmaran ya?"
Chika terkejut. Wajahnya bersemu merah. "Iih, Mama. Ng--Nggak kok. Masak setiap Chika ceria selalu suka sama cowok?"
Ibunya tertawa renyah, "Hahaha ... Mama sudah kenal kamu, Chika. Mama tahu kamu lagi jatuh cinta."
Chika tak mampu menjawab. Dia hanya terdiam dengan wajah memerah.
Dengan lembut, ibunya berkata, "Nak, kamu boleh mencintai dia, tapi jangan lupakan sekolah. Ingat, Ujian Negara masih harus kamu tempuh."
Chika mengangguk. "Iya, Ma. Chika tetap fokus dengan sekolah."