Cowok itu berhenti memainkan sendok serta garpunya saat mie dan bulatan bakso telah habis dia makan. Sementara Lia masih menikmati kuah bening tanpa daun seledri dan micin pada mangkoknya. Tidak lama setelah itu, bel masuk pun menggema di seluruh penjuru sekolah.
"Gue aja yang bayar," ucap Lia sembari menahan lengan Dirga saat akan beranjak ke tempat mbak Mira.
"Eh, enggak, bayar sendiri-sendiri aja," tolaknya.
Namun Lia sudah terlebih dulu memberikan selembar uang lima puluh ribuan kepada mbak Mira untuk dua mangkok bakso dan dua botol air mineral yang telah dikonsumsi. Kemudian, mereka berdua kembali ke kelas, meskipun tampaknya tidak akan ada jam pelajaran lanjutan.
Waktu terus bergulir, hingga sebuah jam tangan hitam bermerk menunjukkan pukul sebelas siang. Dirga menghela napas panjang, tatapannya mengarah malas pada Lia yang tengah asyik mengobrol dengan teman-teman perempuannya.
Dia bosan sekali menunggu jam pulang sekolah yang tinggal beberapa menit lagi, hingga akhirnya memilih ke luar kelas terlebih dulu meskipun belum terdengar bel tanda pulang.
***
"Eh, ada yang lihat Dirga 'nggak?" tanya Lia begitu bel pulang dibunyikan.
Beberapa dari mereka yang masih di dalam kelas hanya menggeleng, lalu beranjak ke luar. Lia pun mengikuti sambil masih mencari-cari sosok Dirga di luar kelasnya.
Namun, hampir semua anak pulang, ia sama sekali tak menemukan cowok itu. Barulah terlintas dalam pikirannya, barangkali Dirga sudah pulang terlebih dahulu. Bahkan, mungkin saja dia sudah duluan ke rumah sakit menemui Abel.
"Sial banget sih, panas-panas begini malah nggak ada angkot. Mana kaki juga masih sakit. Dirga tuh ya, ngajak berangkat bareng bukannya pulang juga barengan 'kek." Lia terus mengomel sepanjang jalan menuju rumah sakit.
Hampir pukul dua belas dan selama itu dia menunggu di depan gerbang sekolah, tapi tidak muncul satu pun angkot yang mengarah ke rumah sakit. Terpaksa Lia berjalan meskipun harus merasakan sakit tiap satu per satu langkahnya.
Sedangkan jauh dari penderitaan Lia siang itu, di ruangan rumah sakit ber-AC dan bermacam-macam makanan juga buah terhidang di atas sebuah meja kecil. Dirga datang membawa cukup banyak makanan karena ingin sesekali mentraktir Abel dan Lia.
"Ya ampun, Lia," ucap Dirga tiba-tiba saat teringat namanya.
"Kenapa, Ga?" tanya Abel pun terkejut.
"Gue lupa nggak nungguin Lia tadi," ujar Dirga yang membuatnya tidak jadi menyuapkan nasi Padang pada Abel. Justru menaruhnya di meja, lalu mengambil handphone dari saku celana.
Abel menatap heran cowok yang duduk di sebelahnya. Dia seperti sangat mengkhawatirkan Lia, membuatnya sedikit menarik sudut bibir. Berpikir bahwa, sepertinya Dirga mulai ada rasa sama Lia.
"Nggak aktif nomornya," kata Dirga setelah mencoba menelepon gadis itu.
"Ya udah sih, Lia tuh udah gede. Dia bisa kok pulang sendiri," sahut Abel seraya tersenyum makin lebar.
"Ya iya, sih," balas Dirga sembari membalas senyuman Abel.
Begitu meletakkan handphone ke meja, dia langsung mengambil lagi sepiring nasi Padang yang nasinya masih hangat itu. Menyendokkan nasi serta lauk gurame goreng, juga sedikit sayur sop dan mengarahkannya pada mulut Abel.
"A-ak lagi …," suruh Dirga seperti merayu anak kecil.
Meskipun terasa aneh dan menggelikan, tapi Abel menurut saja karena perlakuan hangat Dirga membuatnya senang. Umur mereka terpaut jarak hanya empat bulan, tapi sikap dan pemikiran Dirga jauh lebih dewasa darinya.
Berulang kali cowok itu menyuapi Abel, hingga akhirnya separuh porsi nasi Padang telah raib dari piringnya.
Abel mengusap-usap perut yang kini telah terisi penuh. Kemudian, dia menerima sebotol air mineral yang disodorkan Dirga. Meneguknya hingga tersisa separuh.
