Serangan Estarosa begitu kuat hingga menciptakan kawah di tanah.
Si empunya tombak berjalan lurus menuju senjatanya seraya mengamati situasi melalui sudut matanya.
Medan yang tadinya bising seketika membisu. Tak terkecuali O'hime atau Friede Bersaudari, mereka menyaksikan kedatangan pria ini dengan cermat.
Dialah sang Pahlawan, ahli di antara para ahli, anekdotnya tersebar ke seluruh benua. Sebagai teman ia sangat dapat diandalkan. Sebagai musuh maka berharaplah engkau bisa kabur hidup-hidup.
Semenjak menjadi buronan mungkin inilah kali pertama ia muncul ke panggung utama dunia. Dan kemunculannya ini adalah untuk menjemput buronan berbahaya lain bernama Blackjack.
"Estarosa. Jangan bergerak sembarangan atau kubunuh dia," ancam Darton, mengacungkan pisau ke arah Blackjack.
Pria yang di maksud mengambil senjatanya, sama sekali mengabaikan Darton. Dia lebih fokus ke arah O'hime yang sudah kehilangan tangan kanannya.
"Hanya ingin bertanya. Kau tidak bisa menyembuhkan tanganmu secara instan, kan?" tanya Estarosa, penasaran.
Sang Kapten hanya bisa melongo tidak tahu bagaimana cara membalasnya.
Seakan puas dengan reaksinya, Estarosa mengangguk puas.
"Sepertinya begitu."
"Estarosa!"
"Dari mana saja-"
"Oh, diamlah, Nenek Peot!" bentak baliknya.
"Ne-nenek!" jerit saudari Friede.
Estarosa segera mengalihkan pandangannya menuju Darton, atau lebih tepatnya Blackjack.
"Jangan coba-coba, gadis kecil."
"Heh. Gadis kecil katamu?"
O'hime yang ingin melakukan serangan menyelinap dihentikan segera.
Baru saja datang dan orang ini sudah menyulut emosi semua orang. Pahlawan memang beda.
"Blackjack, di mana alatnya?"
"Gadis-"
Darton buru-buru menyumpal mulut si tawanan. Namun sayang hanya satu kata itu sudah cukup untuk memberi tahu lokasi alat yang di cari Estarosa.
"Baik. Terima kasih atas semua pengorbananmu, Hymne Blackjack. Kami Tidak akan pernah melupakannya," ucap Estarosa, tulus. Dia bahkan sampai membungkukkan badannya.
Darton tidak mengerti maksud darinya. Apa dia sudah menyerah untuk menyelamatkan Blackjack dan memutuskan untuk membantai mereka semua. Hanya memikirkannya saja sudah membuat sang Wali Kota berkeringat dingin.
Bahkan mereka sudah kesusahan hanya dengan melawan Friede Bersaudara. Apalagi O'hime sudah terluka parah. Jika sandera juga tidak efektif maka mereka tidak akan bisa kembali hidup-hidup.
"Hey, Nenek, kau kenal petualang bernama Anna?" bisik Estarosa.
"Kami agak mengenalnya."
"Kenapa bertanya?"
"Apa kalian bisa mengalahkannya?"
"Jangan menanyakan sesuatu yang bodoh."
"Jika kondisinya tepat mungkin, iya."
"Begitu." Estarosa kelihatannya membulatkan tekadnya. "Kita mundur."
"Hah!"
Bahkan Darton terkejut mendengar pernyataan Estarosa.
"Ke-kenapa!"
"Setelah semua pengorbanan ini ...."
"Jika kau ingin mati maka silahkan tetap tinggal," ujar Estarosa, dingin.
Setelah diberi peringatan serius mereka segera berubah sikap. Jika orang terkuat di antara mereka sampai bicara begitu maka sesuatu yang buruk pasti akan datang.
"Ah! Sial!"
"Awas kalian!"
Sambil mengutuk sumpah serapah mereka mengambil jasad saudari mereka, lalu tanpa penundaan segera terbang menjauh.
Kemunduran mereka adalah kabar baik bagi Darton dan yang lainnya. Tapi senyumnya segera membeku.
"Anggap ini sebagai hadiah perpisahan. [Cakar Naga]"
Estarosa mengayunkan halberd-nya, menciptakan puluhan aura biru berbentuk sabit di udara.
[Lingkar Pelindung]
"Celaka!"
Elaine menciptakan sebuah lingkaran pelindung namun Darton segera menariknya mundur.
lingkar pelindung yang tampak sangat kokoh segera hancur berkeping-keping ketika bertabrakan dengan sabit biru Estarosa.
Aura sabit sangat tajam dan destruktif, mampu menghancurkan apapun yang menghalangi jalannya.
Seolah satu saja tidak cukup merepotkan, Estarosa membuat puluhan darinya.
[Teknik Dewa Kematian, Aliran Keheningan, Pedang Sunyi]
O'hime hanya dengan satu tangannya membelokkan serangan Estarosa satu per satu.
Seperti gunung yang tinggi dan kokoh. Seperti langit yang luas dan agung. Seperti samudra yang tenang namun mematikan. Sebuah prinsip bela diri ketetapan atau konstan.
Konon katanya aliran keheningan adalah teknik pertahanan terkuat di mana hampir tidak ada yang sanggup menembus pertahanan orang yang menguasainya. Bahkan serangan Estarosa sepertinya juga tidak sanggup menembus pertahanannya. Tentu saja jika Estarosa serius maka hasilnya akan berbeda.
