"Anti serangga?"
"Ada."
"Tenda?"
"Ada."
"Perbekalan?"
"Semuanya sudah komplit."
Matahari baru menampakkan dirinya. Paman dan yang lainnya berdiri di depan penginapan melakukan pengecekkan terakhir.
Clara mengenakan jubah putih miliknya yang terbuat dari benang baja. Bahan ini memiliki karakteristik perpaduan unik antara kelembutan sutra dan kerasnya baja. Selain itu, bahan ini juga ringan dan memiliki properti untuk membantu penyihir menyerap mana lebih efisien.
Di balik jubahnya ada beberapa ramuan penyembuh dan pemulihan mana serta sebuah senjata rahasia sebagai kartu as-nya.
Clara juga mengenakan beberapa aksesoris dengan efek tertentu seperti cincin penetral racun.
Tangannya memegang tongkat sihir yang konon terbuat dari cabang pohon kehidupan. Pada ujungnya terdapat permata biru indah yang konon di dapat dari monster laut dalam tertentu dan dibuat oleh orang yang mengaku sebagai pengrajin nomor satu.
Meski keaslian cerita masih dipertanyakan, kekuatan tongkat ini tidak perlu diragukan. Jika dengan tangan kosong anggaplah Clara memerlukan dua mana untuk membuat bola api seukuran kepalan tangan, maka dengan tongkat ini Clara akan dapat menghasilkan dua kali ukuran bola api hanya dengan satu mana.
Seluruh perlengkapan Clara ini total harganya mencapai ratusan hingga ribuan koin emas. Sungguh aneh mengingat ayahnya selalu terlilit hutang tapi memiliki banyak barang mewah. Yup, semua ini adalah barang milik Henry yang sudah disesuaikan agar dapat digunakan Clara.
Rhino di sisi lain mengenakan zirah logam lengkap dengan helm beserta berbagai senjata lainnya. Dia juga bertugas membawa ransel raksasa berisi berbagai perlengkapan. Ransel ini sudah diberi sihir pengurang berat sehingga tidak terlalu membebani Rhino.
"Ingat pesan-pesanku."
"'Kay!"
Paman mendesah tidak berdaya. Bagaimanapun dia anaknya Henry, kepalanya sama-sama sekeras batu. Ia ingin ikut tapi ketika melirik tubuh gempalnya, dia segera membuang ide gila itu.
"Hati-hati," ucap paman.
Clara dan Rhino, duo sejoli itu berjalan menuju gerbang utara.
"Ini lebih terasa seperti tur pariwisata," pikir Clara dalam hati.
Duo itu berangkat cukup awal, tetapi ketika sampai di gerbang utara dua orang lainnya sudah menunggu mereka.
Yang satu mengenakan jubah coklat khas pemburu dengan busur dan pedang pendek sebagai senjata utama. Siapa lagi kalau bukan Pedro dari Desa Kiri.
Pria satu lagi bertubuh sedikit lebih pendek dari Pedro dengan zirah seluruh tubuh dan pedang besar sebagai senjata. Clara juga sudah mengenalnya. Dialah petualang yang ditemuinya sewaktu malam penuh kegilaan, Filial dari desa Kanan.
"Pada akhirnya kau datang," desah Pedro.
"Ehehe."
"Haa. Biar kujelaskan lagi. Destinasi kita kali ini adalah Air Terjun Nagara. Sekitar setengah hari dari kota Denia. Ada pertanyaan?"
Rhino mengangkat tangannya. "Sebenarnya apa tujuanmu?"
Pertanyaan Rhino juga sangat ingin ditanyakan Clara. Sebenarnya kenapa orang ini sampai mau repot-repot melakukan ini?
"Tidak ada," balas Pedro, acuh tak acuh. "Tapi orang lain mungkin punya tujuan tidak bersahabat. Masih ada waktu jika ingin kembali."
Rhino sangat tidak puas dengan jawaban yang bukan jawaban itu. Dia ingin kembali karena sangat jelas seseorang sedang bersiasat di balik layar. Tapi tentu saja rekan kecilnya yang satu ini tidak akan setuju.
"Let's go!" teriak Clara, bersemangat.
Karena tidak ada lagi pertanyaan kelompok itu akhirnya berangkat menuju destinasi tujuan.
