Chereads / Kisah Petualangan Clara / Chapter 31 - Kasus Ditutup

Chapter 31 - Kasus Ditutup

Cerita bermula bertahun-tahun sebelumnya ketika Blackjack baru berusia delapan tahun.

Blackjack kecil bermain sendiri bersama bonekanya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, anak-anak tetangga akan datang dan mengganggunya. Namun kali ini sesuatu yang berbeda terjadi.

Seorang bocah yang sedikit lebih tua darinya datang dan mengusir kerumunan pengganggu.

Siapa?

Mengapa?

Saat itu Blackjack kecil tidak mengerti. Dia memberanikan diri menanyakan alasan bocah itu membantunya. Alih-alih mendapat jawaban Blackjack malah kena marah.

"Anu, ya, di saat seperti ini harusnya kau berterima kasih!" ucap bocah itu.

"Ma-maaf-"

"Bukan Maaf! Terima kasih!"

"Te-terima kasih."

"Bagus. Jangan lupa berterima kasih lain kali jika seseorang membantumu."

Bukannya merasa berterima kasih Blackjack kecil justru lebih takut pada bocah ini dari pada pengganggu sebelumnya. Entah mengapa, bocah ini terasa berbeda.

"Anak bodoh! Kau malah menakutinya!"

Seorang pria datang dan menjitak si bocah.

"Ta-tapi guru, bukankah kau selalu mengatakan padaku untuk berterima kasih saat mendapat bantuan?"

"Bocah nakal! Ini ya ini, itu ya itu!"

Pria yang dipanggil guru itu sekali lagi menjitak kepala si bocah. Dia lalu meminta maaf pada Blackjack.

"Maafkan bocah nakal ini," ucap si pria sambil menundukkan kepalanya.

"Ti-tidak apa-apa. Maaf. Eh, itu, terima kasih."

"Lihat! Lihat apa yang baru saja kau lakukan dasar bocah nakal."

Si pria kali ini mencubit pipi tambun si bocah.

"Gu-guru! Sa-sakit. Tolong hentikan."

"Ini hukuman untukmu. Kita baru datang ke kota ini dan kau sudah membuat masalah yang tidak perlu."

Kedua guru dan murid itu pergi menjauh meninggalkan Blackjack kecil dalam kebingungan. Mereka datang tak di undang dan pulang tanpa pamit.

Keesokkan harinya si bocah kembali datang namun kali ini ditemani seorang gadis kecil.

"Senior, jangan membuat masalah atau guru akan marah lagi," peringat si gadis.

"Berisik! Kau kira aku biang masalah apa!" bentak si bocah.

Namun kemarahannya semakin menjadi-jadi ketika si gadis mengangguk kuat.

Blackjack kecil yang tidak tahan lagi segera berucap, "A-anu, ada apa ya?"

"Ehehe. Hey, kau! Kau tidak punya teman, kan? Kalau begitu bermainlah bersama kami!"

Blackjack kecil sekali lagi kebingungan. Ini adalah pertama kalinya seseorang mengajaknya bermain.

"Ti-tidak usah."

"Bagus! Kalau begitu ... eh, apa?"

Bocah itu kelihatannya tidak percaya Blackjack akan menolak tawarannya.

Jujur saja, Blackjack kecil lebih suka bermain sendiri. Di tambah lagi ibunya selalu berpesan untuk menjauhi orang yang tampak kasar.

"Ya ampun, senior, pantas saja kau tidak punya teman," cemooh si gadis.

"Be-berisik!"

"Pertama-tama kau harusnya memperkenalkan dirimu terlebih dahulu. Bukankah guru sudah sering mengatakannya?"

Sebuah ekspresi oh, iya, akhirnya aku ingat terpasang di wajah si bocah.

"Ehem. Mari mulai dari awal lagi. Namaku Dodo Riko. Salam kenal."

"Blackjack ... salam kenal."

Blackjack kecil menyambut uluran tangan bocah itu. Tanpa diduga tangannya terasa sangat kasar, mirip seperti tangan ayahnya dahulu.

