"Sumpah ya, Abel kenapa deh nggak mau percaya sama omongan gue?" gerutu Lia, "padahal kan Dani itu cuma om om buaya darat. Ih …," imbuhnya seraya menghentak-hentakkan kaki pada lantai keramik karena kelewat gemas dengan sepasang kekasih itu.
Suasana di ruang tunggu terasa sepi malam itu. Lia duduk bersandar pada kursi sambil memejamkan kelopak matanya setelah berhasil meredam emosi. Berdiam sendiri dalam keheningan seperti itu membuatnya merasakan nyeri dan perih pada luka di lengan bekas jatuh tadi. Dia mengusapnya perlahan, sambil menahan dinginnya angin malam yang semakin menembus kulit tanpa kain penghangat.
***
Sementara itu di sebuah rumah kost yang cukup sederhana, Dirga sedang duduk dengan tenangnya mendengarkan cerita bahagia sang kakak. Wanita cantik yang duduk di sofa sampingnya menarik kedua sudut bibir berwarna merah mawar, hingga terlihat deretan gigi-gigi rapi nan putih itu.
"Aku bolehkan datang ke acara nikahannya Kakak?" tanya Dirga. Seulas senyum dan sorot mata cowok itu terlihat penuh harap.
Tanpa ragu, sosok wanita cantik di sampingnya menjawab, "Boleh banget. Lagian acara resepsinya nanti bakal diadain di Bali. Sekalian kamu liburan sehabis ulangan tengah semester."
"Wih, keren banget calon kakak ipar aku. Kapan Kakak mau kenalin aku ke calon suami Kakak?" tanya Dirga lagi.
"Gimana lagi, Ga. Calon suami kakak tuh terlalu sibuk. Ini aja dia langsung pergi habis pemotretan pre-wed. Tadinya mau kakak ajak makan malam sekalian sama kamu, tapi ya … hmmm," keluh kakak Dirga.
Dirga menarik kedua sudut bibir, juga mengangguk kecil karena memaklumi kesibukan calon kakak iparnya itu. Dia justru senang bila kakaknya mendapat suami pekerja keras. Itu artinya kehidupan kakak satu-satunya akan lebih baik lagi setelah pernikahan.
"Ya sudah, aku doain yang terbaik buat Kakak." Dirga mengambil telapak tangan sang kakak dan menggenggamnya erat. "Semoga semuanya dilancarkan hingga hari H nanti, terus ... Kak Rindu juga hidup bahagia selamanya bersama suami." Doa terbaik cowok itu di-aamiin-kan oleh kakaknya.
Rindu merasa terharu, anak laki-laki yang dahulu selalu membuat jengkel karena tingkah usilnya, kini telah bertumbuh semakin dewasa dan membanggakan.
Tanpa bisa ditahan lagi, bulir air bening jatuh begitu saja di pipi Rindu. Seulas senyum yang ia lempar untuk Dirga kini menjadi senyum getir setelah terisak lirih. Dipeluklah cowok gagah dan tampan yang sedari tadi menggenggam tangannya. Ia menangis haru dalam dekapan hangat Dirga.
"Jangan nangis, mau nikah masa nangis …," sindir Dirga meskipun sebenarnya matanya pun berkaca-kaca.
"Ini tuh tangisan bahagia, Dek." Rindu melepas pelukannya.
Sepasang mata berhias bulu lentik di sekeliling milik Rindu kembali menelusuri wajah tampan sang adik. "Biarpun kamu udah gede, tapi kamu tuh tetap anak kecil di mata kak Rindu. Kamu tetap seperti Dirga kecil yang selalu merengek minta coklat waktu kakak pulang kerja. Pokoknya, sampai kapan pun, jangan pernah segan bilang kakak kalau butuh sesuatu. Ya?" ujarnya dengan tatapan dalam.
Dirga mengangguk. Obrolan malam itu berakhir ketika Rindu berpamit untuk istirahat. Sebuah rumah kost yang sangat sederhana bukanlah sebuah masalah, sebab selama ini hidupnya di luar kota pun tidak mewah.
Meskipun kini ia menjabat sebagai manager bank di sebuah bank swasta, akan tetapi tidak membuat Rindu menghambur-hamburkan uang gajinya yang terbilang cukup besar. Dia masih tinggal di rumah sederhana milik kedua orang tuanya yang sudah lama merantau di Sumatera.