Pemeriksaan di gerbang ternyata tidak seketat dugaan Clara. Atau mungkin saja kelompok ini adalah pengecualian dan diberi perlakuan khusus.
Di balik gerbang raksasa yang gagal dilewati Clara sebelumnya, ada jembatan batu yang cukup lebar untuk dapat menampung enam kereta kuda dan juga luar biasa panjang, mungkin sekitar 500 sampai 700 meter.
Clara dengan jiwa penasarannya mengintip ke bawah jembatan. Di sana dia hanya dapat melihat kegelapan tanpa akhir.
Konon, raja iblis memusatkan hampir seluruh kekuatannya untuk menciptakan serangan terkuat. Sebagai hasilnya benua terbelah menjadi dua dan pada celah kedua benua itu terciptalah sebuah jurang tanpa akhir, tempat di mana tidak terjangkau hangatnya mentari, Abyss.
Sepertinya memang benar adanya karena bahkan sinar matahari tidak dapat menyentuh permukaan jurang, seolah ada sesuatu yang menyerap cahaya. Menurut penelitian bukan hanya cahaya yang di serap tapi juga mana.
Sebuah ide menggelitik ide gadis kecil itu. tapi mari kesampingkan untuk saat ini dan selidiki sembari berjalannya waktu.
"Apa benar ya~ ada yang tinggal di bawah sini?" tanya Clara, penasaran.
"Rumornya sih begitu. Kau tahu, faktanya hampir tidak ada yang pernah kembali setelah mencoba masuk ke dalamnya. Satu-satunya jalan masuk yang diketahui adalah melalui Lembah Naga. Namun lembah itu di jaga oleh Raja Asura yang perkasa dan hingga kini hanya kelompok petualang legendaris yang mampu melewati penjagaannya. Sehingga menjelajahi Abyss pada dasarnya mustahil," jelas Lial panjang lebar.
Mata Clara berbinar. "Kak Lial pernah ke sana?"
"Tidak pernah. Dan kau juga jangan pernah ke sana. Kecuali pingin mati."
Mereka kembali melanjutkan perjalan.
Rintangan pertama segera menghambat kelompok itu.
Clara merasa seolah-olah tubuhnya sedang di tekan. Semakin jauh dia melangkah, tekanannya menjadi semakin jelas.
Keringat dingin meluncur dari dahi pucatnya. Napasnya terasa berat. Kepalanya mulai berputar.
"Tahan sebentar. Kita akan istirahat di ujung jembatan," ucap Pedro, sepertinya tahu kesulitan Clara.
"Mana di wilayah utara memang bersifat liar dan sulit di atur. Tahan dan biarkan tubuhmu terbiasa," jelas Lial.
Ada teori bahwa Abyss menyerap mana liar dari utara sehingga wilayah selatan benua tidak terlalu terpengaruh. Mungkin saja teori itu benar.
Gadis mungil itu menatap Rhino dengan terkejut.
"Rhino kok enggak apa-apa!" ujar Clara, terkejut.
"Oi! Kau meremehkanku, ya. Dulu aku juga seorang petualang."
Clara mencoba mengaplikasikan teknik meditasi namun dengan cepat dihentikan oleh Pedro.
"Jangan. Lakukan itu nanti. Untuk saat ini tahan dan biasakan."
Gadis itu tidak mengerti tapi memutuskan untuk memercayai perkataan seorang veteran. Bagaimanapun penderitaan seperti ini tidak seberapa. Dia pernah merasakan yang lebih parah.
Setelah berjalan beberapa menit mereka akhirnya sampai di ujung jembatan lalu beristirahat dan memakan sarapan. Setelah itu Clara melakukan meditasi selama hampir satu jam penuh.
Alasan Pedro menghentikannya untuk bermeditasi sebelumnya mungkin karena tidak nyaman melakukannya di tengah jalan.
Mana di sini memang sangat liar. Beberapa kali gadis manis itu terkena serangan balik dan memuntahkan seteguk darah segar.
"Lakukan dengan perlahan. Ini hanya masalah adaptasi tubuh."
Rhino mengawasi dengan khawatir. Efeknya sebenarnya sangat bervariasi pada setiap orang. Mudahnya, semakin kuat seseorang, semakin lama mereka akan berada pada keadaan seperti di neraka ini.
