Chereads / Kisah Petualangan Clara / Chapter 20 - Alasan

Chapter 20 - Alasan

Malam sudah larut tapi Wali Kota Darton masih duduk di depan meja kerjanya. Lampu yang terbuat dari obsidian bersinar menerangi dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan masa depan kota.

"Huft. Akhirnya selesai juga."

Seolah sudah menunggu momen ini seorang pria dengan pipa rokok di mulutnya memasuki ruang kerja. Pria itu adalah detektif terkenal, Delta Greyhorn. Sang detektif datang membawa setumpuk dokumen baru seolah ingin menghancurkan tulang tua Darton.

"Uh. Tidak bisakah besok saja," keluh Darton.

"Hanya sebentar, ini penting," jawab Greyhorn.

Setelah menghisap rokoknya beberapa kali penjelasan Detektif Greyhorn di mulai.

Greyhorn mulai menjelaskan berbagai hal. Tapi intinya adalah, "Awasi dia dan dia. Ah, dia juga mencurigakan."

"Tunggu. Tidak mungkin kami bisa mengawasi mereka semua," tolak Wali Kota.

Jumlah orang yang perlu diawasi telah melampaui angka seratus. Tidak mungkin bagi penjaga kota untuk mengawasi mereka semua.

"Tidak perlu pengawasan ketat. Satu untuk satu juga sudah cukup," jawab Greyhorn.

Setelah merundingkan detailnya selama hampir setengah jam, akhirnya tugas Wali Kota Darton hari ini selesai juga.

"Huft. Tulang tuaku sudah tidak kuat lagi. Mungkin sudah saatnya pensiun," desah Darton.

"Memang begitu seharusnya. Aku juga akan pensiun setelah kasus ini selesai. Biarkan generasi muda menggantikan kita."

"Hahaha. Sayangnya aku masih belum menemukan pengganti yang layak. Berbeda denganmu yang sudah memiliki orang yang sangat cakap."

"Siapa maksudmu? Putriku? Dia masih harus banyak belajar."

"Tidak perlu merendah. Kudengar dia adalah orang termuda yang berhasil menjadi hakim agung."

"Percayalah. Dia masih harus banyak belajar."

Keduanya sama-sama memiliki banyak prestasi, terkenal, dan dikagumi banyak orang. Namun saat ini mereka tidak berbeda dari kakek-kakek pada umumnya, bergosip dan bicara omong kosong. Mengenang masa lalu yang jauh.

"Sebelum bicara tentang pensiun, bukankah kau harusnya berfokus untuk menangkap pria itu."

"Yah tidak perlu terlalu dipusingkan. Semua akan berjalan dengan baik."

"Heh. Aku ingat beberapa hari yang lalu seseorang bicara sedemikian rupa namun hasilnya ...." ejek Darton, mengangkat bahu.

"Tidak juga. Dari awal sampai akhir semua masih menari di atas telapak tanganku."

"Ya, ya. Menari di atas telapak tangan matamu. Apa kau sebegitu tidak sukanya mengakui kekalahan?"

Greyhorn diam membisu tidak menanggapi komentar sinis sang Wali Kota; dia melihat langit malam dari balik jendela.

"Dengan diam berarti aku benar, 'kan."

Sang detektif menghembuskan asap rokoknya.

"Artikan sesukamu. Jika kau ingin menyalahkan sesorang maka mulailah dari pihak petualang," dalihnya. "Selain itu, ada banyak faktor tak terduga yang melencengkan deduksiku. Untung ada rencana cadangan."

Pihak Aliansi Petualang memang patut disalahkan karena di nilai terlalu setengah-setengah dalam melakukan tindakan. Darton juga tahu apa yang ia maksud dengan rencana cadangan. Atau lebih tepat di sebut rencana aslinya.

Lagi pula sang Wali Kota tidak serius menghina Greyhorn dan hanya ingin sedikit mengoloknya.

"Faktor tak terduga maksudmu bocah itu? Aku kebetulan menangkapnya saat dia secara diam-diam mencoba untuk pergi ke wilayah utara."

