Sebuah suara lembut datang dari salah satu cabang pohon.
"Halo, dik Clara. Kita bertemu lagi."
Seorang wanita berseragam resepsionis duduk manis sambil memeluk boneka kesayangannya. Pemandangan ini sangat tidak cocok dengan suasana tegang saat ini. Apalagi ketika di kelilingi oleh pria besar dan sangar.
Terlebih, sejak kapan dia ada di situ?
Clara dan bahkan Rhino juga tidak menyadarinya.
Wanita ini, Siapa lagi namanya? Ah, ya, Anna. Dia bekerja sebagai resepsionis Aliansi Petualang.
Kenapa dia asa di sini?
Mungkinkah mereka dukungan rahasia yang dikerahkan wali kota?
Anna melompat turun dengan anggun lalu berjalan mendekati Clara.
"Suatu kesenangan bertemu denganmu lagi. Tapi sayang tempat ini tidak cocok untuk obrolan gadis," ucap Anna, terkikik.
Apanya sih yang lucu? Clara sama sekali tidak tahu.
Anna bertepuk tangan lalu kelima petualang itu segera mundur dan membuat formasi bertahan.
Pihak bandit memiliki beberapa korban. Pihak petualang juga tidak dalam kondisi bagus.
Anna mengalihkan pandangannya menuju pria besar berzirah hitam.
"Estarosa, jika kau mau mengalah kali ini nanti akan kubelikan banyak daging kualitas A5."
"Negosiasi macam apa itu!" Clara tercengang.
"Hem. Boleh juga."
"Di terima lagi!" Rhino juga sama terkejutnya.
Mereka sungguh kagum dengan betapa mudahnya negosiasi berjalan mengingat secara estimasi kerugian bandit lebih besar.
"Estarosa. Estarosa. Estarosa. Nama itu terdengar familiar." Clara terus menggumamkan nama Estarosa seperti sedang merapal mantra.
Akhirnya sekelebat ingatan memasuki kepalanya.
Pahlawan yang jatuh, Estarosa. Melawan gerombolan monster seorang diri. Pria dengan salah satu nilai buron tertinggi. Sebelumnya ketua aliansi juga sudah memperingatkan mereka tentang pria ini.
Tidak di sangka mereka akan begitu sial untuk berhadapan dengannya.
"Aku sih tidak keberatan mengalah. Tapi, nak." Mata Estarosa menatap Clara. "Alat itu, berikan padaku."
"Seram! Lagian alat apaan woy! Kasih konteks, lah." jerit Clara dalam hati.
"Oh, ya ampun. Jadi di sembunyikan di situ." Anna juga ikut memandang gadis malang itu.
"Eh, alat, alat apa ya~?" ujar Clara, bingung.
Clara hampir menangis karena tatapan menakutkan Estarosa dan pandangan penuh nafsu Anna.
Lagi pula mereka sedang membicarakan alat apa, sih?
"Alat itu. Pemberian kakek-kakek itu."
"... Ah! Benda itu maksdunya ... Umm ... Sial."
Yap.
Dengan ini Clara tidak bisa pura-pura tidak tahu lagi. Mulutmu harimaumu. Mulut Clara sepertinya harus dimasukkan kandang.
Dahulu. Sewaktu Clara ingin kembali ke penginapan saat terjadi insiden di Kota Denia, gadis itu sempat bertemu kakek aneh yang sedang sekarat. Setelah—dipaksa—menyembuhkannya, Clara di beri sebuah kalung sebagai hadiah.
Mana mungkin gadis secerdas Clara tidak curiga. Sejak saat itu dia fokus meneliti kalung itu—itulah alasan dia jadi agak pendiam—siang malam tanpa henti hingga akhirnya membuahkan hasil.
Dengan berbagai petunjuk yang ia kumpulkan dan arah percakapan saat ini, Clara akhirnya mengerti. Itu adalah alat yang selama ini di cari-cari semua pihak.
Jackpot!
Jika di jual harganya pasti akan sangat mahal.
Kabar baiknya, setelah merombak kalung menjadi menjadi beberapa bagian, Clara sedikit mengerti cara kerjanya.
Kabar buruknya, Clara tidak tahu cara merakitnya kembali.
Singkatnya, alat itu sudah rusak.
"Berikan padaku dan akan kubiarkan kau pergi. Namun jika tidak, kurasa kau sudah bisa menebaknya."
"Seram!" pekik Clara dalam hati.
"Eh. Tapi aku juga mau alat itu." Anna berkata dengan manja.
"Jangan lebih nyusahin orang gitulah!" umpat gadis polos itu dalam hati.
Rhino melihat Clara dengan penuh tanda tanya.
"Aku juga mau-"
Sebelum pria sangar itu menyelesaikan kalimatnya Clara sudah memukulnya lebih dahulu.
