Chereads / Kisah Petualangan Clara / Chapter 34 - Dungeon

Chapter 34 - Dungeon

Apa itu dungeon?

Para peneliti sendiri masih bingung tentangnya.

Untuk saat ini mari kupas fakta-fakta yang sudah diketahui.

Pertama, dungeon adalah sebutan untuk sebuah dimensi alternatif. Setiap dungeon memiliki penghuninya tersendiri serta tidak terikat dengan aturan dunia. Jadi, mungkin saja sebuah dungeon memiliki gunung terbalik dari langit, atau adanya tiga matahari, atau tidak adanya gravitasi.

Kedua, kemunculan dungeon sangat acak dan tidak bisa diprediksi. Namun, menurut penelitian terbaru diduga dungeon tidak terbentuk secara alami melainkan diciptakan oleh seseorang. Siapa penciptanya masih belum diketahui.

Ketiga, Penghuni dungeon akan terus berkembang biak. Artinya jumlah mereka akan terus bertambah akan tetapi ruang hidup tetap. Pada titik tertentu mereka akan keluar dari dungeon dan mengacau di dunia utama. Itulah sebabnya perlu dilakukan pembersihan secara berkala jika dungeon tidak dihancurkan.

"Biasanya setiap dungeon memiliki titik masuk tetap. Namun kelihatanya pintu masuk dungeon ini akan muncul secara acak," jelas Pedro.

"Eh, kalau begitu ya~ susah dong keluar dari sini"

"Hm. Persediaan makanan bisa bertahan selama seminggu. Dua minggu jika irit sampai batas. Masalahnya adalah sumber air," ujar Lial.

"Jangan khawatir, di sebelah timur ada sebuah danau," balas Pedro

Ngomong-ngomong, langit di dungeon ini berwarna ungu dan tidak ada benda langit seperti matahari atau bulan.

Untuk memudahkan navigasi mereka sepakat untuk menjadikan kastil putih sebagai titik utara.

"Aku sudah memeriksa secara sekilas. Di barat dan selatan adalah daerah hutan. Untuk penghuninya sendiri aku kurang yakin tapi sepertinya bagian padang rumput dihuni bermacam makhluk reptil.

"Hutan bagian barat dikuasai oleh kawanan primata. Sedangkan bagian selatan adalah wilayah burung. Di tengah situ ada pohon raksasa yang kuduga sebagai sarang burung phoenix. Sedangkan di danau bagian timur aku hanya melihat siluet raksasa yang kemungkinan besar adalah naga," lapor Pedro, panjang lebar.

Phoenix di selatan dan naga di timur. Keduanya adalah lawan yang sebisa mungkin harus mereka hindari. Namun masalahnya mereka harus menuju sarang keduanya.

"Ini buruk. Untuk mengamankan air kita harus ke danau. Selain itu, karena phoenix bisa keluar dungeon artinya ada pintu keluar di sekitar sarangnya," terka Lial.

Mereka membisu. Keadaan memaksa mereka untuk memasuki sarang musuh yang seharusnya mereka hindari.

"Sekarang apa?"

"Tempat ini terlalu terbuka. Mari pergi ke hutan dekat danau," usul Pedro.

Karena tidak ada yang memiliki ide lain akhirnya tujuan mereka selanjutnya diputuskan. Selanjutnya mereka membongkar kemah dan menghapus jejak.

"Ngomong-ngomong kemana paman gendut? Dari tadi tidak kelihatan."

"Pergi."

"Kemana?"

"Entah. Waktu kutanya, 'Bukan urusanmu,' begitu jawabanya."

"Heh."

Karena dia pergi dengan keinginannya sendiri maka jika dia dalam masalah itu bukan urusan mereka. Lagi pula dia sudah dewasa.

Butuh waktu sejam untuk sampai ke danau. Sebagian besar karena mereka mencoba menghindari pertempuran sehingga memilih jalan memutar.

