Di dalam bangunan tiga lantai tersebut ternyata cukup kosong. Terasa seperti tidak ada orang lain di dalam sini selain mereka berlima.
Mereka harus bergerak cepat sebelum seluruh bangunan dilalap api.
Mereka berlari melewati lorong kosong. Lalu melewati dapur. Menuju ke tempat tidur. Kembali ke lorong. Pintu selanjutnya mengarah ke dapur. Lalu mereka melintasi ruang latihan. Selanjutnya dapur lagi.
"Bentar, bentar. Om gendut, tempat ini punya berapa dapur, sih?" keluh Clara.
"... Hanya satu."
Gadis itu berhenti berlari lalu memandang kosong prajurit buncit. "Jadi, ya~, kita dari tadi cuma muter-muter?"
"Menurutmu gimana?"
"Wahai sang agni, jawablah. Hancurkanlah jadi-"
"Jangan."
Prajurit itu terkekeh, tidak berniat menjawab pertanyaan Clara lebih lanjut.
Darah gadis itu benar-benar sudah mendidih. Tapi apa daya, dia hanya bisa terus mengikuti pria menjengkelkan itu.
"Setidaknya jawab pertanyaan kami. Sebenarnya apa yang terjadi," keluh Lial.
"Apa kau masih tidak mengerti? Kita sedang berputar-putar."
"Panggang, kuy."
"Jangan."
"Tolong lebih spesifik," pinta Lial.
Pria gemuk menunjuk ke arah jendela. Tepatnya ke arah phoenix yang memporak-porandakan seisi benteng Kenzi.
"Burung sialan itu asalnya dari dungeon tidak jauh dari sini."
"Dungeon katamu!"
"Katanya sih Batalion Kesatria Khusus ada di kota Denia. Jadi seharusnya akan mudah ditangani. Pokoknya, barak ini sudah masuk domain dungeon itu. Hasilnya adalah apa yang terjadi pada kita sekarang."
"Terus kenapa pilih kabur lewat sini!" bentak Clara.
"Aaaahh! Pengen mukul."
"Jangan."
Bangunan ini sudah mulai ambruk. Namun mereka masih terjebak dalam infinite loop. Jika hal ini terus berlanjut mungkin nanti seseorang akan menemukan Clara panggang di samping babi panggang.
Dapur. Kamar tidur. Kamar tidur. Kamar tidur. Dapur. Lorong. Lorong. Kamar tidur. Dapur. Kamar tidur. Kamar tidur. Dapur. Kamar tidur. Lorong. Kamar tidur.
Perulangan ini terus berlanjut selama beberapa menit hingga akhirnya mereka mencapai ruangan yang sama sekali baru.
Sebuah padang rumput penuh ilalang terpapar di depan mata mereka. Jelas, tidak mungkin tempat ini berada di Benteng Kenzi.
"Sial."
Entah siapa yang mengatakannya.
Jalan kembali menghilang, mungkin karena barak sudah runtuh. Artinya mereka hanya bisa melangkah maju.
"Apa kau tahu dungeon apa ini?" tanya Pedro.
"Tidak. Prajurit yang melakukan pengintaian tidak pernah kembali," jawab prajurit buncit.
"Aah! Sial. Pedro, harusnya kau mendengarkanku dan membawa lebih banyak orang!" amuk Lial sambil menggenggam kerah baju Pedro.
"Maaf."
Clara tersentak. Tak pernah terpikirkan di benaknya orang macam Lial yang selalu tertawa akan sefrustasi ini.
Tapi jika dipikirkan lagi amukan Lial dapat dimengerti. Hanya dalam waktu setengah hari mereka harus berhadapan dengan lawan menakutkan seperti pria gendut, Estarosa, dan sekarang burung legendaris Phoenix. Bahkan ada batasan seberapa sial seseorang bisa menjadi.
Meskipun amarah Lial tidak diarahkan padanya, hati Clara masihlah bergetar. ia kembali tersadar, kemungkin besar semua ini adalah kesalahannya.
"Ya ampun, dasar petualang tidak berguna. Jika mau berkelahi lakukan di tempat lain, ada anak kecil di sini," tegur prajurit buncit.
Clara sekali lagi terkejut. Paman ini, apakah dia sebenarnya orang yang baik?
Kesampingkan sikap sinisnya.
Orang ini tidak marah terhadap sikap kurang ajar Clara. Dia bahkan sampai repot-repot membimbing mereka, walau hasilnya mungkin sangat buruk.
