Bara mendongak memperhatikan wajah Pradita. Dengan segenap gengsi yang ada, Pradita mati-matian menjaga wajahnya tetap tenang tanpa emosi. Padahal sejak tadi dadanya bergemuruh.
Ingin sekali ia berkata : 'Oh yes. Yeah. Benar yang itu. Nah. Ah ... Enak.'
"Gimana? Masih sakit?" tanya Bara.
Pradita menelan ludah. Alis Bara begitu tebal bagaikan semut yang beriringan. Ingin sekali Pradita menyentuh alis itu. Akankah terasa geli di jarinya? Pradita mengerjap-ngerjap, menepis fantasinya yang memalukan.
"Eh ... iya." Suara Pradita seperti yang terjepit jepitan jemuran.
Dengan lembut Bara memasangkan kembali sepatu Pradita.
"Gua bisa sendiri."
Pradita berjongkok, terlalu cepat, sehingga ia dahinya terbentur kepala Bara.
"Auw!" Pradita menyentuh dahinya.
Sejenak mata mereka saling mengunci. Sama seperti waktu itu di depan ruang laboratorium. Bara mengusap kepalanya sambil tersenyum.
"Maaf...."
"Maaf."
Mereka berkata bersamaan. Pradita menunduk, mencoba mengumpulkan nyawa dan kesadarannya untuk mengenakan sepatunya sendiri. Tubuhnya agak oleng sedikit. Seharusnya ia menerima bantuan Bara saja.
Kenapa sulit sekali menalikan sepatunya? Sepertinya tali sepatunya rusak. Kenapa napasnya terasa sesak ya? Apa tadi ia terlalu mengerahkan tenaganya saat berjongkok? Atau mungkinkah energinya tersedot saat dahinya berbenturan dengan kepala Bara?
Bara menyentuh tangannya. Pradita mendongak, kembali menatap pemilik alis tebal nan jantan itu. Bara menjauhkan tangannya dari tali sepatu. Lalu dengan sigap Bara menalikan sepatu itu dengan mudah, terlalu mudah malahan.
Pradita bisa merasakan pipinya memanas. Bara membantu Pradita berdiri. Sungguh, Pradita tidak berani menatap mata Bara lagi. Lelaki itu sungguh bakat dalam hal menghipnotis.
Setelah beberapa menit kekonyolan yang terjadi, akhirnya mereka berdua sudah masuk ke dalam mobil Bara. Dengan canggung Pradita mengenakan sabuk pengaman. Bara menyalakan mesin dan kemudian mobil mulai bergerak.
Entah mengapa tiba-tiba Pradita mengingat Danu dan membayangkan apa yang akan sahabatnya itu katakan jika melihatnya berdua lagi bersama Bara di mobilnya. Pradita mendesah, seharusnya ia tidak memikirkan tentang Danu saat ini. Hal itu hanya membuat mood-nya semakin buruk.
"Oh iya, Dit, gimana tadi ulangan prakteknya?" tanya Bara membuyarkan lamunannya.
"Hah? Biasa aja tuh," jawab Pradita secuek mungkin.
"Apa bener kamu dipanggil guru ke depan?"
Sialan! Pradita menoleh, melemparkan tatapan bengis ke arah Bara. "Lu tuh ya emang sama aja kayak cewek yang tukang gosip!"
"Waduh galak bener sih..." Bara meliriknya sekali kemudian kembali terus fokus menatap jalanan.
"Lu sih mancing-mancing emosi! Emangnya kenapa gitu kalo gua dipanggil guru ke depan? Lagean gua kaga nyontek kok. Seneng banget sih ngejek gua!" bentak Pradita tak karuan.
Suaranya pasti sangat menggelegar karena ia memperhatikan Bara yang tampak tidak nyaman mendengar omelannya yang.... sepertinya agak berlebihan. Lampu lalu lintas berubah merah. Bara menarik rem tangan, lalu menatap Pradita sungguh-sungguh.