"Ho. Sungguh gadis nakal. Mengingatkanku pada seseorang."

"Kahaha. Namun aku masih tidak mengerti. Di antara sebegitu banyaknya tersangka kau justru paling mencurigai gadis nakal ini? Apa alasannya?"

"Insting."

Balasan dari pertanyaannya ini bisa dikatakan tidak diduga tapi dapat diterima.

Sebagai orang yang hidup dengan bahaya, sering kali insting jauh lebih penting dari apa pun. Semakin lama seseorang berada di dekat bahaya, maka instingnya juga akan ikut terasah.

Sebagai orang militer Darton tahu betapa pentingnya insting itu.

Sang Wali Kota mendesah berat. Sudah lama dia tidak merasakan perasaan ini. Perasaan menanggung beban seluruh kekaisaran, seluruh umat manusia. Sebegitu pentingnya misi ini hingga nasib kekaisaran beregantung pada keberhasilan atau kegagalan mereka.

"Sebenarnya apa tujuanmu?" tanya Darton.

"Apa? Tentu saja menangkap Blackjack."

"Tentu. Tapi apa alasanmu ingin menangkap pria itu? Kudengar sebelumnya kau sudah mengumumkan untuk pensiun."

Ruangan menjadi hening. Setelah beberapa napas berlalu akhirnya sang Detektif memberikan jawabannya.

"Sederhananya, sebuah jawaban."

Hymne Blackjack lahir dari keluarga bangsawan jatuh. Blackjack kecil tumbuh dalam lingkungan yang keras.

Ayahnya seorang pecandu judi dan alkohol. Sejak kecil Blackjack sudah sering dipukili ayahnya. Sedangkan si ibu malam demi malam menjual tubuhnya demi mencukupi pengeluaran keluarga dan jarang memperhatikan putranya itu.

Berkat kejeniusannya ia mampu keluar dari neraka hidup bernama keluarga itu.

Dia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit lalu mempergunakannya untuk mendaftar sekolah teknisi kekaisaran. Ia masuk dengan nilai tertinggi. Sejak saat itu karirnya terus meroket.

Sifatnya yang hangat membuat dirinya disukai oleh kolega dan atasan. Ia juga mendirikan lembaga perlindungan anak dan banyak panti asuhan kerena tidak ingin melihat anak menderita seperti dirinya.

"Kau tahu, aku sudah mengenal Jack sejak lama. Otaknya memang agak bermasalah, tapi, diriku ini berani menjamin kalau dia bukanlah orang jahat. Atau setidaknya terakhir kali kami bertemu dia masih orang baik," jelas Greyhorn.

"Jadi maksudmu, sesuatu memengaruhi dirinya? Mungkin saja dia menyembunyikan watak aslinya sangat dalam."

"Mungkin. Tapi aku memercayainya. Penilaianku jarang salah."

"Jadi ... kenapa? Jawaban apa yang kau cari?"

Asap mengepul dari mulut Detektif Greyhorn. Dengan pasti ia menjawab, "Sama sepertimu, aku juga memiliki keraguan, tentang kekaisaran kita tercinta ini."

Mata Darton membelalak. Dia menatap sang Detektif dengan tak percaya. Sesaat kemudian dia mulai terkekeh.

"Jadi begitu. Jika sang Detektif terhebat sendiri mulai ragu, maka mungkin dugaanku benar ... Kekaisaran sudah mulai membusuk."

Tidak ada yang abadi di dunia ini. Tidak peduli seberapa tingginya sebuah pohon suatu saat pasti akan mulai membusuk, layu, hingga akhirnya mati. Pohon bernama kekaisaran juga tidak lepas dari kodrat ini.

"Persiapannya sudah selesai. Besok aku akan pergi menemui dalang di balik semua ini. Tolong urus masalah di sini."

"Ya. Serahkan padaku."

"...."

Di bukit pinggiran kota, berdiri sebuah kuil kuno berusia ratusan tahun. Bangunan ini tetap berdiri kokoh walau faktanya belum pernah di renovasi sejak awal pendiriannya.