Seseorang memang tidak boleh di nilai dari sampulnya.
"Kami tidak berkelahi, kok," ujar Lial, kembali ceria.
"Eh?"
Dalam waktu singkat Clara dikejutkan berkali-kali. Untung dirinya tidak punya penyakit jantung.
"Dengar, dik Clara, sangat penting untuk melepaskan frustasimu dari waktu ke waktu daripada menahannya dan malah meledak sendiri," jelas Lial.
Clara hanya bisa manggut-manggut karena tidak tahu harus bereaksi apa.
"Sekarang apa?"
Setiap dungeon memiliki karakteristiknya masing-masing. Setiap penjelajah dungeon harus mempelajari karakteristik itu jika ingin selamat saat menjelajah.
Sayang di kelompok Clara tidak ada yang tahu dungeon macam apa ini. Lebih buruk lagi, selain Pedro yang hanya pernah menjelajahi dungeon sekali, tidak ada dari mereka yang pernah masuk ke dalam dungeon.
Jauh lebih buruk lagi, tempat ini diduga adalah asal dari burung Phoenix. Dapat ditebak seberapa menakutkannya dungeon ini.
"Bagaimana kalau pergi ke kastil itu?" usul Pedro.
Tampak di kejauhan makhluk-makhluk aneh sedang menyantap rumput. Makhluk apa itu? Tidak ada yang tahu jawabannya.
Lebih jauh lagi, tepatnya di atas sebuah bukit berdiri sebuah kastil putih seperti yang berada di negeri dongeng.
"Eh, yakin, nih?"
Clara sekali lagi merasakan firasat buruk. Jika mengikuti logika, jelaslah kastil mencolok itu bukanlah hal baik. Mid-bos atau bahkan bos terakhir mungkin saja bersemayam di kastil itu.
"Terus mau kemana lagi?"
"Enggak. Clara ya~ udah capek. Mending istirahat dulu abis itu jelajah daerah sekitar."
Pedro dan Lial saling melirik. Setelah berpikir sejenak akhirnya mereka menyetujui saran Clara.
"Jujur saja, keberuntungan kita hari ini sangat jelek. Jika kita memasuki kastil itu mungkin saja raja iblis akan menyambut kita," ucap Lial, bercanda.
Tapi mengingat keberuntungan mereka, mungkin saja itu terjadi.
Mereka memutuskan untuk membuat kemah sederhana di atas bukit. Setelahnya Lial langsung terkapar di tanah sedangkan Pedro sekali lagi menghilang entah kemana.
Clara terduduk dan memejamkan matanya. Dia mengenang kembali kejadian yang belum lama ini terjadi.
Di mulai dari penyerangan pria obesitas. Lalu bertemu Pahlawan yang Jatuh Estarosa. Di lanjutkan serangan pembunuh. Sekali lagi melawan pria obesitas. Dan setelah berhasil kabur dari semua itu mereka harus berhadapan dengan burung legendaris. Semua itu terjadi dalam sepuluh bab.
Gila memang.
Kalau di pikir ulang Clara bisa saja mati hanya dengan kesalahan kecil sedikitpun. Tapi anehnya dia merasa kurang ketegangan. Rasanya seperti sebuah firasat, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Mungkin semua karena perencanaan terperinci dari dalang di belakang layar.
Semua seolah berjalan lancar sesuai kehendak perancang panggung. Semua menari di atas telapak tangannya.
Perasaan seperti ini sungguh menjengkelkan.
Di masa depan dia harus sebisa mungkin menghindari situasi seperti ini terjadi lagi.
Perlahan gadis mungil itu mulai tertidur pulas.
"-Ra."
"-Ra."
"Clara!"
"Ah. Eh?"
"Astaga. Kalau orang lagi menjelaskan dengerin, dong."
"C-Clara dengerin kok!"
"Apa coba?"
"...."
"Kan, enggak dengerin! Ada apa?"
Tempat yang familiar. Bau yang familiar. Orang yang familiar. Tapi kenangan ini ....
"Ini kapan, ya?"
"Hah?"
"E-enggak. Silahkan dilanjutkan."
Gadis itu sama sekali tidak ingat kapan ini terjadi.
Ini mimpi, kan?
"Dengerin. Aku tidak mau mengulang lagi. Otoritas yang kuberikan padamu, saat ini hanya bisa menampilkan kekuatan yang terbatas. Aku akan memberitahu kemampuan yang dapat diaktifkan lalu pilih salah satu."