Entah kapan mereka kembali. Namun, Dirga juga sang Kakak selalu mendamba hari di mana mereka bisa berkumpul lagi dengan bapak dan ibunya.
***
Langit penuh bintang, serta cahaya rembulan berbentuk sabit di atas sana membuat Lia enggan mengistirahatkan tubuh yang sebenarnya terasa sangat lelah. Dia berdiri di balkon kamar rumah sakit sudah hampir dua jam lamanya. Menatap dalam lamunan pemandangan indah di langit malam.
Tiba-tiba terdengar langkah seseorang yang mendekat, disusul suara decitan pintu yang terbuka perlahan.
"Kamu tahu, aku begitu mencintai Abel. Aku sangat berharap bisa menghabiskan waktuku bersamanya, tapi ada hal lain yang mengharuskanku menikah secepatnya. Di lain sisi, aku juga tidak ingin merusak masa depan Abel. Aku harap kamu akan tetap merahasiakan apa yang tadi kamu lihat tentangku dan perempuan itu. Suatu hari nanti aku akan kembali, kubuktikan cintaku padanya jika semua masalahku telah selesai," ucap Dhani seraya melangkah pelan mendekati Lia.
Mendengar penuturan pria dewasa itu, membuat Lia kesal hingga ingin mencabik habis tubuhnya. Dia menoleh cepat, lalu menatap tajam kedua bola mata Dhani yang sayu.
"Kalau mau pergi, pergi aja deh. Lagian gue ogah banget mengungkit masalah orang lain. Tinggalin aja Abel. Gue yakin dia bakal dapat cowok yang lebih baik dari segi manapun dari pada lo. Udah sana pergi," balas Lia yang kemudian berlari kecil meninggalkan balkon.
Dhani menyusul masuk. Diambilnya handphone serta jas dari atas kursi. Dia juga mengecup kening Abel yang sudah terlelap, lalu meninggalkan ruangan tersebut meskipun sebenarnya tidak rela.
Barulah Lia bisa bernapas lega karena tidak ada lagi Dhani yang akan mengganggu temannya itu.
Mentari pagi telah muncul dari ufuk timur tempatnya semalaman beristirahat. Sinarnya terasa hangat menelusup masuk melalui kaca jendela yang tidak lagi tertutup kelambu. Abel baru saja menghabiskan semangkuk bubur ketika Lia terjaga dari tidurnya, dan langsung meminta dibelikan minuman kesukaannya.
"Beliin coklat panas dong," ucap Abel saat melihat Lia menggeliat di atas sofa.
"Lia?" panggilnya lagi.
"Hmmm." Gadis itu belum berniat untuk bangun. Hanya bergumam mendengar permintaan sahabatnya.
"Beliin coklat panas," ulangnya.
Lia berbalik badan dan bilang, "Lo pikir nyawa gue udah kekumpul semua?" Tanpa membuka mata.
"Ih, emangnya pergi ke mana aja tuh nyawa?" tanya Abel seraya terkekeh.
"Keliling dunia lah. Emang nyawa lo, travelingnya ke hati Dhani doang," celoteh Lia tanpa ekspresi.
Abel justru terkekeh-kekeh mendengarnya. Dia melempar bantal pada wajah Lia yang justru ditangkap dan langsung memeluknya.
"Li, semalam lo lihat waktu Dhani pergi 'nggak?" Abel bertanya serius.
"Iya. Dia langsung pergi semalam. Katanya, kalau nomor dia nggak aktif lo nggak usah panik. Kalau bosan LDR dan bosan nungguin kabarnya, lo dibolehin cari cowok lain." Lia berkata-kata tanpa melihat Abel yang menirukan gerakan bibirnya.
"Bohong aja bisanya. Mana mungkin Dhani bilang kayak gitu," tukas Abel sama sekali tak mempercayai.
"Ya udah kalau nggak percaya."
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu dibarengi masuknya cowok berkacamata dengan sebuah buket bunga campuran di tangannya. Seketika Lia tersenyum lebar seraya terbangun dari rebahan.
"Bel, selamat pagi," ucap Dirga.
Senyum merekah bibir merah alami cowok itu benar-benar membius fokus Lia hingga membuat mulutnya terbuka lebar.
"Pagi, Ga. Kok malah ke sini, bukannya ke sekolah?" sahut Abel.
Next …