"Alana!" Teriak Ario yang ingin menghentikan langkah putrinya, ia merasa sangat bersalah.
Bagaimanapun bencinya ia dengan Alana sejak pertama kalinya istri pertamanya membawa ke rumah itu, ia tetap berhutang budi padanya.
Ario akan diseret ke penjara jika dalam waktu seminggu ini tidak bisa melunasi pada rentenir Imron yang sangat terkenal galaknya, sebenarnya hutang Ario tidak sebanyak itu, namun karena sudah setahun belakangan ini ia tidak bisa melunasinya, maka tidak segan Imron menaikkan dengan jumlah sesuka hatinya.
Imron tahu Alana sudah kabur dari desanya dan mengembara ke ibu kota, maka ia menekan Ario dan mengancamnya masuk bui, beberapa hari ini ia sangat stress, sampai harus mengajukan ke pihak bank dengan memakai jaminan sertifikat rumah peninggalan istrinya, namun prosesnya masih rumit, butuh waktu berminggu-minggu.
Dan hari ini Alana tiba-tiba datang sebagai penyelamatnya, membawa cek 100 juta dan memberinya dengan cuma-cuma tanpa syarat apapun. Ario ingin menangis rasanya, bersyukur.
Ia ingin berterimakasih pada Alana dengan mencegah putri angkatnya itu pergi, namun tangan Claudya tiba-tiba meraih lengannya, mencegah.
"Biarkan saja dia, Mas."
"Tapi..."
"Untuk apa? Dia bukan putri kandungmu, lupakan dia."
Entah kenapa batin Ario begitu sesak, hingga matanya memerah menahan tangis.
Sementara Alana yang hatinya sudah hancur berkeping-keping, tak mampu menahan kakinya untuk berhenti meskipun Ario meneriakinya berkali-kali, ia bertekad tidak akan lagi menginjakkan kakinya di rumah itu, meski penuh kenangan indah bersama mendiang ibunya.
Alana terisak, ingin sekali ia mendadak hilang ingatan jangka pendek agar tidak lagi teringat kejadian yang sangat membuatnya seperti orang bodoh yang tidak berguna, padahal ia sampai harus terikat perjanjian pernikahan yang tak mudah agar mendapatkan uang itu, tapi mereka semua termasuk ayahnya, tidak bertanya apapun terlebih dulu dan justru langsung menghakiminya tanpa perasaan.
Alana menghela nafas, dan segera tersadar dari lamunanya saat sopir taksi online berhenti di depannya, dan membunyikan klaksonnya.
"Apa benar dengan Nona Alana?"
Alana mengangguk lalu menyelinap masuk ke dalam taksi online itu, pada saat itu handphonenya berdering, sebuah panggilan dari Ken.
"Iya Ken."
"Dimana?" tanya Ken panik.
Alana tak langsung menjawab, ia justru heran kenapa Ken sepanik itu.
"Menuju ke terminal kota Batu, ada apa?"
"Kamu gila? Pergi tanpa pamit, tanpa diantar siapapun, bagaimana kalau ada yang mencelakaimu? Oma sampai marah seharian gara-gara kamu," Ken menyerangnya dengan kemarahan tanpa jeda.
Alana menghela nafas.
"Aku minta maaf, tapi aku sudah terbiasa seperti ini Ken, aku bisa jaga diri, lagipula aku sedang perjalanan ke terminal untuk kembali ke Jakarta."
"Hilangkan kebiasaan itu, kamu sekarang berbeda dengan dulu, bahkan sebentar lagi kamu akan menjadi Alana Wijaya, bagaimana bisa kamu pergi dengan seperti itu, naik bus? Ah, aku tidak tahu cara berpikirmu, Alana."
Alana terdiam sesaat, ia menyunggingkan senyum bahagia, Alana tahu Ken sebenarnya khawatir, namun mungkin saja Ken tidak bisa menyampaikannya dengan baik karena gengsi. Alana jadi ingin tertawa.
"Baiklah, aku minta maaf, tapi semuanya sudah terlanjur, beri tahu Oma kalau kemungkinan besok pagi aku sudah sampai rumah."
"Tidak, diam di kota itu dan menujulah ke bandara, aku dan Jordi akan menjemputmu, 1 jam 30 menit lagi kami akan sampai, jangan membantah, ini perintah!" tegas Ken.