Namun serangan suam-suam kukunya saja sudah cukup untuk memporak-porandakan area sekitar.
"Biarkan pria tua ini istirahat," keluh Darton sambil mencoba keluar dari timbunan pohon dan tanah.
Dia selanjutnya membantu Elaine yang dalam kondisi buruk.
"Elaine. Bagaimana lukamu?"
"Beberapa patah tulang. Seharusnya tidak apa."
Tidak mungkin mengalami patah tulang di sebut tidak apa. Tapi setidaknya dia cukup kuat untuk kembali ke Kota Denia.
"Mereka pergi," ucap O'hime, mendatangi mereka.
"Untunglah kalau begitu ... tunggu, di mana Blackjack?"
"Pak Tua, bukannya dia tadi bersamamu?"
"... Sial."
Serangan semakin intens mendekati akhir sehingga tanpa sadar Darton berpisah darinya. Sebuah pikiran buruk membayanginya.
"Apa dia memanfaatkan situasi untuk kabur?"
"Jangan khawatir dia ada di sana," ucap sebuah suara merdu, kembali menegangkan situasi.
O'hime secara refleks bergerak mengayunkan pedangnya menuju sumber suara dan berhenti tepat sebelum memotong leher si empunya suara.
"Apa kau sebegitu sukanya mengagetkan orang, Anna."
"Ahaha. Maaf, maaf."
Wanita cantik itu tersenyum lalu mengelus pipi O'hime.
"Gadis manis, biar kusembuhkan tanganmu."
"Huh ...."
Gerakannya yang halus dan wajar menangkap lengah O'hime. Saat dia kembali tersadar lengan kanannya sudah sembuh seperti sedia kala.
Dia tidak mengerti apa dan bagaimana tapi mungkin di saat seperti ini dia harus mengucapkan terima kasih?
"Te-terima kasih."
"Sama-sama. Oh. Jika kalian mencari Balckjack dia ada di sana."
O'hime buru-buru menghampiri pria yang berada pada napas terakhirnya itu. Darton dan Elaine juga mengikutinya.
"Jack ... masih hidup?"
"Apa kau sebegitunya ingin pak tua ini mati? Hehehe."
Tidak peduli di lihat dari manapun luka yang di derita Blackjack terlalu parah. Jika terus dibiarkan dia akan mati lebih dahulu sebelum diadili.
"Anna, bisakah kau menyembuhkannya?" tanya Darton.
"Tidak. Dia sudah lama meninggal," balas Anna, menggelengkan kepala.
"Hah! Meninggal?" Darton dan yang lain tampak sangat kebingungan.
"Benar, kan, Profesor Blackjack."
"Ehehehe. Kelihatannya tidak mungkin menyembunyikan sesuatu darimu. Kau ini sebenarnya siapa?"
Siapa sangka pertanyaan acak Blackjack ternyata mendapat balasan serius dari Anna. "Nomor empat dari kelompok petualang Penakluk Surga, Annabelle."
"Penakluk Surga ... jadi rumor kalau anggota petualang legendaris masih hidup adalah benar."
"Seperti itulah. Aku terkejut kau tidak tahu padahal bersahabat dengannya."
"Dengannya?"
"Kesampingkan saja itu. Jangan menghabiskan waktu berhagamu denganku."
Anna segera menyingkir, memberikan sedikit ruang untuk reuni mengharukan ayah dan anak.
O'hime yang dari tadi bisu akhirnya membuka mulutnya.
"He-hey. Apa maksudnya kau sudah lama mati?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Hehe. Aku sudah mati saat insiden di Kota Denia. Di saat-saat terakhir aku menggunakan otoritas dalang milikku untuk memperpanjang hidup. Secara teknis aku sudah mati. Bahkan sihir penyembuh milik paus tidak akan dapat menyembuhkanku," jawab Blackjack.
"... Bodoh ...."
"Hey. Jangan menangis. Jangan biarkan wajah cantikmu ternoda air mata."
"Bodoh. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Bodoh! Jack bodoh! Kenapa ... kenapa kau begitu bodoh."
Tak kuasa lagi menahannya, air mata mengalir deras dari mata O'hime. Kali ini adalah nyata. Kapten Unit Penghakiman yang terkenal buas, menangis tersedu-sedu.
Jika ada anggota batalion yang hadir saat ini mata mereka pasti melotot tidak percaya.
"I-ini salahku, kan? Salahku kau jadi melakukan semua ini. Aku. Hime, Hime-"
"Putriku yang manis. Jangan salahkan dirimu. Ini bukan salah siapapun. Aku melakukannya atas kehendakku sendiri.'
"Kenapa? Jack, kenapa?" tanya O'hime, hampir putus asa.
"Hm. Aku tidak mau menjelaskan dua kali. Jadi tunggu dia datang baru kujelaskan," balas Blackjack.
Siapa dia?
Tidak butuh waktu lama sebelum semua yang hadir mengetahuinya. Dia datang tidak lama kemudian.
"Aku terlambat lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini diriku sangat sial. Apa kau mengutukku, Jack?"
Mengenakan jubah dan topi senada warna abu-abu. Berjalan sambil menghisap pipa rokoknya, dia datang, sang Detektif Terhebat, Delta Greyhorn.