"Makasih, Ga. Haa … kenyang banget, nih," ucapnya.
"Ya udah duduk dulu yang tenang, baru nanti minum obat trus bobo lagi." Dirga berkata dengan sangat lembut. Tidak lupa tatapannya yang diam-diam membuat seseorang dari balik pintu bergemetar dadanya.
"Iya, Kakak," jawab Abel manja.
Dirga terkekeh kecil mendengarnya. "Kok, kakak, sih?" Ia mengerutkan kening, seraya bertanya.
"Iyalah, gue tuh suka aja punya teman rasa kakak seperti lo. Perhatian, ngelindungi gue banget," jelas Abel.
"Oh," balas Dirga singkat. Bibirnya seketika bungkam mendapat jawaban itu.
Jauh di dalam lubuh hatinya, bukan jawaban seperti tadi yang ingin Dirga dengar. Dia tidak hanya ingin menjadi teman bagi Abel, apa lagi sebagai kakaknya.
"Ummm bukannya lo mau makan?" tanya Abel sembari melirik bungkusan makanan di atas meja.
"Iya, gue makan dulu."
Melihat keadaan sudah bisa ia kondisikan, Lia akhirnya memberanikan diri. Dia mengetuk daun pintu perlahan, lalu melempar senyum seceria mungkin seakan tadi tidak melihat atau mendengar percakapan Abel dan Dirga.
Dua orang di dalam ruangan tersebut pun menoleh, serta menyambut Lia dengan senyuman.
"Bel, gimana keadaan lo?" tanyanya setelah duduk di samping Abel.
"Ya kayak gini, pegal-pegal doang, hehe," jawab Lia diselipkan candaan.
"Li, sorry ya tadi gue nggak nungguin lo. Gue biasa pulang sendiri, jadi nggak nyadar kalau seharusnya ngajakin lo kesini bareng," ucap Dirga saat makanan di dalam mulutnya sudah tertelan.
Lia terkekeh. "Santai aja kali," sahutnya.
"Eh, lo udah makan siang belum? Nih, makan … sekalian aja tadi gue beliin," kata cowok itu.
Sebungkus nasi Padang yang baru saja Dirga geser ke meja di depan Lia memang sangat menggoda. Aroma lezat bumbu ikan dari bungkusan milik Dirga saja sudah berhasil membuat Lia menelan kasar salivanya.
"Makasih, Ga," ucapnya tanpa berbasa-basi.
Kemudian dia mengambil sebungkus nasi itu dan langsung menikmatinya.
Selagi Lia dan Dirga makan siang, Abel berusaha menuju nakas yang ada di sudut ruangan. Dia ingin mengambil handphone untuk menghubungi kekasihnya. Beberapa jam saja tanpa kabar Dani membuat ia rindu.
Meskipun katanya, Dani sudah kembali ke Surabaya, tapi ada ponsel yang bisa menyalurkan perasaan rindunya.
Tut …
Tut …
Lia melirik raut cantik yang sedang mencoba menghubungi seseorang itu. Dia sungguh kesal, masih saja Abel tidak percaya padanya.
Beberapa saat kemudian, Abel naik ke brankar, dengan masih menempelkan handphone pada telinga kanannya.
Ekspresi wajahnya mulai berubah. Tampak gelisah karena tak ada tanda-tanda Dani akan menjawab panggilannya.
"Bandel bener sih, jadi orang," sindir Lia.
"Apa deh," sahut Abel sambil melirik malas sahabatnya.
"Lo itu … gue bilang 'kan Dani mau nikah." Lia mengomel sembari mengunyah makanannya.
Abel malas berdebat sehingga memilih membuang muka. Dirga yang tidak begitu tahu inti masalahnya hanya mengangkat bahu, melirik sekilas Lia dan melanjutkan makan lagi.
***
Siang berlalu, beberapa jam yang lalu setelah selesai makan, Dirga berpamit pulang. Sehingga sore itu tinggallah Lia bersama Abel saja di rumah sakit.
Abel tertidur setelah meminum obatnya, sedangkan Lia menyibukkan diri dengan handphone. Lama-lama, posisi duduk gadis itu berubah miring dan semakin miring hingga kemudian merebahkan diri. Lia juga mulai tidak fokus dengan media sosialnya ketika kedua kelopak mata berbulu lentik itu terasa berat.
Perlahan, handphone tergeletak begitu saja di atas perutnya diikuti sepasang penglihatan yang terpejam.