Alana tersedak, bandara? Itu artinya ia akan naik pesawat. Itu pertama kalinya, Alana mendadak mual memikirkan ia akan melakukan perjalanan di udara dengan ketinggian seperti itu.
Namun Ken segera mematikan sambungan teleponnya sebelum Alana menjawab satu kata pun.
"Putar ke arah Bandar Udara Abdul Rachman Saleh, Mas."
Sopir taksi online itu terkejut, itu sangat jauh dan membutuhkan waktu sekitar hampir satu jam. Ia menolak, namun Alana tetap memaksanya.
"Aku akan membayar tiga juta, bagaimana?"
Sopir taksi dengan cepat mengangguk, ia tersenyum senang sambil melirik Alana dari kaca kecil yang ada di depannya, Alana balas tersenyum.
Satu jam berlalu, Alana sudah sampai di bandara, namun ia masih harus menunggu sekitar setengah jam lagi untuk menunggu Ken dan Jordi, maka ia memutuskan untuk duduk di ruang tunggu.
Entah kenapa hatinya mendadak deg-degan mengingat tadi Ken mengkhawatirkannya dan sebentar lagi dia akan menjemputnya, Alana menyunggingkan senyum bahagia, seketika ia lupa dengan hinaan dari keluarganya.
Tiga puluh menit berikutnya, handphone Alana berdering, sebuah panggilan dari Ken.
"Kamu dimana?"
"Di ruang tunggu."
Lalu dengan cepat, sambungan terputus. Alana mendengus kesal. Setelahnya dua laki-laki dengan memakai hoodie abu-abu, berkaca mata hitam dan memakai masker mendekat ke arahnya. Alana bergidik takut, ia hampir saja kabur, namun dengan cekatan lengan yang kuat nan kokoh itu segera mencegah.
Alana segera tahu siapa mereka. Ya, Ken dan Jordi.
"Ayo cepat kita pergi dari sini," bisik Ken sambil celingak-celinguk ke sana kemari.
Alana mengangguk, tangan Ken dengan sigap menggandeng tangan Alana yang membuat perempuan cantik itu tertegun sesaat, Ken tak peduli, ia harus secepatnya pergi dari tempat itu.
Ken melenguh nafas lega saat ia kembali ke jet pribadinya bersama Jordi dan Alana, sementara Alana masih tak percaya, jet pribadi milik keluarga Wijaya sungguh menarik dan mengesankan baginya, membuat ia melongo dan tak berhenti berdecak kagum.
"Jangan berlebihan, ayo cepat pakai sabuk pengamanmu!"
Alana kembali tersadar, lalu dengan gugup ia mencoba memakainya namun ia tidak tahu cara menggunakannya, ini pengalaman pertamanya melakukan perjalanan di udara.
"Aku... tidak bisa memakainya Ken," akunya malu.
Ken mendengus, lalu dengan cekatan ia segera membantu kesulitan Alana karena ia yang duduk di sampingnya.
Entah kenapa Alana mendadak linglung melihat Ken terlihat begitu sabar membantu Alana memakaikan sabuk pengamannya, ia tidak bisa mengontrol dirinya untuk tidak deg-degan, bahkan jantungnya berdegup semakin kencang, hingga Ken bisa merasakan kegugupan Alana.
Apalagi mereka tak sengaja saling menatap begitu dekat, hingga jarak wajah keduanya hanya terpaut beberapa senti saja, membuat Alana semakin tak bisa mengontrol dirinya.
Alana bahkan bisa merasakan deruan nafas Ken yang begitu hangat menembus wajahnya. Saat dia bernafas hanya aroma kuat parfum maskulin Ken yang tercium olehnya.
"Ehem," Jordi sengaja berdehem melihat mereka sedekat itu.
Sontak, Alana dan Ken gugup dan segera menjauh satu sama lain, hingga Jordi tak bisa menahan tawanya melihat Ken sampai salah tingkah seperti itu.
"Aku minta ma..."
Suara Alana tercekat berganti teriakan refleksnya karena pesawat mulai mengangkat badannya bersiap terbang.
Ken mengerutkan kening melihat tingkah Alana yang dinilainya terlalu berlebihan, namun karena terlalu takutnya tangan Alana tak sengaja memegang tangan Ken dan lalu memeluknya.