Gadis itu melepaskan diri dari gendongan Rhino lalu melihat sekeliling dengan wajah poker.
"Alatnya ada sama Clara. Tapi ya~ sudah rusak, tee~hee!"
Kalau dia bicara seperti itu pasti ia sudah di amuk masa.
Setelah melakukan berbagai pertimbangan akhirnya Clara memutuskan sedikit mengaku.
"Alatnya memang kebetulan ada di Clara. Tapi ya~ Clara meninggalkannya di Kota Denia."
"Jangan bohong," hardik Estarosa.
Pria itu mengeluarkan sebuah alat mirip kompas. Kelihatannya ujung jarum alat itu menunjuk tepat pada Clara. Gadis itu mencoba berpindah tempat tetapi jarum kompas terus mengikutinya.
Seberkas kesadaran akhirnya menghantam dirinya.
Clara segera membuang anting kirinya jauh-jauh. Akhirnya jarum kompas berpaling darinya.
Salah sebuah permata pada kalung pemberian kakek misterius terlihat sangat cantik jadi Clara menjadikannya anting dari pada terbuang sia-sia. Siapa sangka ternyata permata itu adalah sebuah alat pelacak.
Jika Clara tidak bertindak begitu serakah mungkin hari ini perjalanannya akan lancar. Sungguh bodohnya dirinya.
Terserah. Nasi sudah jadi bubur. Tidak ada guna menyesalinya sekarang.
"Itu dia?" tanya Estarosa.
"Ya~. Itu dia alatnya."
"Haa. Jangan menipuku, nak."
"Nih orang maunya apa sih!" gerutu Clara dalam hati.
Ketika Clara dengan panik memikirkan solusi, tiba-tiba suara cekikikan bergema di penjuru hutan. Sepertinya anna tertawa sampai-sampai keluar air mata.
Dia tertawa?
Ketika gadis manis ini hampir menangis memikirkan solusi dan dia malah tertawa?
Wanita resepsionis itu mlihat Clara dengan geli, lalu memandang Estarosa dan berkata, "Yah biarlah. Jika kau memang tak mau mundur sendiri maka aku akan memaksamu mundur."
Dia terdengar sangat percaya diri. Mungkinkah dia sangat kuat? Bahkan jika ia sekuat itu, melawan legenda hidup seperti Estarosa pasti tidak akan mudah. Atau mungkin saja dia sudah punya rencana? Atau senjata rahasia mungkin?
Siapa yang tahu.
Yang pasti ronde kedua telah dimulai.
Dan di sini Clara terjebak di antara pertarungan dua monster mengerikan ini.
..."...."...
Seorang pria tua berlari menyusuri kedalaman hutan. Perawakannya pendek namun penuh otot. Ia mengenakan zirah kulit dan pedang pendek sebagai senjatanya. Pria ini tidak lain adalah Wali Kota Darton.
Mengikuti di belakangnya adalah dua orang ajudan dan juga seorang pengawal dari pedagang tertentu, Rhino.
Pagi tadi Pedro sudah melaporkan tujuan mereka bersama rute yang akan ia lewati. Air Terjun Nagara, tempat itulah yang juga menjadi tujuan mereka.
Kenapa mereka terburu-buru katamu?
Alasan karena Rhino yang seharusnya berangkat bersama kelompok Pedro justru malah mendatangi gerbang utara dengan kebingungan.
Jika Rhino yang asli ada di sini, lalu siapa yang ikut dengan kelompok Pedro?
Tidak perlu orang jenius untuk mengetahui jawabannya. Jelaslah orang itu adalah Blackjack.
Namun hal ini berlaku juga sebaliknya.
Mungkin saja Rhino ini adalah palsu dan yang bersama kelompok Pedro adalah yang asli.
Masalahnya, sang perancang rencana sekaligus detektif terhebat seantero kekaisaran sedang absen dan keberadaannya tidak diketahui.
Jadi satu-satunya cara untuk mengungkap kebenaran adalah dengan mempertemukan kedua Rhino.
Darton tidak bisa menunggu kelompok Pedro kembali karena jika Rhino itu palsu maka mereka akan dalam bahaya serius.
Maka dari itu ia memutuskan untuk pergi terlebih dahulu dan memerintahkan wakilnya untuk menyiapkan pasukan.
Tapi jika ternyata Rhino yang bersamanya adalah yang palsu ....
Ini adalah pertaruhan.
"Kita akan sampai sebentar lagi."
"Maaf, Elaine. Harusnya saat ini kau berbulan madu dengan pasanganmu."
"Tak apa. Ini sudah termasuk resiko pekerjaan."
Darton sudah bisa mendengar suara air terjun di kejauhan.
"Siapa di sana!"
