Chereads / Farmakologi Cinta / Chapter 9 - 9. Game Zone

Chapter 9 - 9. Game Zone

Bara? Kakak kelas? Danu tidak percaya bahwa semudah itu Pradita terpincut dengan lelaki sombong itu. Danu tahu nama Bara, meskipun ia tidak pernah benar-benar memperhatikan wajahnya seperti apa. Bara itu anak pengusaha pabrik obat. Anak itu pulang pergi sekolah dengan mengendarai mobil mewah. Nilai pelajarannya standar, tidak terlalu pintar. Tapi tidak bodoh juga.

Danu tahu itu semua dari Yuan, temannya Arini. Nama Bara seringkali disebut-sebut di kalangan anak-anak perempuan. Ia sungguh tidak terima jika ternyata sahabatnya sendiri malah ikut terlibat dengan anak lelaki itu.

Pradita adalah gadis yang polos dan tidak berpengalaman. Danu selalu mengajarkannya untuk menjaga jarak dengan laki-laki. Itu sebabnya ia jadi agak sedikit tomboy dan tidak pernah memiliki teman laki-laki lain selain dirinya.'

Semua itu murni ia lakukan demi menjaga keamanan Pradita. Ia tidak akan bisa menjelaskan pada kedua orang tua Pradita jika sampai sesuatu terjadi padanya. Pradita adalah sahabatnya yang terbaik dan gadis itu pantas untuk selalu ia lindungi.

Sejak tadi Arini mengoceh tentang hal-hal remeh, seperti tentang video yang ia tonton di Youtube, lalu foodblogger kesukaannya yang semalam mengunggah makanan enak yang ingin ia cicipi. Lalu entahlah tetek bengek seputar gosip anak perempuan.

Semua hal itu terasa baru bagi Danu. Ia sendiri tidak pernah berpacaran dengan siapapun. Ia jatuh hati pada Arini sejak pertama kali melihat gadis itu. Tapi rasanya masih agak asing berbincang-bincang dengan Arini. Mungkin karena ia belum benar-benar mengenal gadis itu. Tidak sama seperti ia mengenal Pradita.

Ibadah dimulai. Semua murid mulai menaikkan lagu pujian. Selesai bernyanyi, mereka pun berdoa. Danu menambahkan doanya agar Pradita selalu dalam keadaan baik-baik saja dan jangan sampai Bara mengganggu lagi kehidupannya. Amin.

Selesai ibadah, Danu tidak ada praktikum. Ia menoleh ke belakang dan tidak melihat kehadiran Pradita. Mungkin sahabatnya itu sudah masuk ke ruang laboratorium. Bagaimana gadis itu bisa berjalan cepat? Padahal kakinya kan sedang sakit.

Danu melangkah dengan lesu bersama Arini. Ia merasa bersalah. Seharusnya ia tidak perlu sekeras itu berbicara pada sahabatnya.

"Gimana, Nu?" tanya Arini.

"Eh apa?"

Arini tersenyum sambil mendesah. "Tadi aku tanya, kamu mau gak jalan-jalan sama aku?"

Danu terdiam sejenak. Ia menatap Arini. Wajahnya tampak merona. Ia begitu cantik dan manis. Kulitnya tampak cerah bersinar. Rambutnya panjang dan pastinya akan terasa halus jika Danu menyentuhnya. Untuk sejenak ia baru menyadari bahwa memang sejak awal ia telah jatuh hati pada Arini.

"Kamu mau jalan-jalan ke mana, Rin?" tanya Danu.

Arini menyelipkan rambutnya ke kuping sambil menunduk malu. "Kita ke mall yuk."

"Ayo!"

Siang itu mereka pergi ke mall, lalu berhenti di sebuah restoran cepat saji. Untung saja tadi Danu sempat mengecek isi dompetnya waktu di toilet. Uangnya cukup untuk mentraktir Arini. Saat sudah di kasir, Danu mengeluarkan dompet dan membayar. Arini tampak tersenyum-senyum.

Danu membawakan nampan berisi makanan mereka, lalu mereka duduk saling berhadapan. Danu lapar sekali. Ia makan dengan lahap. Di seberangnya, Arini menyantap makanannya dengan tenang. Gadis itu mengunyah dengan perlahan.