"Aku gak pernah bermaksud ngejek kamu, Dit." Suaranya yang serak-serak basah terdengar seksi dan berhasil menjinakkan sikap Pradita yang meraung-raung. "Kalau kamu gak suka, aku gak akan tanya lagi soal itu. Kita ngomongin yang lain aja."
Pradita menunduk menatap jam di dasbor, tak sanggup menatap mata Bara yang terkesan seolah menelanjanginya. Ia emosian, mudah kesal dan marah-marah, berlagak sok kuat, padahal ia rapuh. Bara seperti memaksanya untuk menunjukkan semua sifat aslinya yang terkadang ia tutupi dari Danu.
"Kita ngomongin yang lain aja," ujar Pradita sambil melirik Bara. Lelaki itu tersenyum samar.
"Setuju."
Setelah itu sepanjang jalan Bara sibuk menanyakan pertanyaan remeh padanya, seperti : apa makanan kesukaannya, warna favoritnya, band favoritnya, dan tentang keluarganya. Sejujurnya Pradita tidak ingin terlalu terbuka pada lelaki yang baru dikenalnya, tapi entah mengapa ia menjawab semua pertanyaan itu dengan rela hati.
Sudah lama sekali sepertinya ia tidak pernah berkenalan dengan orang lain, yang sepertinya--jika ia tidak salah--Bara sangat begitu ingin mengenalnya. Permulaan yang tak terduga sebenarnya, karena ia tidak berharap berkenalan dengan Bara dengan cara seperti ini. Ia menggerakkan kakinya yang sakit, mengingatkan dirinya sendiri bahwa sebuah percikan listrik berawal dari tragedi ia jatuh dari tangga.
Untuk saat ini Pradita hanya ingin sedikit bersenang-senang, mengingat betapa melelahkannya ulangan praktek resep, bulak balik mengambil bahan obat, berdiri berjam-jam, belum lagi otaknya diperas untuk berpikir, mengisi jurnal dan segala perhitungannya. Belum lagi mood-nya agak terganggu karena perkataan Danu yang menyakiti perasaannya.
Boleh dikatakan Bara datang di saat yang tepat. Makan siang di cafe kesukaannya dan lagi ada diskon. Apa lagi yang bisa ia harapkan saat ini? Pradita tersenyum.
Setelah setengah jam berlalu, akhirnya mereka tiba di mall tempat Cafe Hopefully itu berada. Mereka berdua berjalan menuju ke Cafe. Pradita menahan tangannya untuk tidak bersentuhan dengan Bara. Tiba-tiba tangannya terasa pegal. Seharusnya ia santai saja, seperti Bara yang santai tanpa beban. Lantas mengapa berjalan berdua saja dengan Bara terasa seperti beban baginya? Aneh.
Akhirnya setelah bermenit-menit yang cukup mendebarkan dan agak menyiksa, mereka tiba di dalam Cafe. Bara mendorong punggungnya untuk maju lebih dulu. Tangan Bara terasa hangat menembus hingga ke lapisan kulitnya yang terdalam.
Mereka duduk di meja ujung. Temboknya dari kaca sehingga ia bisa melihat ke arah Game Zone. Lampunya berkelap-kelip ceria. Sudah lama sekali ia tidak ke sana. Terakhir kali ia ke sana bersama Danu. Ia mendesah. Mengingat Danu membuatnya merasa sedih lagi.
"Kamu mau pesan apa, Dit?" tanya Danu sopan.
Pradita membaca menu lalu memilih ramen dan ayam penyet. Bara memesan juga memesan ayam penyet dan minuman. Pradita mengedarkan pandangan ke sekitar. Cafe ini tampak hangat dan menyenangkan. Lampu-lampunya bernuansa kuning hangat.
