Matahari hampir tenggelam saat mereka selesai mengkremasi jenazah Blackjack.
Setelah siuman, O'hime langsung kembali ke Kota Denia. Semua orang mengerti dan memberinya waktu untuk sendiri.
"Apa ini tidak apa?" tanya Darton. "Para petinggi pasti sangat marah jika mengetahui tindakan sewenang-wenangmu."
"Jelas mereka akan marah. Tapi aku tidak keberatan. Anggap ini sebagai balas budiku pada paman Jack," jawab Epsilon
Darton yang mendapat balasan seperti itu menyenggol pundak Detektif Greyhorn.
"Heh. Apa tanggapanmu sebagai seorang ayah?"
"Dia sudah dewasa. Aku tidak perlu ikut campur dengan urusannya," balas Delta acuh tak acuh.
"Ngomong-ngomong, apa kau tahu siapa yang berada di belakang semua ini?"
"Apa kau tahu tentang Petapa Bijak Ozin?"
Mendengar nama itu sedikit menderingkan bel di kepala Darton. Dia pernah mendengar rumor yang entah sudah ada sejak kapan tahu, bahwa ada seseorang yang tinggal dan hidup bersama monster. Kabarnya orang ini dibesarkan oleh kawanan serigala petir.
"Ya. Aku pernah mendengar satu atau dua hal tentangnya."
"Menurut perkiraanku, dialah kepala dari organisasi misterius ini," jelas Greyhorn.
Sang Detektif menatap gunung tinggi di kejauhan. Kegagalannya untuk membuktikan deduksunya belum lama ini masih membuatnya kesal.
"Walau aku gagal bertemu dengannya secara langsung, kemungkinan tebakanku benar cukup tinggi," lanjutnya.
"Kalau begitu kekaisaran dalam bahaya. Sudah ada Estarosa dan Friede bersaudara. Siapa tahu orang hebat mana lagi yang ada di dalamnya," ucap Darton, khawatir.
"Heh. Sejak kapan negara ini tidak dalam bahaya. Hanya tambahan satu faktor lain tidak merubah gambaran besarnya."
Darton kagum dengan betapa percaya dirinya sang Detektif.
Akankah pihak ketiga akan benar-benar muncul dan menciptakan keseimbangan antara kekaisaran manusia dan kerajaan demi human?
Siapa tahu.
"Mumpung masih di sini aku mau bertanya padamu. Apa kau tidak ingin melanjutkan perjuangan Blackjack?" tanya Darton.
"Untuk apa?"
Darton tersentak. Sepertinya ia juga tidak berniat melanjutkan perjuangan sahabatnya demi menciptakan dunia ideal.
"Sesuatu yang ideal disebut demikian karena itu tidak nyata. Justru aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Untuk apa mengejar mimpi kosong di siang bolong?" ujar Greyhorn, sinis.
"Oi, oi. Bukankah ucapanmu terlalu kejam?"
"Pikirkanlah. Semua upaya dan tenaga yang kukerahkan, bahkan hari ini aku sampai kehilangan seorang sahabat, semua hanya karena impian bodoh itu? Persetan dengan omong kosong dunia ideal," umpatnya.
Selama beberapa hari mengenalnya, Darton mengerti bahwa seseorang bernama Delta Greyhorn tidaklah seapatis kelihatannya. Malahan, dia mungkin tergolong emosional. Orang ini hanya menyembunyikan emosi di balik topeng dinginnya.
Jelas, dia juga merasa sedih setelah baru saja kehilangan seorang sahabat. Mungkin ide bagus untuk memberinya waktu sendiri.
Sayangnya masih banyak pekerjaan. Masih ada bersih-bersih pasca insiden. Belum lagi berita kemunculan monster peringkat-S.
Sungguh, orang tua seperti mereka juga butuh istirahat.
Tidak lama setelahnya Epsilon berangkat menuju perkemahan tentara.
Darton juga harus segera pergi. Namun sebelum itu,
"Em, nona Anna. Bisakah kau juga menyembuhkan lukaku?"
Luka-luka Darton yang sebelumnya hilang kini kembali muncul. Dia harus segera mendapat pertolongan. Terutama luka bagian dadanya akibat serangan mendadak Blackjack.
"Eh. Enggak mau."
Tapi sayang jawaban Anna adalah negatif.
"Ke-kenapa?"
"Kau sama sekali tidak manis. Kembalilah lagi di kehidupan selanjutnya ketika kau menjadi gadis manis."
"Kuh."
