Mereka juga baru mengetahui bahwa tidak ada pedagang yang keliling ke sana kemari sehingga sepanjang perjalanan bisa tidur nyenyak tanpa terganggu.
Dirga sendiri bingung bila nanti mereka lapar atau haus apabila tidak ada pedagang yang lalu lalang?
Tiba-tiba datanglah petugas yang menawarkan beberapa jenis makanan dan minuman seperti nasi goreng, nasi rames, mie rebus, es teh, kopi, dan lain-lain. Seketika membuatnya terbangun karena percakapan beberapa orang di dalam gerbong yang sama.
"Permisi, ada yang mau dipesan, Mas?" tanya petugas laki-laki dengan sopan.
"Umm … saya pesan minuman isotoniknya tiga botol, ya. Sekalian camilan gurih juga tiga bungkus, oh iya, kalau ada mau roti juga." Dirga sempat kebingungan, tetapi akhirnya memesan semua itu untuk jaga-jaga jika nanti Lia dan Abel mulai lapar.
"Iya. Rotinya tiga juga?" sahut petugas itu.
"Iya, masing-masing tiga," jawabnya yakin.
"Tunggu sebentar, ya." Petugas itu pun berlalu. Mendekati satu per satu penumpang dan menawarkan makanan serta minuman.
Dirga yang terlanjur terbangun, akhirnya kesulitan untuk tidur lagi. Dia justru terpaku menatap wajah mulus seputih susu di sampingnya, dengan bibir sedikit terbuka dan bernapas sangat teratur.
Tangannya reflek terangkat demi menarik kepala Abel dengan sangat hati-hati supaya bersandar di bahunya. Degup jantung cowok itu saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bahagia, tapi di lain sisi merasa nelangsa.
Gadis yang disukainya telah dimiliki orang lain. Bagaimana mungkin dia bisa masuk ke dalam hatinya? Dirga menghela napas panjang, lalu menatap ke luar jendela dan menemukan kegelapan di sana, seperti hatinya. Gelap tak berpenghuni.
Tidak lama kemudian, petugas tadi datang kembali. Menyerahkan satu kantong plastik cukup besar berisi pesanan Dirga. Mereka saling berterima kasih, lalu petugas melanjutkan pekerjaannya.
Drrrtt!
Dirga memalingkan pandangannya dari wajah Abel ketika handphone berdering kuat dari dalam saku celananya. Dia bersusah payah mengambil karena tidak mau pergerakannya membangunkan Abel. Kemudian menggeser tanda hijau pada layar handphone setelah berhasil menggenggamnya.
Bukan lain yang menelepon ialah kak Rindu. Seketika terdengar suara sumringah dari seberang telepon.
"Hai, Kak."
"Ga, udah sampai mana?"
"Masih jauh lah, Kak. Ini aja baru beberapa menit keretanya jalan."
"Ya ampun, makanya kakak bilang kamu naik pesawat aja. Gimana kalau sampai di sini pagi?"
"Enggak lah, paling sepuluh atau sebelas jam aja udah sampai."
"Lama banget tahu, Dirga. Ih … ya udahlah, kamu baik-baik di jalan. Kakak tunggu kedatangan kamu."
"Asiiiap, Kak. Kakak tidur gih, biar besok pagi wajah Kakak tuh fresh."
"Iya, bawel banget, sih. Gih sana tidur. Aku juga mau tidur, biar besoknya nggak ngantuk."
"Ya, Adeknya kakak yang ganteng. Hati-hati, yah!"
"Hmmm … bye Kak."
Panggilan pun berakhir. Waktu terus berlalu, terasa begitu cepat, mungkin karena suasana hati Dirga sedang bahagia. Baru akan memejamkan mata, datang lagi seorang petugas, kali ini seorang wanita cantik berpakaian rapi membawa brankar tempat menaruh selimut.
Begitu jam sembilan malam, petugas kereta mulai membagikan selimut kepada masing-masing penumpang, karena pada malam hari akan terasa dingin sekali. Selain karena faktor udara di luar, juga karena faktor fasilitas AC-nya.
Dirga akhirnya bisa tertidur pulas setelah memasangkan selimut pada Abel dan Lia, juga pada dirinya sendiri.