"Shanti. Salam kenal," ucap si gadis.

Semenjak itu si bocah akan menjadi satu-satunya orang yang mengganggunya karena pengganggu lain takut padanya.

Bocah itu akan datang lalu menariknya ke segala tempat. Ketika senja datang dia akan mengembalikan Blackjack ke rumahnya. Lalu pagi tiba dan bocah itu sudah menunggunya di depan rumah. Pada satu titik Blackjack bahkan di sambut sebagai murid seperguruan.

Sang guru hanya mempunyai lima orang murid tidak termasuk Blackjack. Semuanya sangat hangat dan ramah.

Ketika bersama mereka Blackjack kecil merasa seperti berada di rumah. Bukan rumahnya saat ini tapi rumahnya dahulu di mana ayah, ibu, dan dirinya akan duduk di depan meja menyantap makanan sambil bercerita dan bersenda gurau.

Namun sayang, sama seperti keluarganya, kebersamaan mereka juga harus berakhir.

"Tiga tahun terasa mengalir begitu cepat. Kenapa mereka harus pindah, waktu itu aku selalu bertanya-tanya. Waktu bersama mereka sangat berkesan dalam ingatanku."

"Lalu kenapa kau tidak ikut dengan mereka?"

"Ibuku tidak mengizinkannya. Aku tidak tahu apa yang ada di bayanganmu tapi keluargaku tidaklah seburuk itu, kau tahu.

"Sebelum berpisah kami sempat membuat sebuah janji. Sebuah dunia ideal di mana tidak ada kejahatan dan semua orang tertawa bahagia. Sebuah utopia tanpa perang dan kelaparan. Kami berjanji untuk mewujudkan harapan guru untuk menciptakan dunia idealnya itu. Konyol bukan?"

"Iya. Dunia seperti itu tidak mungkin terwujud."

"Ahahaha. Aku tahu. Semakin besar diriku tumbuh semakin kutahu betapa mustahilnya harapan kami ini. Tapi, kau tahu, apa salahnya mencoba mewujudkan idealisme konyol ini?

Suatu waktu secara kebetulan Blackjack bertemu dengan si bocah setelah berpisah selama hampir dua dekade.

Waktu sudah merubahnya menjadi seorang pria gagah dan tampan. Untungnya sifatnya tidak banyak berubah.

"Yo. Lama tak bersua."

Atau benarkah sifatnya tidak berubah?

Blackjack mengajaknya mampir ke rumah dan keduanya bercerita tentang banyak hal hingga larut malam.

Rupanya bocah itu menjadi prajurit Kekaisaran. Dia juga menikahi si gadis dan diberkati dengan seorang putra yang tidak kalah cerobohnya dengan sang ayah.

"Putra konyolku itu selalu berkata ingin menjadi seperti ayahnya," ucapnya, bangga.

"Semoga dia mewarisi sebagian sifat ibunya."

"Kau mengejekku, ya?"

"Ahahaha."

Ketika malam semakin larut keduanya sudah mabuk berat. Topik pembahasan mereka juga menjadi semakin dalam.

"Para petinggi itu hanya dapat berpikir perang dan perang saja! Kenapa mereka tidak bisa berdamai, sih?"

"Kurasa itu sulit. Mungkin jika ada keadaan ekstrim mereka baru mau berdamai."

"Keadaan ekstrim? Contohnya?"

"Misalnya seperti pihak ketiga sebagai musuh bersama."

Pada saat itu Blackjack tidak menyadarinya. Semua orang pasti akan berubah, sama seperti dirinya yang skeptis dunia ideal gurunya dapat terwujud. Kebanyakan orang pasti sudah menyerah mewujudkannya.

"Pihak ketiga, ya. Benar! Kenapa aku tidak pernah memikirkannya."

"Hey, kau. Jangan memikirkan hal bodoh."

"Tidak, tidak. Ini bukan bodoh. Ini j-e-n-i-u-s."

