Chereads / Kisah Petualangan Clara / Chapter 27 - Hidup Mati

Chapter 27 - Hidup Mati

Kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, Kenapa, kenapa, kenapa, kenapa ....

Beribu kenapa mengaburkan pemikiran jernihnya.

Tentu, bahkan tanpa pemberitahuan pembaca gadis cerdas itu sudah tahu akar masalahnya.

Jika saja dia tidak terlalu ngotot ingin berpetualang.

Jika saja dia tidak menerima tawaran Pedro.

Jika saja dia tidak terlalu egois dan serakah.

Tapi, ada sebuah perbedaan fundamental antara mengetahui dan menerima. Bahkan jika Clara tahu alasannya, dia tidak bisa menerimanya.

"Ah ...."

Perasaan panas mengalir dari punggungnya. Kemudian, seluruh tubuhnya terasa kaku sampai titik tidak bisa di gerakkan.

Gadis itu memaksa pikirannya untuk tenang.

"Pisau? Dan juga, Racun pelumpuh," pikirnya.

Terkecuali Desiran angin mengguncang dedaunan, gadis itu sama sekali tidak bisa mendengar bebunyian lain.

Namun, dia tahu. Orang itu, pembunuh itu ada di sana, berada tepat di belakangnya. Mengawasi seperti harimau menatap mangsanya.

Sebuah tangan terulur, berusaha tuk menggapainya.

Perasaan takut membanjiri dirinya. Mulutnya ingin berteriak namun tidak dapat digerakkan.

"Siapa saja. Tolong ...," gumamnya di ambang air mata.

Lalu pangeran tampan menunggang kuda putih datang menyelamatkannya ... ya, hal ini tidak mungkin terjadi.

Lagi pula Clara tidak selemah itu untuk dapat di bunuh oleh orang tanpa nama.

Cincin pada jari manis Clara mengeluarkan cahaya biru redup. Kelumpuhan pada tubuhnya di hilangkan sepenuhnya namun Clara tetap terjatuh seolah dia masih berada pada keadaan lumpuh.

Clara diam-diam memasukkan tangannya ke dalam jubah putihnya. Jari-jari kecilnya merasakan dinginnya metalik; mengelusnya dengan sayang. Benda ini adalah kartu as-nya.

"Sekarang."

Ketika waktunya tepat si gadis mungil tiba-tiba berbalik mengejutkan orang di belakangnya. Dia mengacungkan senjatanya lalu menekan pelatuknya.

Dor!

Bunyi desing meramaikan hutan yang senyap.

Walau tidak cukup kuat untuk melukai orang sekaliber Estarosa, setidaknya benda ini akan dapat melukai bahkan membunuh mereka dengan beberapa level di bawahnya. Seharusnya, sih. Tentu saja, syaratnya peluru yang ditembakkan harus mengenai targetnya.

Pada kenyataannya, musuhnya ini mampu mengelak di saat-saat terakhir untuk menghindari luka fatal.

"Apa-apaan! Jaraknya enggak sampai satu meter, loh. Dasar monster," kutuknya dalam hati.

Clara buru-buru merapalkan mantra serangan acak, namun orang itu buru-buru berbicara.

"He-hey. Tenanglah."

"Eh?"

Suara familiar itu berhasil menyadarkan Clara yang dalam keadaan hiruk-pikuk. Pria itu, siapa lagi kalau bukan, "Kak Pedro!"

Clara berhenti sejenak untuk mengamati wajah lawannya dengan cermat. Tidak, tunggu.

Lawannya berhasil mengecoh Clara. Entah bagaimana dia bisa meniru suara Pedro yang jelas hal ini berhasil membuatnya lengah untuk sesaat. Pada pertempuran, waktu sesaat ini sangatlah berharga.

Si pembunuh segera menusuk Clara dengan pisau lainnya.

"Aarggh!"

Perasaan panas sekali lagi mengaliri penjuru tubuh kecilnya. Rasa sakit yang tak tertahankan menjadi berlipat ganda.

