Chereads / Farmakologi Cinta / Chapter 10 - 10. Nge-date Bareng Arini

Chapter 10 - 10. Nge-date Bareng Arini

Danu lupa kalau bermain di sini juga tidak gratis. Untung masih ada selembar uang berwarna biru. Ia tidak akan memaafkan dirinya jika minggu depan melakukan hal yang sama. Dompetnya akan melakukan demo dan memintanya untuk ganti rugi. Ia harus sedikit berhemat.

Arini menunggu Danu dengan santai di pinggir loket sambil matanya melihat-lihat ke sekeliling. Selesai mengisi kartu, Danu menghampirinya sambil tersenyum.

"Aku mau main itu." Arini menunjuk permainan di lantai dansa.

Danu tidak cukup pandai bermain ini. Kakinya agak kurang bisa menyesuaikan dengan panel-panel yang bergerak cepat di layar. Pernah sekali ia mencoba permainan itu bersama Pradita. Sahabatnya protes keras karena baru saja sebentar bermain, layarnya langsung berubah : Game Over.

"Oke tapi kamu aja ya. Aku gak bisa," kata Danu.

"Oke deh."

Arini mengambil kartu di tangan Danu lalu menggesekknya dan menekan tombol Start. Ia memilih-milih lagu dan kemudian ia bergerak-gerak menginjak tombol yang sepertinya itu adalah kode rahasia. Layar berubah dan memunculkan lagu lain yang sebelumnya dikunci. Level permainan: Expert.

Wow. Kita lihat saja, seperti apa Arini berdansa.

Lagu Jepang dengan tempo cepat, membahana di kuping Danu. Panel-panel di layar bergerak cepat sampai Danu tidak bisa menangkapnya dengan mata. Dengan lincah kaki Arini bergerak, ke kiri, kanan, tengah, tengah, kiri, kiri, belakang kanan, belakang kiri, tengah. Danu sudah tidak bisa mengikuti irama musiknya lagi.

Di layar terus menerus muncul tulisan: Perfect. Skor Arini terus bertambah hingga ratusan. Sang komputer memberikan pujian tiada henti. Good job! Nice move! You are superb!

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya lagunya selesai. Arini tampak berkeringat, napasnya tersengal-sengal.

"Bagi minum dong!" pinta Arini.

Danu mengeluarkan air mineral dari tasnya lalu menyerahkannya pada Arini. Gadis itu meneguk air minum Danu banyak-banyak. Ia kemudian mengembalikan botol Danu yang sudah berkurang isinya setengah. Arini kembali memilih lagu dan bermain.

Mengapa jadi Arini yang bermain? Ia juga ingin bermain. Danu mengedarkan pandangannya dan melihat permainan basket di ujung sana. Beberapa anak SMA sedang asyik bermain di sana.

Seandainya ada Pradita di sini....

Sejak tadi ia terus menerus memikirkan Pradita. Ini adalah kencannya dengan Arini. Tidak seharusnya ia memikirkan sahabatnya yang tengil itu. Saatnya menjadi seorang lelaki sejati, berjuang mendapatkan cinta sejati, dan menjadi lelaki idaman Arini.

Setelah tiga entah lima permainan dansa yang tidak ada habis-habisnya, Arini memutuskan untuk menyudahi permainannya. Oh akhirnya... Danu mendesah dalam hati. Kemudian ia merasa bersemangat kembali.

"Eh, Rin kita main basket yuk!" Danu menunjuk ring basket yang berada di ujung ruangan. Arini menyeka keringatnya di dahi. Wajahnya tampak kelelahan. Ia masih sedang mengatur napas.

"Oke," jawabnya.

Danu berjalan cepat menuju ke tempat basket. Ada yang kosong satu. Danu segera menggesek kartu dan menekan tombol Start. Arini menghampirinya, menunggu di sebelahnya sampai bola-bolanya turun. Danu tidak menyangka bahwa Arini akan ikut bermain dengannya.

Ayo kemarilah bola bola yang cantik, ucap Danu dalam hati. Danu tersenyum meraih bola, lalu melemparnya ke keranjang. Berhasil. Di sebelahnya, Arini ikut-ikutan sibuk mengambil bola, lalu memasukkannya.

Danu jadi harus menunggu Arini menembak bola dan ternyata meleset. Sekarang giliran Danu. Belum waktunya bola itu sampai ke ring, Arini sudah melempar bola. Yang seharusnya bola itu masuk, malah jadi meleset.