Justru aneh rasanya Clara yang hanya penyihir tingkat dua mengalami penolakan sampai seperti ini. Mungkin ini asa hubungannya dengan penyakitnya?
Untungnya Clara bisa mengatasi kesulitan ini.
Setelah selesai tubuhnya terasa menjadi lebih ringan. Gadis itu memiliki banyak pertanyaan di benaknya. Ketika dia mencoba melantunkan mantra, efek dari sihir yang dia keluarkan menjadi lebih kuat dengan jumlah mana yang sama.
"Hebat!" ujar Clara, puas.
Clara berkata ingin berjalan-jalan di daerah sekitar untuk mencari udara segar. Jadi dia pergi ditemani Lial.
Bangunan di sisi ini sebagian besar untuk kepentingan militer. Hanya ada satu penginapan dan tempat makan. Sejujurnya tidak banyak hal untuk dilihat.
Di sebuah tempat tertentu, ia menemukan sesuatu yang menangkap matanya. Pekerja kontruksi sedang membangun sesuatu. Sepertinya rel kereta?
"Kereta api?"
"Sepertinya begitu," balas Lial, tidak yakin.
"Apa tidak apa-apa, ya~?"
Kereta api memiliki mobilitas dan daya jangkau yang tinggi. Selain sebagai pengantar logistik, daya serangnya juga sangat kuat jika dilengkapi dengan berbagai senjata seperti meriam contohnya.
Namun kereta api juga memiliki kekurangan yang jelas, mereka butuh jalur khusus untuk dapat beroperasi. Dan kekurangan ini sangat fatal khususnya di daerah yang keras seperti wilayah utara. Biaya pembangunan dan pemeliharaannya bukan main.
"Yah, karena mereka berani membuat pasti sudah ada penemuan baru bahan dasar rel yang kuat dan tahan lama," terka Lial.
"Sepertinya begitu," ucap suara misterius yang datang dari belakang.
Seorang pria berkaca mata dan mengenakan setelan jas hitam menghampiri mereka. Wajahnya terlihat berada pada pertengahan dua puluhan dengan tubuh yang dirawat dengan baik.
Berada di sampingnya adalah sesosok dengan tinggi hampir sama dengan Clara, mengenakan jubah dan topeng putih.
"Ah. Ketua." Sepertinya Lial mengenali orang ini. "Clara, pria ini adalah ketua aliansi saat ini, Erick."
"Halo ...."
"Saya Erick. Ini Merah. Hey, Merah, ucapkan salam." Ketua mengenalkan bocah di sampingnya.
"Halo." Sebuah suara monoton datang dari balik topeng polos itu.
Kesan Clara pada pria ini tidak terlalu bagus. Dia tidak menyukainya, karena bagaimanapun orang ini adalah alasan di balik kegagalannya bergabung dengan Aliansi Petualang, dengan peraturannya yang tidak masuk akalnya itu.
Selain itu, apa-apaan maksudnya nama 'Merah.'
"Oh! Pertama kali aku melihatnya. Anakmu?" tanya Lial, usil.
"... Bisa dibilang seperti itu," jawab Erick, samar.
Pria itu memandang Clara dengan cermat, seperti sedang mencari tahu sesuatu. Hal ini membuat Clara agak tidak nyaman.
"Clarina Amaryllis Pragdina. Putri dari Penyihir Agung Henry Pragdina dan Petualang Vagabond Daisy, benar?"
"I-itu benar."
Entah mengapa Clara menjadi sedikit gugup.
"Apa yang kamu ketahui tentang ibumu?"
Pertama kali bertemu dan hal pertama yang ditanyakan adalah tentang ibunya ...
Apa? Apa-apaan orang ini.
Apa dia berniat menjadi ayah tirinya?
"Ibu? Clara saja ya~ baru tahu kalau ibu Clara seorang vagabond."
Erick sedikit menyipitkan matanya. Gadis malang itu menjadi semakin tidak nyaman.
"Ngomong-ngomong apa yang sedang kau lakukan di sini, ketua?" ucap Lial, mengalihkan pembicaraan.
"Naisu job, kak Lial," puji Clara dalam hati.
"Hanya jalan-jalan singkat."
"Apa kau tahu sesuatu tentang proyek raksasa ini, ketua?"
"Tidak. Kekaisaran menjaga jarak yang tepat dengan Aliansi, Jadi sulit unuk mencari info terbaru."