"Bodoh. Bahkan jika kau tidak bisa mewujudkan dunia ideal, selagi keluarga, teman, dan lingkungan sekitarmu bahagia maka itu saja cukup."

"Keh. Walau mulutmu bicara seperti itu tapi nyatanya kau tetap saja menyumbangkan semua kekayaanmu untuk membantu orang lain."

"Hanya ini yang bisa kulakukan."

Temannya ini tidak pernah sekalipun menyerah untuk mewujudkan janji mereka dahulu. Apa yang berubah darinya adalah jalan pikiran untuk mewujudkan idelisnya.

Mungkin dia sudah terlalu berputus asa. Mungkin dia sudah lelah dikhianati. Dunia ini memang terlalu tidak berperasaan untuk orang-orang seperti kami.

"Aku akan tetap berjuang hingga ajal menjemput. Kau melakukannya dengan caramu dan aku dengan caraku."

Waktu itu semua terasa kabur dan tidak nyata. Setelahnya temannya itu pergi dan Blackjack tidak mendengar kabarnya lagi.

"Kali berikutnya aku mendengar kabar tentangnya, dia sudah di cap sebagai pengkhianat dan menjadi seorang buronan. Rupanya dia bergabung dengan kelompok yang di anggap kekaisaran sebagai teroris dengan embel-embel mewujudkan perdamaian. Dia bahkan sempat mengajakku tapi aku menolaknya.

"Apa yang si bodoh itu lakukan? Apa ini salahku karena memberinya ide itu? Aku terus bertanya-tanya. Tapi bahkan setelah semua itu. Aku memutuskan untuk tetap melanjutkan dengan caraku sendiri."

Sampai sini semua orang sudah terserap ke dalam cerita Blackjack. Semuanya cukup detail dan mudah dimengerti. Namun pertanyaannya, mengapa pada akhirnya Blackjack ikut berkhianat?

"Aku dan dia, kami sama. Kami terus berusaha hingga titik hal itu menjadi sebuah kebiasaan. Masalahnya kami mulai melupakan untuk apa aku melakukan semua ini. Semua perlahan mulai terasa kabur. Kami melakukannya hanya karena kebiasaan dan melenceng dari jalurnya.

"Suatu ketika, seseorang datang menghampiriku. Orang itu adalah anak dari si bocah dan dia datang memberitakan kematian ayahnya. Berita ini membuatku sedih, kau tahu. Pada akhirnya dia gagal. Lalu untuk apa semua usaha ini? Bukankah semua pada akhirnya sia-sia?"

"Tidak. Semua tidaklah sia-sia," ucap si anak. "Ikutlah denganku. Silahkan lihat sendiri buah dari perjuangan ayah selama ini."

Blackjack mengikutinya. Selama berhari-hari mereka berjalan ke pelosok dunia hingga akhirnya mencapai sebuah kota, bernama Utopia.

Di tempat ini manusia dan demi human hidup bersama. Sebuah tempat damai tanpa kelaparan. Sebuah dunia ideal yang selalu gagal dicapai oleh Blackjack, berhasil dicapai temannya itu.

"Lihat. Ini baru langkah awal," ujar anak itu, bersemangat. "Tidak akan lama sebelum seluruh dunia akan menjadi seperti kota ini. Sama seperti yang dijanjikan Tuan Sage. Tapi untuk mewujudkan rencana ini perang tidak boleh terjadi lagi dalam beberapa dekade. Karena itu, Paman, tolong bantu kami mencegah terjadinya perang."

Sampai sini akhirnya semua menjadi jelas. Alasan pengkhianatan Blackjack, maksud dari tindakannya selama ini.

"Apa semua ini untuk mencegah perang?" tanya O'hime.

"Itu benar, putriku yang manis. Sebuah alat untuk memanggil nightmare. Hanya mendengarnya saja sudah membuatku gentar. Alat ini tidak boleh dimiliki oleh siapapun," jawab Blackjack.

"Tetap saja semua itu tidak bisa membenarkan semua tindakanmu," ucap sebuah suara dari balik pohon.