"Maaf," kata Arini sambil menyeringai malu.

"Gak apa-apa."

Dan kini giliran Danu lagi. Arini hanya bisa terdiam menyaksikan Danu menembak ring dengan bola. Akhirnya skor bertambah. Level selanjutnya. Ring bergerak kiri kanan. Danu semakin menikmati permainan ini.

Arini kembali ikut-ikutan beraksi. Entahlah. Danu sudah tidak mau ambil pusing. Biarkan saja. Mereka jadi tampak seperti yang rebut-rebutan bola. Danu agak kesal karena sepertinya Arini tidak pandai bermain basket.

Meski begitu, Arini tampak tertawa riang. Keringat bercucuran di pelipis dan dahinya. Rambutnya yang panjang acak-acakan ke mana-mana, tampak agak mengganggu.

Oke, tidak sampai level tiga, waktu sudah selesai. Tiket hanya keluar lima potong saja. Arini mencabutnya lalu mengantonginya. Wajah Arini tampak begitu bersemangat. Ia menarik Danu untuk bermain pukul kodok.

Arini yang memegang palu, sementara Danu membantu memukul kodok itu dengan tangannya. Rasanya lumayan sakit karena ada sebuah hentakan di tangannya secara tiba-tiba ketika melihat kodok itu muncul ke permukaan.

Baiklah. Permainan ini lumayan seru. Arini menjerit histeris setiap kali kodoknya muncul. Suaranya agak ... mendenging di kuping Danu. Ia hanya bisa tersenyum melihat Arini yang kegirangan.

Hari semakin sore. Tadinya Arini memilih untuk bermain tembak-tembakan, tapi tidak jadi. Kartu Danu sudah habis saldonya. Arini menyuruhnya untuk mengisi lagi, tapi karena Danu tidak ingin ketahuan bahwa ia tidak punya uang lebih, jadi Danu mengarahkannya untuk duduk beristirahat di luar Game Zone.

Untung saja Arini menurut. Mereka duduk di sebuah kursi panjang. Wajah Arini begitu bersinar cerah. Seolah ia telah menelan matahari. Wajahnya begitu cantik berseri. Rona merah di pipinya tampak begitu menggemaskan.

Arini menoleh lalu tersenyum malu. "Ada apa, Nu? Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?"

"Arini, kamu cantik banget."

Kini pipinya semakin merona. Danu menyentuh pipi itu dengan punggung tangannya. Rasanya ... halus sekali. Seperti menyentuh marshmallow. Danu terkejut ketika Arini meraih tangannya lalu menggenggamnya. Mereka saling berpandangan.

"Danu," panggilnya.

"Ya?"

"Apa kamu senang hari ini?" Suaranya terdengar begitu lembut mendayu-dayu.

"Seneng banget, Rin. Aku seneng banget bisa main sama kamu. Kamu sendiri gimana?" Danu balik bertanya.

"Aku juga," jawabnya sambil tersenyum manis.

Arini menunduk malu sambil menggerak-gerakkan kakinya ke depan ke belakang.

Hati kecilnya mendesaknya untuk menyatakan perasaannya. Sekarang atau tidak selamanya! Eh kenapa harus sekarang? Kan masih ada hari esok. Danu harus memikirkan masak-masak. Apakah ia bisa menerima semua hal mengenai Arini?

Cara makannya, caranya bersikap. Mungkin hanya cara makannya saja yang tidak Danu suka. Tapi itu tidak masalah. Kelak, ia akan mengajarkan Arini untuk bisa lebih menghargai makanan. Oke. Kapan lagi ia akan bisa mendapatkan seorang perempuan cantik?! Baiklah.

"Arini." Gadis itu menoleh. "Aku mau bilang sesuatu. Sebenernya...."

Dari kejauhan, Danu melihat anak SMA berseragam Farmasi sedang duduk di depan sebuah cafe. Pastinya banyak sekali anak sekolah yang bermain ke mall. Lagi pula ini hari Sabtu. Apa salahnya?

"Ya?" tanya Arini penuh harap.

Danu mengerjap, lalu fokus untuk kembali menatap Arini.

"Emmm ... Arini, sebenernya aku ... aku ..."

Danu menelan kembali kata-katanya karena sekarang ia bisa melihat jelas wajah Pradita sedang meneguk minuman dari cangkir. Di hadapannya sedang duduk seorang lelaki.

"Oh no," gumam Danu.