Hari ini adalah hari terpanas yang sangat menyebalkan. Pradita mengipasi dirinya dengan sebelah tangannya. Ulangan Farmakologi hari ini nyaris membuat kepalanya berasap. Susah payah ia menghafal penggolongan antibiotik. Sekarang ia lupa mana bakteri yang termasuk gram positif dan gram negatif. Sial!
Coba saja semalam ia tidak bergadang menonton drama Korea, mungkin ia bisa belajar dengan lebih baik lagi. Ia melirik Danu. Cowok menyebalkan itu tampak tenang dan santai saja sembari menulis jawaban di selembar kertas.
Ia selalu bercita-cita untuk menjadi anak yang pembangkang. Andai saja ia bisa demo pada orang tuanya. Ia tidak mau bersekolah di sekolah kejuruan farmasi. Memang sih nilai-nilainya waktu SMP lumayan bagus, itu juga karena Danu yang membantunya belajar.
Ia terperangah waktu mengetahui bahwa ia berhasil lulus tes masuk sekolah farmasi. Padahal ia tidak begitu yakin saat mengerjakan ujiannya.
Dan saat itu orang yang paling bahagia bahwa dirinya diterima di sekolah tersebut adalah Danu. Karena Danu memang sudah lama berniat untuk sekolah di sana seperti ayahnya dan tentu saja, tidak ada ujian yang cukup menantangnya untuk menghalanginya masuk sekolah bergengsi tersebut.
Bergengsi bagi mereka-mereka yang punya otak dan kepala yang penuh cita-cita akan masa depan, tapi tidak bagi Pradita.
Cita-citanya bukanlah sekolah di sini. Ia hanya ingin sekolah di SMA biasa yang santai, dengan mata pelajaran yang juga santai. Bukan seperti di sini, yang setiap harinya ulangan bisa sampai tiga mata pelajaran. Belum lagi praktikum tiada henti. Seminggu bisa sampai empat kali praktikum. Sabtu masih sekolah.
Walaupun hanya ibadah di pagi hari dan sisanya praktikum selama empat jam mata pelajaran, sesuai dengan absennya, lalu sisanya pulang. Jika bukan saat gilirannya, murid-murid yang sudah selesai ibadah bisa langsung pulang.
Pradita berdeham sekali. Danu tidak merespon. Ia sengaja terbatuk-batuk dengan suara yang agak lebay. Oke kali ini ia berhasil. Danu melirik padanya dengan lirikan maut, seolah matanya berkata : 'Mau apa lu?'.
Pradita balas menatap tajam padanya yang menyiratkan : 'Gua mau nyontek ke lu, Cuk!'
Danu dan Pradita memang pernah berguru ke sebuah gunung misterius sehingga hanya dengan tatapan saja, mereka sudah bisa saling membaca pikiran masing-masing.
Danu menggeleng sambil tersenyum mengejek. 'Enak aja lu. Mikir sendiri!'. Pradita balas melotot. 'Awas lu ya!'
Ibu Ima berdiri dengan tiba-tiba membuat keduanya tersentak. "Waktunya tinggal sepuluh menit lagi. Kalau kalian sudah selesai bisa langsung dikumpulkan ke depan."
Beberapa anak membereskan alat tulis, lalu maju ke depan sambil membawa lembar jawaban dan soal, lalu menyerahkan ke Ibu Ima.
Pradita memanfaatkan momen itu untuk berbisik. "Nomor tiga sembilan jawabannya apa, Cuk?"
Danu memberikan jawaban dengan menekuk wajahnya yang menjijikan. Cuping hidungnya dikembangkan maksimal, lalu bibirnya atasnya tertekuk ke atas, memamerkan gusinya yang indah berwarna pink dan dihiasi lidahnya yang menjulur bak ular piton.
"Ih!" Pradita mengernyit jijik.
Lalu si pengkhianat berdiri sambil mengemasi kertas-kertas soal dan jawaban. Ia maju ke depan, menyerahkan kertas-kertas itu, lalu melenggang keluar kelas. Dua detik sebelum Danu mencapai pintu, jarinya membentuk huruf C.