Clara mencoba melancarkan sihir namun sekali lagi di interupsi dengan pukulan di ulu hati. Tidak berhenti sampai di situ si pembunuh menghujani Clara dengan pukulan hingga berada di ujung batas kesadarannya.

Selesai.

"Bocah sial. Jangan memaksaku untuk membunuhmu."

Bahkan jika Clara memiliki kartu as lain tubuhnya menolak untuk bergerak. Ini adalah pertempuran satu lawan satu pertamanya dan dia mengacaukannya dengan sangat gemilang.

"Anak-anak jaman sekarang bermain dengan senjata berbahaya," keluh si pembunuh.

Ok. Tenang. Tarik napas. Keluarkan.

Setelah agak tenang Clara segera menyusun sebuah rencana.

Jika ingin membalikkan keadaan pertama Clara harus menyembuhkan lukanya terlebih dahulu. Beruntung dia mengenakan aksesoris dengan atribut penyembuh.

Biarkan si pembunuh lengah lalu Clara akan menyembuhkan lukanya. Setelah itu Apa?

Buat jarak? Tidak mungkin. Lawannya lebih cepat.

Serangan mendadak? Sihir tidak mungkin. Senapannya juga tidak memiliki peluru.

Apa ... apa yang harus ia lakukan?

Ok. Terserah.

Do or die.

Clara terlalu fokus pada lautan pikirannya hingga tidak menyadari kalau musuhnya, si pembunuh, sudah terbunuh.

Gadis itu mengaktifkan cincin penyembuh hingga batasnya. Dengan ini Clara setidaknya akan mampu bergerak.

Selanjutnya ia segera melompat membuka jarak dan melantunkan sihir serangan.

"Oi! Hentikan! Ini aku."

Tidak mungkin dia jatuh pada perangkap yang sama, kan?

Clara mengabaikan suara dan bergegas menyelesaikan rapalannya. Dalam ruang pikirnya ia mengumpulkan atribut panas dan warna merah.

"Wahai Hyang Agni. Wahai Hyang Bayu. Berkati. Berkati. Terbakarlah! [Bola Api]"

Bola api seukuran bola basket melesat menuju targetnya sebelum akhirnya meledak. Namun musuhnya berhasil mengelak tanpa terluka sedikitpun.

Clara tidak terkejut. Dia sudah mengantisipasinya. Setelah membeli sedikit waktu dia kembali mengisi selongsong senapannya lalu membidik targetnya.

Namun, Clara baru saja mulai membidik dan sebuah pedang raksasa sudah berada tepat di samping lehernya.

"Sudah tenang?"

Detakan jantung Clara terdengar sangat keras. Sekali lagi dia memaksa pikirannya untuk tenang dan mengevaluasi situasi.

"Kak, kak Lial," gumamnya.

Orang yang ada di hadapannya saat ini adalah Lial. Seharusnya dia asli dan bukan pembunuh yang menyamar. Jika tidak maka kepala Clara pasti sudah terpenggal.

Selain itu, menilik ke belakang dia bisa melihat mayat pembunuh sebelumnya tergeletak di tanah. Jadi sudah jelas Lial yang ini adalah asli.

"Fuuh."

Clara sedikit merilekskan tubuhnya tapi tetap tidak melonggarkan kewaspadaannya.

Ia sekali lagi mengamati Lial.

Tubuh lelaki itu penuh luka. Zirahnya juga sudah compang-camping. Syukurlah dia masih hidup.

"Kak Lial. Syukurlah, kak. Dan juga, maaf."

"Tidak apa. Aku agak terkejut sih dengan insting bertarungmu," puji Lial.

Kali ini ia memusatkan pikiran pada tubuhnya sendiri. Luka-luka ringan pada dasarnya sudah sembuh total. Sedikit lebam tersisa tapi itu tidak masalah.

Masalahnya adalah dua buah pisau yang masih menancap di tubuhnya. Penggunaan sihir penyembuh hanya membuat pencabutan pisau menjadi semakin sulit karena kulit dan pisau hampir menyatu. Keduanya harus segera di tarik.