Pada bagian belakang kuil seorang wanita sedang memainkan alat musik petik. Kolam dan pepohonan rimbun sebagai latar belakang dengan bulan sebagai pencahayaannya, di tambah jubahnya yang berayun tertiup angin menyajikan pemandangan seperti bidadari dari kayangan. Namun demikian Alunan yang dimainkannya sungguh menyayat hati pendengar.

"Ada apa? malam ini musikmu lebih menyedihkan dari biasanya."

Seorang pria dengan santainya muncul dari balik pohon. Gadis itu menghentikan permainannya lalu berbalik menghadap si lelaki tersebut

.

"Jangan mengagetkanku seperti itu," ucapnya, dingin.

"Maaf, maaf."

Pria itu duduk di teras kuil lalu bertanya, "Jadi ada apa?"

"Harusnya aku yang bertanya," jawab wanita itu, ketus.

Seolah mengabaikan si pria, wanita itu kembali memainkan alat musiknya. Melihatnya seperti itu si lelaki mendesah.

"Besok aku akan pergi."

"Kemana?"

"Air Terjun Nagara. Tidak lama ... Kelihatannya dirimu sudah mengetahui hal ini."

Gadis itu kembali menghentikan permainannya. Ia memandang pria di hadapannya itu dengan perasaan urgensi yang kuat.

"Pedro ... Jangan pergi. Perasaanku tidak enak."

Pria itu, Pedro menggeleng lemah. Ia memandang gemerlap bintang di angkasa lalu sekali lagi mendesah.

"Aku tidak bisa."

"Kenapa!"

Seolah menyadari kesalahannya, wanita itu segera berbalik. Ekspresinya yang biasanya sedingin es perlahan mulai mencair.

"Jangan ... Firasatku mengatakan ini tidak akan berjalan baik," bisiknya.

Pedro menghampiri lalu memeluk wanita itu dengan hangat seolah ingin menenangkan kekhawatirannya.

Ia berbisik di telinganya dengan lembut, "Tak apa. Semuanya akan baik-baik saja."

"Kalau begitu bawa aku bersamamu." Melihat bujukannya tidak berhasil wanita itu segera mengganti taktiknya.

"Tidak. Lial dan aku sudah cukup. Tunggu saja kepulanganku di sini."

"Tapi-"

"Hiyori ...."

Wanita itu, Hiyori, memejamkan matanya dengan erat. Bahkan jika topeng dinginnya sudah dilepas, ia tetap tidak ingin menangis di hadapan pria ini. Karena bagaimanapun, Hiyori adalah gadis kuat. Setidaknya itulah yang ingin dia ungkapkan.

"Egois. Aku benci. Setidaknya beri tahu aku alasannya."

"Ini permintaan pribadi tuan Greyhorn. Selain itu, ada seorang gadis kecil ... Ia mengingatkanku pada Sasha."

"Setelah menjadi siscon apa sekarang kau juga ingin jadi lolicon?" tanya sang gadis, usil.

"Jangan menyebarkan rumor aneh lagi." Pedro menghela napas panjang. "Gadis itu, Clara, jika tidak diawasi dengan ketat akan mencari kematiannya sendiri." Pedro memandang kejauhan dengan kosong. "Sejak diriku kebetulan bertemu dengannya, kesalahan yang sama tidak akan ku ulang kembali."

Wanita yang biasanya bersikap dingin itu memandang kekasihnya dengan tidak rela. Ia membenamkan wajahnya pada dada lapang Pedro.

"Kembali. Aku menunggumu."

"Pasti."

"...."

Di sudut sebuah gang kecil, seorang lelaki tua sedang berbaring menghadap rembulan. Ia sendirian, namun tidak merasa kesepian karena ia di kelilingi banyak sekali boneka.

Ya. Dia tidak kesepian ....

Atau begitulah caranya meyakinkan dirinya sendiri.

Dia sering di ejek karena hobi femininnya ini. Tapi biarlah.