Pradita mengumpat dalam hati. Dasar sialan! Hampir saja Pradita tidak jadi mentraktirnya soto siang ini. Ah tapi ini kan hanya satu jawaban saja. Ya sudahlah. Pradita pasrah. Ia tinggal melengkapi esai di nomor lima dan selesai. Mengarang indah bukanlah hal yang sulit. Semoga saja gurunya tidak pusing membaca tulisan Pradita tentang penggolongan antibiotik.
Waktu ulangan sudah habis. Pradita keluar kelas, lalu mencari-cari Danu. Di sanalah cowok menyebalkan itu sedang berdiri di tepi balkon sambil melihat ke bawah.
"Woy!" panggil Pradita.
Danu menoleh, lalu tersenyum. Kulitnya yang gelap tampak eksotis. Rambutnya bergaya undercut zaman now. Pradita yang mengantarnya ke barber shop minggu lalu. Ia hampir saja ikutan duduk di sebelah Danu dan meminta mas-masnya untuk memotong rambutnya serupa dengan Danu.
Untung saja ia teringat, jika membuat rambutnya jadi seperti itu, ia pasti akan diomeli oleh ibunya.
"Bisa gak ulangannya, Coy?" tanya Danu.
"Bisaaa," jawab Pradita enteng, padahal kepalanya sudah panas. Jika seseorang menaruh telur di atas kepalanya, pasti matang.
Danu tertawa kecil. "Tadi liat tangan gua ga?"
"Liaaat. Ah lu dasar!" Pradita menampar tangan Danu. "Gua pikir lu gak akan bantuin gua."
"Cuman senomer doang mah gapapa lah." Danu terkekeh. "Asal jangan semuanya lu nyontek sama gua. Ntar lu gak akan pinter-pinter."
"Lah buat apa gua pinter-pinter, Cuk?" Pradita menatapnya dengan tatapan bosan.
"Yaa biar ntar lu naek kelas, Coy. Gimana sih?"
"Heem heem. Ayo! Gua kan udah janji mau traktir lu soto." Pradita merangkul bahu Danu, lalu menariknya turun tangga. Padahal tubuh Danu lima belas senti lebih tinggi dari Pradita, tapi ya cukup lah ia bisa mencapainya.
Danu melepaskan tangan Pradita saat di tangga, lalu gantian ia yang merangkul bahu Pradita.
Mereka mengantri di kantin yang ramai. Pradita menyuruh Danu untuk duduk duluan, sementara ia yang memesan makanan. Selesai memesan soto, Pradita kemudian duduk di sebelah Danu.
"Oh ya, abis ini lu praktikum kimia ya?" tanya Danu sambil memutar-mutar es lemon teh dengan sedotan.
"Iya. Untung aja kemaren gua udah bikin jurnalnya sama lu. Duh jelimet banget rumus-rumusnya. Butek gua." Pradita menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.
Danu tersenyum sambil mengacak-acak rambut Pradita. Untuk beberapa saat ia merasa bahwa senyuman Danu sangat manis. Mau tidak mau, Pradita harus mengakui bahwa Danu memanglah pria yang cukup tampan. Ya kalau dibandingkan dengan aktor Korea sih masih kalah jauh.
Di antara wajahnya, hanya hidungnya yang menurut Pradita yang paling bagus. Hidungnya mancung dan agak besar. Boleh lah disandingkan dengan hidung Serkan Cayoglu. Apalagi kalau dikasih jambang tipis-tipis, wah pas banget deh. Memang tak salah jika Pradita menjadikan Danu sebagai sahabat terbaiknya sepanjang hidupnya.
Sebenarnya memilih sahabat tidak ada hubungannya dengan wajah ganteng atau hidung mancung. Itu hanya luarnya saja. Bagaimanapun Danu selalu ada di setiap momen hidupnya. Mereka sudah bersama-sama sejak SD. Kedua orang tuanya dan orang tua Danu sudah seperti keluarga.
Jadi saat Danu memutuskan untuk masuk sekolah farmasi, orang tuanya pun segera mendaftarkannya ke sana. Alasannya selain agar masa depannya lebih terarah, juga agar Pradita ada yang menjaga, yaitu Danu. Memangnya ia masih anak kecil? Ia bisa menjaga dirinya sendiri.