Darton merasa ingin menangis.
Ini namanya diskriminasi! Diskriminasi!
Untungnya masih ada orang yang peduli padanya.
"Ini, tolong gunakan ramuan penyembuh sebagai pertolongan pertama."
"Oh! Terima kasih, Elaine. Jangan khawatir, gajimu bulan ini akan kulipat gandakan."
"Kalau bisa kalikan tiga."
Namun, sesuatu masih mengganjal di hati Darton. Dia merasa seperti melupakan sesuatu.
"Apa ya ...?"
"Jika tidak ingat mungkin bukan sesuatu yang penting," balas ajudannya, Elaine.
"Yah, kuharap begitu."
Di arah yang berlawanan dari posisi mereka, sekelompok orang yang dilupakan Darton sedang kabur menuju Benteng Kenzi.
Pedro memimpin di depan. Diikuti oleh Lial yang menggendong Rhino. Di baris terakhir adalah Clara.
Perjalanan mereka kali ini cukup mulus. Sangat mulus sampai titik di mana mereka tidak bertemu apapun.
"Sesuatu terasa janggal."
Justru sangat aneh mengingat mereka tidak menemukan satu pun hewan di kedalaman hutan belantara ini.
Apapun masalahnya, tujuan mereka tetap tidak berubah.
Matahari sudah terbenam saat siluet dinding menampakkan dirinya. Benteng ini berukuran kecil dan merupakan salah satu dari enam benteng pelindung Kota Malam. Diperkirakan benteng ini mengakomodasi sekitar lima ratus tentara.
"Tempat ini agak kumuh," cetus Clara.
"Kelihatannya memang sedang terjadi sesuatu."
"Mari cek dahulu."
Pedro pergi lebih dahulu. Setelah mendapat sinyal dari si pemburu barulah Clara dan Lial masuk ke dalam benteng.
Clara mengamati sekelilingnya. Di mana-mana—tanah, dinding, bangunan—semua terdapat bekas hitam akibat terbakar.
"Perasaan Clara tidak enak."
"Sama."
Saat ini Pedro sedang bercakap dengan seorang prajurit dengan perut buncit. Prajurit itu memiliki kumis tipis dan berlapis baja.
Dia menatap Clara dan lainnya dengan sinis.
"Heh. Karena sudah ada surat pengantar tidak ada yang bisa kukatakan. Lakukan sesuka kalian. Tapi ingat, jangan buat kekacauan."
"Apa-apaan kau kira kami pembuat onar apa?" pikir Clara.
Sepertinya pria ini adalah tipe orang yang merendahkan petualang. Kesal sih, tapi biarlah.
Pikiran seperti itu tidak salah, sih. Karena kebanyakan petualang sering membuat kekacauan di mana-mana.
"Aa. Apa yang kalian lakukan. Jangan masuk. Tetap di lapangan," larang si prajurit ketika mereka ingin memasuki barak.
"Boleh di hajar ga?"
"Jangan."
Karena tuan rumah tidak mengizinkan maka mereka hanya dapat tidur di koridor. Tak apalah. Setidaknya ini lebih baik daripada tidur di alam liar.
Clara ingin segera tertidur pulas tapi sebelum itu pertama-tama mereka harus makan malam dahulu untuk memulihkan tenaga. Firasatnya sangat tidak enak.
Mari nobatkan hari ini sebagai hari tersial Clara.
Selagi mengunyah makanannya, Clara mengutarakan pendapatnya.
"Kak Lial, kak Pedro. Rasanya kok aneh, ya~?"
"Agak hambar memang. Tahan saja dulu untuk malam ini," balas Lial
"Enggak! Clara bukan lagi ngomongin makanan," hardik Clara.
"Oh, kau juga sadar?" Lial bersandar pada tembok lalu menguap. "Benteng ini terlalu sepi."
"Ah."
Clara akhirnya mengerti perasaan ganjil yang ada di hatinya. Benteng serta daerah sekitar sini terlalu senyap. Suara burung atau jangkrik pun tidak ada. Mereka juga tidak menemukan apa pun selama perjalanan kemari.
Lebih lagi bekas bakar di sekitar benteng ....
"Pedro, mari pergi selagi bisa," ujar Lial.
"Ya."
Kelihatannya kedua veteran tersebut sudah menyadari hal yang janggal. Clara memandang keduanya dengan mata bersinar.