Namun seperti yang diharapkan, Perjalanan tidaklah mulus. Darton merasakan kehadiran dua orang menghadang jalan mereka.
Keduanya merasa tidak lagi perlu bersembunyi akhirnya menampakkan diri.
Mereka bertubuh langsing namun setinggi lebih dari dua meter. Keduanya tampak hampir identik, perbedaannya hanyalah warna zirah dan bentuk helm yang mereka kenakan. Dan lagi, di balik sela helm yang seharusnya menampakkan wajah, secara harfiah tidak ada apapun di sana. Hanya ada kegelapan bagai lubang hitam.
"Suku Kavach. Kalian tidak seharusnya berada di sini," geram Darton.
Mereka bukanlah manusia tapi salah satu demi-human, suku Kavach. Di kalangan manusia mereka lebih di kenal sebagai suku zirah hidup yang terkenal akan kemampuan tempurnya.
Setiap dari mereka terlahir sebagai pejuang alami dengan yang paling lemah setidaknya setara dengan kemampuan bela diri tingkat lanjut.
Suara seperti besi yang saling bergesekan datang dari salah satu pejuang Kavach. "Mati. Makhluk. Kotor. Menjijikan. Mati."
Dia terus mengutuk tanpa henti layaknya radio rusak. Walau demikian mereka berdua masih berdiri tenang di tempat semula.
Darton dan yang lainnya menyiapkan kuda-kuda.
Udara menegang.
"Mati. Terkutuk. Kalian. MAAAAATIIII!"
Makhluk zirah itu seakan mendadak menghilang dari tempatnya semula, tapi bagi seorang veteran seperti Darton tahu bahwa makhluk itu pada kenyataannya bergerak sangat cepat, menempuh jarak puluhan meter dalam sekejap mata lalu mengayunkan tombaknya dengan kecepatan yang sama.
Tubuh Wali Kota Darton terbelah menjadi dua.
Nah, itu hanya tubuh ilusi.
Darton yang asli ada tepat di belakang ilusi mengayunkan pedang pendeknya. Serangannya cukup kuat untuk memberikan cedera namun tidak cukup dalam.
Keduanya bertarung dengan cukup seimbang. Pejuang Kavach unggul dalam kekuatan mentah. Namun kekuatan itu tidak ada artinya karena Darton selalu bersembunyi di balik ilusi.
Bukan berarti Darton menang telak. Sebagai zirah hidup, seluruh tubuh anggota Suku Kavach sepenuhnya terbuat dari logam. Semakin keras tubuh mereka maka posisi mereka dalam suku akan semakin tinggi.
Lawan Darton kali ini mungkin adalah kapten sebuah unit mengingat serangan Darton hanya dapat memberikan goresan ringan.
"Wali Kota!"
Tiba-tiba sulur bangkit dari tanah dengan erat menghalangi pergerakannya.
Pejuang Kavach tidak memanfaatkan peluang ini dan malah memilih untuk mundur sejauh mungkin.
Firasat Darton menjadi tidak enak.
"Ini jebakan."
Wali Kota segera menyadari adanya riak mana di udara.
"Celaka. Elaine!"
Bahkan tanpa peringatan pun ajudan Darton sudah merapalkan mantranya. Kubah pelindung putih pucat mengitari mereka.
Lalu,
seberkas cahaya putih mengaburkan pandangan seolah menyelimuti seluruh dunia. Tak lama berselang suara gemuruh halilintar akhirnya menyusul, memekakkan telinga mereka.
Ini adalah sihir tingkat lima, Halilintar.
Kubah pelindung sama sekali tidak bisa bertahan dan hampir hancur berkeping-keping. Darton segera memperkuatnya dengan artefak miliknya. Kubah kembali di perbarui bahkan mungkin lebih jauh di perkuat dari sebelumnya.
Sihir halilintar tidak berlangsung lebih dari tiga detik, namun bagi penerimanya hal ini terasa seperti berlangsung selamanya.
Dalam waktu tiga detik ini topografi daerah sekitar sudah banyak berubah. Pepohonan hangus terbakar; sebuah kawah yang cukup besar terbentuk di sekitar kubah pelindung.
Di dalam kubah, semua orang dapat selamat tanpa cidera dari serangan sihir barusan.
"Akhirnya kau menampakkan dirimu, Hymne Blackjack," geram Darton, memuntahkan seteguk darah.
Ada sebuah lubang pada dada sang Wali Kota. Dia terluka tapi bukan karena sihir, melainkan karena serangan menyelinap Blackjack.
Sepertinya Darton sudah kalah dalam pertaruhannya. Rhino yang bersamanya ternyata palsu. Tapi hal ini justru melepaskan beban berat di hatinya karena kelompok Pedro seharusnya tidak dalam bahaya. Mungkin.