"Tapi aku ragu Ketua tidak bisa menggali informasi apapun. Ayolah bocorkan sedikit pada kami," bujuk Lial.
Erick sepenuhnya sepenuhnya mengabaikan Lial. Dia melihat para pekerja konstruksi seperti sedang memikirkan sesuatu.
Clara yang dari tadi mendengarkan akhirnya ikut berbicara.
"Apa proyek ini akan berhasil, ya~?"
"Semua tergantung pada respon kerajaan. Tapi kemungkinan besar akan berhasil," balas Erick.
Clara juga ikut memandang kejauhan.
Kekaisaran manusia dan kerajaan demi-human bisa dibilang musuh bebuyutan.
Manusia ingin merebut kembali tanah mereka. Sedangkan demi-human ingin mempertahankan rumah mereka. Sudah banyak korban berguguran akibat perseteruan selama 300 tahun terakhir. Kedua belah pihak hampir tidak bisa didamaikan.
Era akan segera berubah. Dalam perang berikutnya mungkin akan menjadi lebih sedikit pertempuran jarak dekat.
Dengan teknologi kekaisaran saat ini mereka akan sangat mudah mendominasi perang. Bagaimanapun senjata-senjata terbaru tidak memerlukan orang kuat untuk mengendalikannya. Bahkan orang biasa, dengan pelatihan dan senjata yang tepat, akan mampu mengalahkan monster kelas C di masa depan.
Dan Clara yakin kerajaan juga tidak akan tinggal diam. Pihak mereka pasti juga memiliki kartu as tersendiri.
"Yah. Kurasa dengan ini perang akan segera berakhir," ucap Lial, tidak peduli.
"Mungkin. Mungkin juga tidak."
"Sudah waktunya. Kami pergi dulu, ketua."
"Sebelum itu biar saya beri sepatah saran. Kalian akan menjalankan rencana Detektif Delta, kan? Kelompok Estarosa mulai aktif bergerak. Berhati-hatilah."
"... Terima kasih atas sarannya."
Lial dan Clara pergi ke tempat yang di janjikan sebelumnya. Di tengah jalan gadis itu tidak mampu lagi menahan rasa penasarannya.
"Siapa Estarosa itu?"
"Sang Pahlawan yang Jatuh Estarosa. Apa kau tidak pernah mendengarnya?"
Clara berpikir sebentar. Nama itu memang terdengar familiar di telinganya.
"Estarosa sang Penjaga. Di kisahkan pernah menahan gerombolan monster seorang diri," jelas Lial.
Clara akhirnya mengingatnya. Kisah heroik pria ini memang cukup dikenal. Dia berdiri dengan gagahnya hanya dengan modal arit di tangan kanannya dan palu di sisi lainnya, bertelanjang dada pula. Dengan dirinya berdiri kokoh di depan gerbang tidak ada satu pun monster yang berhasil melewatinya.
"Tapi kenapa ya~ ketua menyuruh kita berhati-hati," tanya Clara, bingung.
"Tidak di ketahui secara pasti. Yang jelas dia membuat sebuah kesalahan fatal lalu mengkhianati kekaisaran." Filial menghela napas berat, ada nada kekecewaan dalam perkataannya. "Saat ini dia memimpin sekelompok orang dan termasuk ke dalam buronan dengan nilai kepala tertinggi."
Clara juga ikut mendesah. Sangat disayangkan seorang pahlawan besar jatuh seperti itu.
Semoga saja mereka tidak bertemu dengan mereka ....
Tunggu, kenapa gadis itu merasa kalau ini seperti death flag?
"Bahkan rencana ini sudah bocor ke ketua. Orang itu memang misterius."
"Uh?"
"Tak apa. Ayo."
Mereka akhirnya berkumpul kembali lalu melanjutkan perjalan.
Setelah melewati dinding terluar mereka disambut hamparan hijau sejauh mata memandang. Dalam vegetasi ini ada berbagai hutan dengan karakteristik tersendiri dan lokasinya saling berdekatan. Akhirnya dikelompokkan jadi satu dan diberi nama Hutan Besar Zura.
Clara berhenti tepat di depan hutan.
Gadis kecil itu menghirup napas dalam-dalam berkali-kali lalu menepuk kedua pipinya dengan keras.
"Baik!"
Petualangan pertama pertama Clara akhirnya di mulai.