Lial menggosok hidungnya dengan sombong dan mulai menjelaskan, "Sebagai petualang kau harus peka terhadap lingkungan. Kau perhatikan noda hitam di sekitar benteng? Kelihatannya belum lama ini benteng di lalap api yang tentunya bukan ulah manusia. Jadi kemungkinannya ada monster tipe api menyerang benteng ini."
"Oho. Jadi begitu."
"Karena masih ada prajurit di sekitar berarti hanya ada dua kemungkinan, antara mereka berhasil membunuh monster itu atau-"
"Atau monster itu pergi dengan sendirinya. Jika itu yang terakhir maka lebih baik bagi kalian untuk segera melarikan diri," tukas prajurit buncit dari sebelumnya.
Orang ini, Clara entah mengapa sangat ingin menghajarnya.
"Kau bisa saja bertarung ... atau kabur selagi masih ada kesempatan," ucap prajurit gemuk, sinis.
"Emang siapa yang menyerang benteng ini?" tanya Lial.
"Monster jahat dan menakutkan. Sebaiknya kalian pergi selagi sempat."
500 garnisun tentara bukan hanya untuk pajangan. Belum lagi senjata pertahan di dalam benteng.
Jika gerombolan monster melakukannya maka jumlah mereka setidaknya mencapai 300.
Namun jika hanya seekor monster yang membuat Benteng Kenzi sampai menjadi seperti ini ....
"Hey, bung, tidak bisakah kau memberi tahu kamu ulah siapa ini?" pinta Lial.
Mendadak, suara kicauan burung menggema jauh di angkasa.
Langit hitam berbintang sesaat lalu kini diwarnai merah membara. Suhu naik dengan teramat derastis.
"Kelihatannya diriku tidak perlu menjelaskannya."
Dari sumber suara muncul sosok burung seperti perpaduan antara elang dan merak menari di angkasa dengan anggunnya.
Bulu-bulunya berwarna kuning ke emasaan terbakar layaknya matahari. Lebar dari satu sayap ke sayap lainnya mencapai sepuluh meter. Pada bagian ekornya ada tujuh heliks, menyimbolkan kedekatannya dengan sang Dewa Matahari.
"Phoenix."
Bulu kuduk Clara berdiri. Untuk sesaat dia tidak mempercayai kenyataan yang ada di hadapannya ini.
Iya phoenix. Burung legendaris itu ada di depannya.
Kebetulan Clara memang menginginkan abu dari makhluk ini. Tapi jika memungkinkan dia hanya menginginkan abunya saja, bukan sekalian makhluknya.
"Eh, ini kebetulan, kan? Ini bukan karena ulah makhluk berbulu putih dan menjengkelkan tertentu, kan?" pikir Clara.
"Awawawa."
"Bagaimana mungkin makhluk itu ada di sini!" pekik Lial, tampak tidak mempercayainya.
"Mana kutahu," balas prajurit buncit, mengangkat pundaknya.
Phoenix itu melenggak lenggok di udara. Membakar segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Garnisun tentara kelihatannya sudah menyerah melawan dan lari tungggang-langgang. Anehnya, prajurit gemuk itu agaknya bersikap terlalu tenang mengingat situasi mereka saat ini.
"Bung, bukankah kau terlalu santai?" tanya Lial.
Prajurit itu hanya mengangkat bahu, tidak peduli.
Pedro mengangkat busurnya. Dia lalu menembakkan hampir sepuluh anak panah dalam kurun waktu kurang dari tiga detik.
Kekuatan tembakkannya tidak perlu diragukan lagi. Belum lama ini keterampilan Pedro telah mencapai tingkat yang lebih tinggi dan sekarang dia mampu menembus tubuh astral layaknya tubuh fisik.
Jadi secara teoritis, anak panahnya akan mampu melukai sang Burung Abadi.
Namun sayangnya, bahkan jauh sebelum mencapai targetnya anak panah yang ia tembakkan sudah hangus menjadi abu.
"Percuma," ejek prajurit gemuk. "Satu-satunya senjata yang mampu mengenainya sudah rusak pada pertempuran sebelumnya. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah pasrah saja."
Clara mencoba menembakkan sihir tapi segera mengurungkan niatnya. Bagaimanapun itu hanya buang-buang tenaga. Tidak mungkin serangan Clara mampu melukai burung legendaris ini.
"Sekarang apa?" tanya Clara, tenang.
"Apa lagi? Ya kaburlah," balas prajurit buncit.
"Ni orang boleh di hajar gak sih?"
"Jangan."
Mereka memutuskan mengikuti prajurit gemuk ke dalam barak, lalu kabur melalui saluran bawah tanah.