Menurut Pedro, monster di sini kebanyakan berada pada peringkat D-C. Walau tidak terlalu kuat, tetap saja merepotkan jika harus melawan gerombolan dari mereka. Apalagi Rhino masih belum sembuh total.

"Waaah!"

Tidak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan danau selain, wow!

Sama seperti danau di Air Terjun Nagara, danau ini juga sangat jernih. Tidak, bahkan jauh lebih jernih karena air di sini sejernih kristal.

Rasanya Clara ingin kembali bermain air. Tapi dia menahan perasaannya karena keberadaan makhluk raksasa jauh di tengah danau.

Jika hanya dari siluetnya saja makhluk tersebut mirip angsa. Namun tidak mungkin angsa bisa sebesar itu.

"Naga itu tidur?" tanya Clara.

"Mungkin. Mungkin juga tidak. Mari pergi."

Mereka hanya berhenti sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju hutan di selatan.

Tidak butuh waktu lama sebelum vegetasi hutan berada tepat di depan mereka.

"Uwah ...."

Berbeda dari danau, pepohonan di sini tidak tampak berbeda dari Hutan Besar Zura. Clara merasa enek karena harus sekali lagi menjelajahi hutan.

"Mulai sekarang berhati-hatilah," ucap Pedro.

Berbeda dari padang rumput terbuka, di hutan penglihatan mereka dibatasi pepohonan.

"Terberkati sang bayu. Terberkati sang buana. Terberkati sang kartika. Angin, bumi, bintang, berkatilah. Jadilah ringan."

"Terberkatilah sang ardi. Terberkatilah sang ancala. Terberkatilah sang pancalogam. Bumi, gunung, logam, berkatilah. Jadilah keras."

Setelah Clara selesai merapal sihir dukungan, mereka segera memasuki hutan.

Tujuan mereka adalah mencari gua atau tempat lain yang cocok untuk dijadikan pangkalan.

"Hati-hati!"

Baru berjalan sejenak dan mereka sudah disambut kawanan burung kamikaze.

Kenapa di sebut kamikaze katamu?

Jelas itu karena mereka akan meluncur dari puncak pohon, jika mereka tidak mengenai targetnya mereka akan meledak. Ya, mereka secara harfiah meledak dengan sendirinya.

"Apa-apaan!"

Clara menggantung di punggung Lial ketika lelaki itu menghindari serangan musuh. Eh, kenapa Clara menggantung seperti itu katamu?

Burung kamikaze hanya sebesar kepalan tangan. Seranganya tidak terduga dan sangat cepat. Serangan paruhnya juga cukup kuat untuk menciptakan lubang di tubuh Clara.

Hanya mengandalkan refleksnya saja untuk menghindar sama seperti mencari mati. Rhino belum sembuh total dan Pedro entah tahu di mana. Jadi Clara hanya bisa bergantung pada Lial.

"Semangat kakak."

"Jangan banyak gerak."

Berjalan lima langkah, lalu serangan burung datang. Berjalan delapan langkah lagi dan mereka akan kembali di serang.

Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka hanya bisa secara membabi buta berjalan sampai keluar dari teritori burung kamikaze.

"Kemari!" sahut Pedro.

Mereka akhirnya menemukan sebuah gua berkat arahan sang Pemburu. Pintu masuknya berbentuk lubang kecil dan agak tersembunyi.

"Sepertinya sudah berpenghuni," ucap Lial.

"Ya. Makhluk primata yang kusebutkan sebelumnya, jumlahnya hanya ada lima," balas Pedro.

"Bagaimana? Hajar?"

"Gas!"

"Terberkatilah sang malam. Terberkatilah sang kartika. Malam. Bintang. Jadilah tampak."

Clara selesai merapalkan sihir penglihatan malam. Walau hanya versi interiornya tapi seharusnya cukup membantu ketika bertarung di tempat gelap.