Tak berapa lama kemudian sang pelayan membawakannya minuman. Pradita menyesap coklat panas dari cangkir. Rasanya sangat enak dan gurih. Tenggorokannya terasa hangat, bahkan hingga ke perut. Minuman coklat memang selalu berhasil menghasilkan hormon kebahagiaan di dalam dirinya.
Pradita merasakan tatapan Bara yang sejak tadi tidak beranjak sedikitpun darinya. Ia penasaran, tapi tanpa menunjukkan dengan terang-terangan, Pradita melirik Bara. Ia meletakkan cangkir di atas tatakan.
"Kenapa lu ngeliatin gua kayak gitu?" tanya Pradita menjaga gengsi agar tidak terdengar seperti yang penuh harap.
Bara tidak langsung menjawab pertanyaannya. Lelaki itu memiringkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Gaya duduknya begitu santai, menyandar pada kursi cafe yang empuk. Kakinya disilangkan ke atas pahanya. Bara tampak seperti yang sedang menikmati sesuatu. Apa? Menikmati menatapnya?
Tiba-tiba Bara mengerutkan dahinya. Ia duduk tegak lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Pradita. Ia mengulurkan tangannya, lalu menyentuh bibir atasnya, mengusap sisa minuman coklat dengan jempolnya. Seketika Pradita merasa seperti dihantam petir di siang bolong. Napasnya tercekat. Ia tidak bisa bergerak ataupun bersuara.
Bara tersenyum manis. "Aku cuma mau melihatmu seperti ini. Mumpung kamu ada di hadapanku saat ini. Boleh kan aku melihatmu?"
Pradita mengangguk dengan canggung, lalu menelan ludah. Bara menyilangkan tangannya di atas meja, masih menatap Pradita dengan cara yang sangat mengganggu ketertiban hormon di dalam tubuhnya.
Bulu kuduknya meremang. Ia teringat untuk berkedip, lalu memalingkan wajahnya menatap lampu Game Master.
Makanan datang. Harumnya aroma kuah dari ramen seketika membuat perut Pradita meronta-ronta. Segera Pradita melahap ramen itu dengan semangat. Ia mencapitnya dengan sumpit, meniupnya asal, lalu menyeruputnya dengan suara yang agak berisik.
Hanya dengan beberapa kali seruput, ramennya segera lenyap dari mangkuknya. Dengan gaya barbar, Pradita mengangkat mangkuk itu lalu meneguk kuahnya.
"Pelan-pelan, Dit," tegur Bara perlahan.
"Hmmm ... Enak banget," ujar Pradita sambil meletakkan mangkuk yang sudah kosong, lalu menyeka mulutnya yang punggung tangan. "Sekarang ayam penyet."
Pradita nyaris memekik gembira mengambil piring ayam penyetnya yang sudah lengkap dengan nasi, tahu, tempe, dan lalaban. Tangannya membentuk kerucut, lalu mencomot nasi dan ayam, memasukkannya ke dalam mulut. Pradita mengangguk-angguk sambil memejamkan mata. Luar biasa. Ini memang sangat enak.
Bara tersenyum terus menatap cara makan Pradita yang seperti laki-laki. Mau bagaimana lagi? Makannya memang banyak. Ia habis menjalani ulangan praktek, ia butuh nutrisi untuk mengembalikan kekuatannya. Bara makan dengan santai, tidak seperti Pradita. Tapi makannya cepat juga.
Mereka berdua sama-sama kepedasan, membuat keringat bercucuran membasahi dahi dan pelipis. Bara sampai memesan Milkshake untuk meredakan pedas di mulutnya. Pradita meneguk minuman coklatnya hingga tandas.
Saat Pradita hendak mengeluarkan air minumnya dari tas, seseorang menghampiri mejanya. Pradita mendongak.
"Cuk?" Pradita menatap Danu penuh horor. "Ngapain lu di sini?"
Danu tampak seperti yang sedang mengatur napas. Arini muncul di belakangnya.