Chereads / Buih Cinta di Bangku SMA / Chapter 2 - Kontradiksi Tokoh

Chapter 2 - Kontradiksi Tokoh

Malam harinya, di sebuah studio music sebuah grup band tengah berlatih music untuk mengikuti festival band. Dentuman suara drum dan lengkingan gitar listrik begitu keras di dalam studio music itu. "Jreeng!" suara gita rlistrik begitu keras menutup lagu yang mereka mainkan.

"Eh, Raymod. Tuh setelan gitarmu kurang garang. Lo bisa gak cari setelan yang lebih garang?" tanya Yusta, sang drummer.

"Waduh! Masak kurang garang?" tanya Raymond keheranan.

"Iya, Ray. Kita kan lagi main musik metal. Coba deh set seperti ini," kata Romi sang vokalis.

Dia menyalakan suara music di hpnya, dan menunjukkan suara gitar yang di maksud. Raymond mendengarkannya. Dia mengamati suara itu.

"Ok, gua coba setelan lain." Raymond kembali menyalakan gitar listriknya. Dia mengatur mixer yang ada di kakinya, dan kembali memainkan melodi gitarnya."Jreng!" suara gitar itu makin garang.  Terdengar suara melody yang begitu melengking dan menyayat dari gitar listrik yang dimainkan Raymond.

"So, gimana nih?" tanya Raymond.

"Nice. Yuk kita ulangi lagu tadi," ajak Romi.

Yusta kembali memukulkan stik drumnya.

"Three … Two … One …," ucapnya memberi kode sambil membenturkan stik drumnya.

"JREENG! JET … JET …. JET…" Suara petikan gitar dari Raymond terdengar begitu garang. Lalu, terdengar  kembali dentuman drum dengan ritme yang begitu cepat. Bunyi drum yang begitu mantap dengan suara double pedal menambah aura keras music metal yang di mainkan band itu. Suara Romi yang melengking kembali terdengar nyaring. Mereka berlatih dengan begitu bersemangat. Namun, di tengah latihan, tiba-tiba listrik padam.

"Yaaah! Sial! Listrik pake padam segala," keluh Raymond.

Latihan pun terhenti. Raymond membuka pintu studio karena terasa pengap. 

"Yah, padahal tinggal lima menit lagi," keluh Romi.

Mereka langsung mengemasi alat musik masing-masing. Raymond mendatangi pemilik studio music, dan membayar uang sewanya.

"Bang! Gimana nih? Koq pake lampu mati segala?" tanya Raymond.

"Yah kalo abang yang punya PLN ya gak bakalan lah mati lampu," kata Boim, pemilik studio music langganan Raymond cs.

"Beli aja bang PLN nya. Masak, udah dua hari berturut-turut kita latihan band dimari mesti ada insiden ini," keluh Raymond.

Boim tertawa mendengar ucapan Raymond. 

"Beli PLN? Doku darimane, Mond. Emang lo mau gua pelihara tuyul gitu biar lekas tajir?" balas Boim.

"Yah lo, jangan cari tuyul laki. Cari tuyul cantik aje, sekalian buat gebetan lo," goda Raymond pada Boim.

Semua teman Raymond tertawa mendengar lelucon Raymond. Boim tertawa lepas. 

"Yaelah, Mond. Mau cantik gimana, kalo namanya tuyul mah mana bisa di gebet? Yang ada gue kena undang-undang ngegebetin hantu dibawah umur bhro. Nah, lo sendiri, Mond. Gue lihat loe ganteng, jago gitar, juga tajir melintir. Tapi kok gak punya gebetan?" Boim balas menggoda Raymond.

"Bang, Raymond ini banyak yang naksir. Cuman, gebetannya sering pingsan kena permainan gitarnya Raymond," kata Romi sambil tersenyum.

Raymond memerah wajahnya. Dia sering merasa canggung jiika dekat dengan wanita, padahal banyak teman SMA nya yang naksir dia. 

"Yeee, lo Rom. Ada-ada aje deh. Emang lo lihat gue kena pelintir, gitu?," balas Raymond dengan nada malu.

Boim tertawa mendengar celetukan Romi. 

"Udah, deh. Kita pulang dulu bang," kata Raymond berpamitan.

Raymond mengajak teman-temannya pulang. Mereka segera menaiki motor masing-masing dan langsung pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Raymond langsung masuk ke kamarnya dan menaruh gitarnya. Dia yang begitu lelah langsung berbaring di kamarnya. Baru saja Raymond berbaring, dia di kejutkan oleh sebuah pesan di hpnya. Dia membuka pesan Whats App tersebut.

"Ya elah! Shely …," keluhnya dalam hati.

Raymond membaca pesan Shely. Dia hanya menggelengkan kepalanya.

"Shely … Shely. Nih cewek kok ngejar gue mulu sih? Heran gue!" bathinnya.

Raymond sebenarnya ingin menolak, namun ada perasaan iba melihat Shely yang selalu ingin bersamanya. Dia berfikir sejenak, dan akhirnya dia membalas pesan dari Shely.

"Oke. Besok kita jalan," pesan balasan dari Raymond.

Tak lama kemudian, pesan itu di balas Shely. "Yes! Thanks, Hon."

Raymond membacanya sambil bersungut. "Ya Elah! Pake sayang-sayang segala."