Jari kelingkingnya mencuat ketika ia merobek daging ayam menjadi potongan kecil-kecil. Danu memperhatikan ketika Arini menyingkirkan kulit krispi ke samping.

Oh tidak. Itu adalah kulit krispi kesukaannya dan Pradita. Danu hanya bisa membelalak, lalu menyeruput minuman kola dengan sedotan. Ketika Danu pikir ia akan bisa menghabiskan dua porsi nasi, seperti yang biasa ia lakukan bersama Pradita, lain halnya dengan Arini.

Gadis itu hanya makan setengah porsi nasi saja. Ayamnya habis. Tapi hanya dagingnya saja. Kulit krispi itu terbengkalai tak berdosa. Sungguh penyia-nyiaan.

Jika Pradita melihat ini, sahabatnya itu akan protes keras sambil memasang wajah bak pembunuh bermata elang.

'Lu tuh ga boleh buang-buang nasi, Cuk! Sini gua habisin! Duit lu udah kebanyakan ya ampe dibuang-buang segala makanannya! Lu kudu inget sama orang laen di luar sana yang kelaparan karena gak bisa makan!'

Danu terkekeh kecil membayangkan ocehan Pradita.

"Ada apa, Nu?" tanya Arini polos, dihiasi dua bola mata bulat yang berbinar-binar.

"Eh, gak apa-apa kok," jawab Danu berbohong. "Eh, udah beres belum makannya? Kita maen yuk ke Gmae Zone."

Arini tampak bersemangat. Mereka beranjak dari kursi. Danu masih sempat melirik ke belakang, ke arah si nasi setengah dan kulit krispi yang memanggil namanyanya sambil meminta tolong. Sang pegawai kebersihan datang sambil membawa roda berisi tempat sampah dan piring-piring bekas. Dengan sigap orang itu mengambil makanan sisa yang kini telah menangis sambil menjerit.

Plung! Makanan itu masuk ke dalam tempat sampah dan ... mati.

Danu mengalihkan pandangannya ke depan, berusaha untuk melupakan kejadian naas tersebut. Ia melirik Arini yang berjalan anggun dan berwajah polos tanpa dosa.

Demi Tuhan, syukurlah karena ia dianugerahi wajah yang super cantik dan manis. Jika tidak, mungkin Danu akan ... entahlah. Pergi dari sana? Meninggalkan Arini?

Ayolah! erang Danu dalam hati. Kapan lagi ia bisa berkencan dengan Arini. Ini adalah kesempatan terbaik untuk saling mengenal dan lebih dekat lagi. Danu tidak bodoh. Ia juga bisa merasakan bahwa sepertinya Arini juga menyukainya.

Ini terlalu cepat, pikir Danu. Tidakkah seharusnya seorang gadis jual mahal dulu? Lalu sedikit demi sedikit, mereka akan membuka diri dan ... Danu menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa menyamakan perempuan lain dengan Arini. Mungkin Arini jenis perempuan yang lebih terbuka dan dewasa. Dewasa? Benarkah? Tindakan membuang makanan itu sama sekali tidak dewasa.

Danu menarik napas dalam-dalam. Mereka sedang diam di atas eskalator yang membawa mereka naik ke atas. Danu mendongak dan melihat tulisan Game Master dan logonya yang besar tampak bersinar. Mereka tiba di depan sana dan kini mata mereka dimanjakan dengan pemandangan puluhan permainan seru yang bisa mereka mainkan.

Rasanya sudah lama sekali Danu tidak pernah ke sini lagi. Terakhir kali mungkin saat kelas sepuluh. Ia dan Pradita bermain basket sampai tangannya mau potong rasanya. Pradita semangat sekali memasukkan bola ke dalam keranjang.

Mereka sampai mencapai skor tertinggi. Tiket yang muncul sampai banyak sekali. Mereka tertawa puas Lalu pulangnya menukarkan tiket itu dengan makanan ringan dan coklat.

Tiba-tiba Danu merasa rindu pada sahabatnya. Seandainya Pradita ada di sini, mereka pasti akan seru-seruan bersama. Seharusnya ia menunggu sampai Pradita pulang praktikum, lalu baru bermain bersama-sama dengan Arini. Ah, rasanya tidak mungkin. Sepertinya tadi pagi mereka agak bersitegang.

"Ayo, Nu!" ajak Arini, mengarahkan Danu ke loket pengisian kartu.