Singkatnya, dari banyaknya kemampuan Clara hanya bisa mengaktifkan satu untuk saat ini. Tapi, mengingat keterampilan pasifnya, bisa di bilang ada lebih dari satu kemampuan yang dapat digunakan.
Keterampilan aktif yang dapat dipilih semuanya luar biasa. Clara dengan cepat memilih satu. Simpelnya, itu karena dia saat ini belum membutuhkan keterampilan yang lain.
"Clara ya~ milih power up dalam waktu singkat."
"Eh, yakin nih? Enggak mau comedic regenaration saja?"
"Mau di tampol?"
Comdedic regeneration. Dengan ini pengguna memiliki kemampuan regenerasi layaknya karakter komedi. Kau tahu, seperti jika suatu karakter genre komedi terluka, pada adegan berikutnya karakter tersebut langsung sembuh total seolah dia tidak pernah terluka.
Kedengarannya bagus, memang. Tapi masalahnya syarat pengaktifannya terlalu konyol, yaitu tidak bisa diaktifkan saat suasana sedang serius. Artinya kemampuan ini tidak berguna dalam pertempuran.
"Eh. Padahal itu bagus, loh. Yah terserah." Raph mengangkat bahu lalu mulai menjelaskan lebih detail efek dari keterampilan yang dipilih Clara. "Pada saat tertentu, kau akan mendapat dorongan kekuatan berbanding lurus dengan tingkat bahaya yang dihadapi. Misalnya jika kau berhadapan lagi dengan Estarosa-"
"Bentar, bentar. Kok Raph tau ya~ Clara melawan Estarosa?"
"Kesampingkan dulu itu. Nah, jika kau melawan Estarosa dan menerima beberapa luka, maka kekuatan ini akan aktif. Walau kau tetap akan kalah tapi setidaknya dalam pertempuran ini kau tidak akan pernah kehabisan mana. Kurang lebih begitu."
Clara mengangguk menunjukkan kalau dia paham.
"Oke, sekarang jawab pertanyaan Clar-"
"O-oi! Sakit! Apaan sih bangun-bangun langsung mukul orang."
"Enggak apa-apa. Lagi pengen aja."
Seperti yang sudah di duga, gadis itu langsung terbangun dari mimpinya. Lain kali Clara bertemu dengan kelinci aneh itu lagi dia pasti akan membalasnya.
Dia tidak merasa sudah tidur namun setelah pengecekan singkat ternyata kelelahan pada tubuhnya sudah hilang banyak.
Selanjutnya ....
"Oh, Rhino. Sudah sadar, toh."
"Kau ngajak berantem apa gimana sih? Setidaknya khawatir dikit lah."
"Cup. Cup. Cuma luka gores. Sebentar lagi ya~ sembuh. Sa-sakit! Pipi Clara jangan di tarik."
Selanjutnya Clara menghampiri Lial yang sedang menyantap sarapan. Walau sejujurnya dia tidak tahu sekarang jam berapa.
"Pagi." sapa Lial.
"Pagi."
Mereka bercengkrama sambil menyantap sarapan.
"Ngomong-ngomong, Kak Pedro belum kembali?" tanya Clara.
Lial menunjuk ke satu titik. Di sana tampak Pedro sedang bersandar pada batu sambil termenung.
"Apa yang kak Pedro pikirkan?"
"Mana kutahu. Palingan juga sedang tidur."
"... Heh? Tidur?" Clara terkejut.
Jika menggunakan sihir pengelihatan jarak jauh dia dapat melihat Pedro membuka matanya.
"Kak Pedro tidur, uhuk! Uhuk!"
"He-hey. Clara ...."
Clara mendadak terbatuk-batuk.
Lial di sisi lain terlihat panik karena tidak bisa mengikuti perkembangan peristiwa. Rhino langsung bergegas membawa ransel gadis itu mendekat.
Setelah batuknya sedikit reda, Clara segera mencari obat di dalam ransel lalu meminumnya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Lial, Khawatir.
"Anak ini mempunyai penyakit bawaan." Rhinolah yang menjawabnya.
Lial menghela napas. "Lain kali katakan jika kau punya penyakit atau sedang sakit. Karena hal ini menyangkut hidup mati suatu kelompok."
Clara mengangguk meminta maaf.
Setelah itu, butuh beberapa waktu sebelum batuknya benar-benar reda.
Dan tanpa mereka sadari Pedro sudah menyiapkan sarapan.
Pria idaman gitu, loh.