Pertama Lial sebagai garda depan melompat ke dalam gua, diikuti Rhino, Pedro, terakhir Clara.

Gua ini berbentuk cekung tanpa ada jalan lebih jauh ke dalam.

Clara bisa melihat secara samar makhluk mirip kera sedang tertidur pulas.

Keempatnya jalan mengendap-endap mendekati mereka, mencoba melakukan serangan mendadak.

Jika masing-masing dari mereka berhasil membunuh satu maka kemenangan mereka akan terjamin.

"Ini akan mudah," pikir si gadis.

Namun pikirannya itu terbukti naif.

Mungkin karena merasakan tanda bahaya para primata itu mendadak terbangun. Untungnya Pedro segera bertindak dan berhasil membunuhnya dengan satu tembakan.

Serangan mendadak Lial juga berhasil memotong kepala salah satu primata. Sedangkan Rhino hanya berhasil memberikan goresan karena mangsanya segera menghindar.

Pelajaran No. 31 Raph, jangan menggunakan sihir api di dalam gua atau ruang tertutup.

Karena itu Clara merapalkan sihir favorit lainnya, [Rawa].

Para primata tampak terkejut karena kehilangan pijakan di tanah berlumpur. Lial segera memanfaatkan kesempatan untuk kembali membunuh salah satu dari mereka.

Mengejutkannya, salah satu primata berhasil mengelak dari panah Pedro. Ruangan sempit benar-benar tidak menguntungkan pemanah seperti Pedro.

Salah satu primata mendapatkan kembali keseimbangannya lalu melompat ke arah Clara.

Dari sekian banyak orang mengapa memilih Clara yang paling jauh?

Gadis itu mulai bertanya-tanya seberapa buruk peruntungannya.

Clara segera mengelak sambil melantunkan sihir es. Es tajam berbentuk jarum terbentuk di udara dan melesat menuju targetnya.

Sayang, primata itu berhasil menangkap es Clara.

"Kyaahh!"

"Hati-hati."

Tampak kesal, si primata melempar es di tangannya. Clara yang tidak sempat menghindar segera ditarik oleh Pedro.

Rhino datang menggantikan Clara melawan primata. Gerakan musuh ganas dan membabi buta. Rhino agak kesulitan melawannya.

Ketahuilah tangan-tangan besar primata itu dapat membuat retakan di dinding gua. Jika sampai terkena bahkan Rhino akan terluka.

Pedro bergegas membantu Rhino. Ia mengganti senjata menggunakan pedang pendek setelah mengetahui primata itu dapat menangkap anak panahnya.

Pedro menyelinap ke belakang primata yang disibukkan oleh Rhino lalu mencoba untuk menyerang kepala. Namun serangan mendadaknya gagal. Primata itu berhasil mengelak di detik-detik terakhir.

Momen ini dimanfaatkan Rhino untuk mendaratkan serangan. Kapaknya menancap dalam pada bahu primata.

"Kyaahh!"

Si primata memberontak keras namun hidupnya segera diakhiri oleh tebasan Pedro.

Kepala primata itu jatuh lalu bergulir ke arah Clara. Tampak jelas ekspresi penuh kebencian pada wajah primata.

"Clara sial banget belakangan ini."

Lial di sisi lain juga berhasil membunuh primata terakhir.

Dengan ini pertempuran berakhir dengan kemenangan kelompok Clara.

Siapa sangka mereka akan sedikit kesulitan melawan primata-primata itu.

"Mereka punya refleks yang gila," ujar Lial.

"Kekuatan cengkraman mereka juga sangat kuat. Lain kali kita harus lebih berhati-hati," tambah Pedro.

Rhino terduduk sambil bersandar pada dinding gua. Sepertinya masih butuh waktu sebelum dia sembuh total.

"Aku akan pergi cari kayu bakar," ucap Pedro.

Dengan ini mereka berhasil mengamankan tempat untuk dijadikan markas.