"A-argh!"

Mencabut pisau sendiri terbukti sulit. Dia harus meminta bantuan Lial. Tapi tetap saja rasa sakitnya masih tak tertahankan.

"AARRGHH!"

Rasa sakit tidak memungkinkannya untuk merapal mantra jadi dia terpaksa harus menggunakan ramuan penyembuh untuk menutup lukanya.

"Ah ... Ramuan berharga Clara ...."

Dia berbaring di tanah dengan napas tak teratur. Hidupnya dalam bahaya namun yang ada di pikirannya malah uang.

Lial di sisi lain termenung melihat betapa tangguhnya gadis kecil ini. Bahkan orang dewasa mungkin akan menangis jika melakukan apa yang baru saja dilakukan Clara.

"Ngomong-ngomong di mana Rhino?" tanya Lial.

Clara seketika mengejang.

"Ya. Ya! Rhino, Rhino coba membeli waktu buat Clara kabur. Ka-kak Lial, Tolongin Rhino, cepat," ujar Clara, panik.

"Oke, oke. Tenang. Tunggu di sini aku akan segera kembali."

Clara tidak memaksa ikut karena tahu dia hanya akan menjadi beban. Dia hanya bisa berdoa semoga Rhino masih hidup.

Ngomong-ngomong, jika ternyata ada musuh lain di sekitar atau jika binatang buas datang, maka tamatlah Clara. Semoga juga Lial cepat kembali.

Clara memutuskan untuk bermeditasi sambil menunggu Lial.

Tarik napas. Tahan. Buang. Ulangi.

Kendalikan indra, pusatkan pikiran. Rasakan alam di sekitar. Kumpulkan mana melalui pernapasan. Edarkan. Buang. Ulangi.

Sedikit demi sedikit mana-nya terisi kembali.

Setelah melakukan proses yang sama berkali-kali akhirnya Lial kembali.

"Clara! Cepat, ramuan penyembuh!" ujar Lial, panik.

Clara membuka matanya. Dia melihat Lial menggendong Rhino yang sekarat. Dia buru-buru memandikan Rhino dengan ramuan penyembuh.

Ia tidak berani pelit karena bagaimanapun Rhino seperti ini karena melindunginya.

Tapi sesuatu mengejutkan gadis itu.

"Eh, lukanya tidak separah yang Clara bayangkan."

Kekuatan Estarosa tidak perlu diragukan lagi. Rhino menerima beberapa serangan Estarosa jadi dia berpikir setidaknya beberapa organ dalam akan hancur. Namun nyatanya selain beberapa luka luar keadaan Rhino cukup stabil.

Mungkinkah pria ini beneran kuat?

"Tadi nona Anna membantu menyembuhkannya," jelas Lial.

"Anna ... eh, dia masih hidup?"

Clara kaget. Bagaimana dia masih bisa hidup padahal kepalanya sudah dipotong?

"Yap. Sehat walafiat."

Orang kuat memang beda.

Pokoknya, Rhino dapat bertahan hidup hingga detik ini semua berkat Anna. Tapi alangkah baiknya jika dia mengetahui hal ini sebelumnya jadi ia tidak akan membuang-buang ramuan berharga.

"Eh, terus Estarosa di mana?"

"Selagi keduanya bentrok tiba-tiba Estarosa buru-buru pergi. Sepertinya sesuatu sedang terjadi," jelas Lial.

"Dan ngomong-ngomong, aku akan sangat berterima kasih jika kau memberitahuku kalau musuhnya adalah Estatosa," lanjutnya, agak marah.

"Ya~, maaf. Clara panik tadi," ucap Clara merasa bersalah.

"Lupakan. Mari segera berkumpul dengan Pedro."

Lial menggendong Rhino sedangkan Clara membawa tas dan barang bawaan. Keduanya mengikuti jejak yang ditinggalkan Pedro ke arah matahari terbit.

Tidak butuh waktu lama sebelum keempatnya berkumpul kembali.