Tak lama kemudian, terdengar pintu kamarnya di ketuk. 

"Raymond, mama mau bicara sebentar," kata ibunya dari balik pintu kamarnya.

"Ya, Ma," sahut Raymond dari dalam kamar.

Dengan malas, Raymond bangkit dari tidurnya dan membuka pintu kamarnya. Dilihatnya, ibunya tampak tersenyum manis. Raymond memandanginya dengan wajah heran.

"Loh, koq tumben mama senyum-senyum? Perasaan, gue gak ulang tahun?" katanya dalam hati.

Raymond mengenali ibunya yang terkenal galak dan cerewet. Namun, malam itu, dia tampak keheranan melihat ibunya tersenyum manis.

"Ya, Ma. Ada apa?" tanya Raymond.

"Ayo, kita ke ruang tengah. Kita bicara di sana," ajak ibunya.

Raymond yang keheranan hanya diam. Dalam hati, dia sempat berangan-angan akan mendapat hadiah. Sesampainya di ruang tengah, ternyata angan-angan jauh dari harapan. Bu Siti, guru matematikanya yang terkenal galak ternyata ada di ruang tengah. Mereka ternyata membicarakan kelakuannya di sekolah.

"Yah, Ma. Kirain mama beliin gitar baru," keluh Raymond.

Ibunya menatap Raymond dengan wajah keheranan. "Gitar? Emangnya mama bilang mau belikan kamu gitar baru?"

Raymond tampak kikuk. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Dengan terpaksa, Raymond akhirnya duduk di sebelah Ibunya. 

"Begini, Bu Anggi. Prestasi Raymond di sekolah kian jeblok. Di samping karena terlalu sering bolos, dia kerap lari di mata pelajaran saya. Saya khawatir, nanti dia mendapat nilai mati di raportnya. Mungkin, saya ada rujukan bimbingan belajar untuk Raymond," kata Bu Siti sambil mengeluarkan beberapa brosur bimbingan belajar dari tasnya.

Bu Anggi memandangi Raymond dengan mata melotot. Dia menggelengkan kepalanya.

Raymond memandanginya dengan mata melotot. "What?? Gue musti ikut bimbel?" bathinnya.

Ibunya membaca brosur itu sepintas. Setelah membacanya, dia kembali bertanya pada Bu Siti. 

"Bu, andai ibu yang memberikan pelajaran tambahan pada Raymond, apa ibu tak sanggup?" tanya Bu Anggi.

Raymond makin terbelalak. Dalam hati, dia mengeluh. "Yah, Mama. Ketemu di sekolah aja gue gedek, nah ini … malah minta si Nenek Sihir beri aku pelajaran tambahan."

Bu Siti tersenyum manis. "Bu, saya sebenarnya bisa saja meluangkan waktu saya memberi pelajaran tambahan buat Raymond."

Raymond semakin membelalak. Keringat digin bermunculan. "Waduh! Apa gue bakal lebih lama sama si nenek sihir ini?" bathinnya.

Bu Siti memandangi wajah konyol Raymond. Dia kembali tersenyum pada Bu Anggi.

"Bu, memang, jika maslah waktu, saya bisa koq meluangkan waktu saya untuk beri les tambahan pada Raymond. Tapi, mungkin saya kurang pandai menguasai tehnik pengajaran untuk siswa spesial seperti Raymond. Itulah sebabnya, saya membawa beberapa brosur Bimbel supaya Raymond bisa menguasai matematika seperti siswa lainnya," lanjutnya dengan senyum tersungging.

Sejenak, Raymond bernafas lega. Namun, ternyata akhirnya ibunya memilih sebuah brosur, dan berkata pada Bu Siti.

"Uhm, kayaknya bimbel yang ini menarik. Baik, Bu Siti. Terima kasih atas masukannya. Saya akan mengikuti saran ibu," kata Bu Anggi.

Setelah berbincang-bincang sesaat, Bu Siti langsung berpamitan pulang. Sepeninggal Bu Siti, Bu Anggi langsung berbicara pada Raymond.

"Mulai besok, uang sakumu ibu kurangi," kata Bu Anggi.

Raymond langsung bersungut. "Yah, Ma. Koq tega?" keluhnya.

Mamanya memandangi Raymond sambil melotot.

"Apa?! Tega?! Heh, kamu tuh yang tega! Mama sudah susah payah bayarin uang sekolah, eeh malah kamu bolos," katanya dengan nada tinggi.

"Ma, ...." Raymond berusaha membujuk ibunya.

"Cukup, Raymond. Kamu terlalu sering bolos sekolah," tukas ibunya.

"Yah, tapi, Ma ... ," kata Raymond yang langsung di pangkas ibunya.

"Raymond! Sudah. Jangan membantah Mama. Sebagian uang sakumu nanti mama buat beli buku sekalian buat daftar ke Bimbel! Dan, mulai besok Mama akan awasi kamu lebih ketat. Mengerti?!" bentak mamanya.

Raymond terdiam. Dia hanya bisa mengangguk. Dengan langkah gontai, Raymond kembali masuk ke kamarnya sambil menggerutu.

"Yah, kirain dapat hadiah, ternyata gue musti les. Yah, nasib ... nasib," keluhnya dalam hati.

Raymond kembali berbaring di ranjangnya. Malam semakin larut, dan dia pun terlelap.