Sosok itu memakai zirah seluruh tubuh. Wajahnya ditutupi helm zirah namun semua orang di sini mengetahui identitasnya.

"Aku tidak pernah membenarkan perbuatanku, nak. Ribuan nyawa yang sudah kurenggut, tidak mungkin untuk menebusnya."

"Lalu di mana alatnya sekarang?"

"Yang asli sudah kuhancurkan. Prototipe terakhir kuberikan pada seorang gadis yang secara kebetulan kutemui."

"Apa kau idiot? Memberikan alat berbahaya macam itu kepada seorang gadis kecil!" bentak O'hime.

"Ahaha. Tenang ada pengamannya. Selain itu hanya diriku yang masih hidup dan mengetahui cara penggunaannya."

"Baguslah jika begitu."

"Ngomong-ngomong, kenapa kau di sini, Epsilon?" tanya Delta Greyhorn.

"Sebuah laporan darurat datang dari Kota Denia."

Semua orang segera mengalihkan pandangan mereka menuju Blackjack.

"Aku tidak melakukan apapun kali ini," protes Blackjack.

"Muncul monster tingkat-S di sekitar Benteng Kenzi. Diperkirakan ada dungeon kelas bencana di sekitar sana," jelas Epsilon.

"Apa!" teriak Darton.

Kasus Blackjack belum selesai dan sekarang ada insiden baru yang tidak kalah gawatnya.

Benteng Kenzi hanya berjarak satu hari dari Kota Denia. Jika dungeon di sekitar situ sampai tak terkendali maka Kota Denia juga akan kena dampaknya.

"Pasukan penjaga kota akan pergi lebih dahulu. Batalion Ksatria Khusus akan menyusul setelah dua hari kemudian," lanjutnya.

"Sepertinya semua sudah diurus dengan baik. Mari selesaikan urusan di sini dahulu."

"Ahahaha. Bagaimana kau ingin mengurusnya?"

"Bukankah sudah jelas. Hymne Blackjack, tindakanmu mengkhianati kekaisaran dan segala tindak kejahatanmu, dengan ini saya, Hakim Agung Epsilon Greyhorn, menjatuhimu hukuman mati," ucap Epsilon penuh martabat.

Tidak ada yang menentang keputusannya. Kecuali satu orang, tentunya.

"Ja-jack ...."

O'hime menggenggam erat lengan Blackjack. Bahkan jika sebelumnya dia selalu berteriak akan membunuhnya, ini ya ini, itu ya itu.

Tidak mungkin dia melupakan semua kenangan manis kebersamaan mereka.

O'hime yang bahkan tidak diinginkan orang tua kandungnya sungguh beruntung dirawat oleh ayah seperti Jack, sosok yang lembut dan penyayang.

"Maaf ... maaf karena menjadi anak durhaka ...."

"Cup. Cup. Kau adalah gadis baik. Harusnya aku yang minta maaf. Maaf karena sudah menentang cita-citamu. Pak Tua ini sudah gagal sebagai seorang ayah."

"Tidak ... tidak ...."

Tak kuasa menitikkan air mata ia kembali menangis histeris dipelukkan sang ayah.

"Sobat. Selamat jalan. Mari bertemu lagi lain kali," ucap Delta, singkat.

"Ya. Mari bertemu lagi jika takdir memungkinkan."

"Tidak ... Jack ...."

Darton mencoba menjauhkan O'hime yang histeris. Tapi tidak mungkin dia bisa melakukannya. Jadi dengan bantuan Anna, O'hime dibuat tertidur lelap.

"Ahaha. Selamat tinggal, putriku yang manis dan juga sahabatku. Maaf sudah merepotkan kalian semua."

Epsilon mencabut pedangnya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Blackjack, ada kata-kata terakhir?"

"Tidak ada."

Pedang Espilon secara mulus memenggal kepala Hymne Blackjack.

Kasus Insiden Bizantium dengan ini dinyatakan selesai.