Bermula dari penemuan sebuah boneka rusak dari tempat sampah. Walau kotor tapi memiliki keindahan yang tidak akan pernah luntur, ia jadi sangat terpesona olehnya. Karena bagaimanapun boneka tidak akan meneriakinya, tidak akan memukulnya, mereka tidak akan berubah dan akan selalu sama, apalagi mereka sangat patuh dan setia

Itulah sebabnya ia sangat menyukai boneka.

"Mereka sangat meremehkan pak tua ini. Benar, kan, Cici."

Ia berbicara pada boneka perempuan di tangannya. Tentu saja tidak akan ada balasan.

"Hanya karena pak tua ini sudah tua dan lemah, dia membuat sebuah perangkap yang sangat jelas."

Lelaki itu menghela napas tidak berdaya. Bagaimanapun ia seperti binatang terpojok. menggigit siapapun yang menghampiri, tapi tetap saja tidak bisa kabur.

Tubuhnya menjerit kesakitan. Bergerak saja sudah sangat sulit. Sungguh keajaiban dia masih bertahan hingga detik ini.

Meski demikian sebenarnya lubang dihatinya jauh lebih tak tertahankan. Sebuah lubang yang tidak pernah dapat terisi. Menyisakan jejak kosong dihatinya.

Boneka memang sangat patuh, sayangnya mereka terlalu patuh. Sangat patuh hingga tidak akan pernah bisa mengisi lubang di hati lelaki kesepian itu.

Hal ini membuatnya merindukan boneka kesayangannya.

Ia menemukannya di tempat sampah, sama seperti boneka pertamanya. Boneka itu sangat cantik dan patuh, juga bisa meringankan rasa kesepiannya. Sesekali ia akan merengek tapi itu menambah pesona keimutannya.

Lelaki itu sangat menyayangi boneka ini, bahkan sampai mengabaikan boneka lainnya. Ia sangat bahagia. Ia berpikir bahwa kebahagian ini akan berlangsung selamanya. Namun, terbukti itu hanyalah sebuah pikiran naif.

Waktu terus berputar.

Boneka manisnya mulai membangkang, mulai melawan perkataannya. Meski menjadi semakin cantik, itu bukanlah boneka yang sama seperti dulu lagi.

Lelaki itu dipaksa untuk menyadarinya.

Bahwa boneka kesayangannya sudah tiada.

Waktu sudah merubahnya menjadi sesuatu yang tidak ia kenali.

Itulah sebabnya ia meninggalkan boneka itu. Berpikir bahwa dia tidak membutuhkannya lagi.

Hari-hari berlanjut dengan monoton.

Bangun, makan, lakukan penelitian hingga malam, tidur. Bangun ....

Perlahan ia mulai kehilangan arah, berjalan tanpa punya tujuan.

Tapi biarlah, toh ia sudah tua. Umurnya tidak akan lama lagi.

Terkadang ia merasa iri pada seorang teman baiknya. Seorang yang luar biasa. Diakui dan dikagumi banyak orang. Memiliki keluarga harmonis. Bahkan belakangan sering mengganggunya tentang rencana setelah pensiun.

Singkatnya, dia seorang pemenang kehidupan.

Dan di sinilah dia, Hymne Blackjack, peneliti top kekaisaran, sedang merenungkan makna hidupnya karena bertengkar dengan putrinya tercinta.

Di saat kebimbangannya itu seseorang datang. Orang itu mengingatkannya akan janjinya. Kembali membangkitkan gairah masa mudanya.

Walau ia merasa skeptis tapi apa salahnya untuk di coba.

Dahulu kala ia pernah membuat janji. Janji yang ia buat dengan gurunya, juga dengan saudara sumpahnya.

Janji itu ... apakah masih berlaku?

Siapa yang tahu.

Yang jelas sekarang adalah gilirannya untuk mewujudkan janji itu.

"Haa. Walau jebakannya jelas tapi tetap saja ... Tidak ada pilihan lain."

Pria itu kesepian, duduk dengan linglung, tapi saat ini ia akhirnya memiliki tujuan.

Mimpi dari sang guru. Harapan dari saudaranya. Ia akan mewujudkannya.

Pasti.