***
Menjelang pagi hari sekitar pukul setengah enam pagi, sudah ada petugas yang menawarkan kopi, teh hangat, dan lain-lain lagi. Ada juga handuk hangat yang ditawarkan bagi penumpang yang baru bangun tidur.
Cowok itu lantas membangunkan Abel, juga Lia. Masing-masing dari mereka mengambil satu handuk yang telah dibasahi dengan air hangat tersebut. Tidur dengan posisi duduk semalaman rupanya sangat menyiksa, terutama pada bagian pinggang dan tengkuk leher.
Kemudian mereka pergi ke toilet secara bergantian, hingga saatnya sarapan dengan mie instan yang telah Dirga pesan sebelumnya pada petugas kereta api.
Pengalaman paling menyenangkan bagi ketiga sahabat itu. Selesai mengisi perut, mereka saling bercanda dan menikmati cemilan yang dibeli Dirga semalam.
Melihat perhatian Dirga yang begitu spesial terhadap Abel, membuat Lia cukup menahan nyeri dalam relung hatinya. Mereka berdua lebih terlihat seperti sepasang kekasih dibandingkan hanya sebagai teman biasa. Rasanya, kesempatan Lia untuk bisa masuk ke dalam hati Dirga semakin sulit saja.
"Li, lo kenapa diam aja dari tadi?" Tiba-tiba Abel menyenggol lengan Lia setelah mendapati gadis di sampingnya itu menatap kosong ke depan.
"Ngantuk," jawab Lia singkat.
"Ya udah tidur aja lagi," suruh Abel, "Ngemil aja nih biar nggak ngantuk terus," ucapnya lagi sambil menyodorkan sebungkus cemilan ke arah Lia.
"Nggak ah, udah kenyang." Lia melipat kedua tangannya ke depan dada, lalu menyandarkan punggung pada punggung kursi dan menutup kelopak mata. "Jangan berisik kalian berdua, gue pusing nih mau tidur."
Abel dan Dirga malah saling tatap. Terkekeh kecil melihat Lia yang tampaknya memang pusing. Seketika tertidur dengan begitu nyenyak.
***
Lia terkejut saat Abel membangunkannya. Terasa belum lama ini ia tidur, tapi ternyata sudah sampai di tujuan.
Mereka meninggalkan stasiun di mana kereta yang baru saja ditumpanginya berhenti. Cuaca terasa panas sekali meskipun waktu masih terbilang pagi. Mengingat, Dirga masih harus menunggu jemputan dari sopir kakaknya, Abel langsung pamit pergi untuk mencari keberadaan Dani.
Sebenarnya Dirga merasa kasihan, tidak rela juga kalau Abel harus berkeliling kota Surabaya sendirian mencari kekasihnya. Namun dia juga sedang terburu-buru demi bisa hadir tepat waktu di acara pernikahan kakaknya.
"Lo baik-baik di jalan. Kalau ada apa-apa langsung hubungi gue," pesan Dirga pada Abel.
Gadis itu mengangguk kecil, tidak lupa melemparkan senyuman termanisnya pada Dirga. "Gue udah gede kali, jadi nggak usah khawatir kaya gitu. Lagian kan ada Lia, gini-gini dia canggih banget kalau nyari alamat orang," candanya seraya menepuk bahu Lia.
"Yo i, Ga. Lo tenang aja," sahut Lia.
"Ya udah, tuh ada taksi di sebelah sana. Kalian ingat, hubungi gue kalau ada apa-apa." Dirga mengingatkan sekali lagi.
Dua gadis cantik hanya mengangguk paham sebagai jawabannya. Mereka langsung meninggalkan Dirga di tepi jalan, lalu berjalan santai menuju deretan taksi yang terparkir tak jauh dari sana.
Tidak lama selepas perginya Abel dan Lia, sebuah mobil pribadi berwarna silver menghampiri Dirga. Seorang sopir berseragam rapi pun turun dari mobil tersebut. Menyapa ramah cowok tampan di tepi jalan itu.
"Selamat pagi, saya Tito, sopirnya pak Dani. Mas ini adiknya bu Rindu, kan?" sapanya dengan sopan.
"Iya, Pak. Aku Dirga, adik kak Rindu. Bapak yang mau jemput aku, ya?" Dirga menyahuti, pun dengan tutur kata yang santun.
"Benar. Syukurlah Mas sampai di Surabaya dengan selamat. Kalau begitu, ayo langsung saja kita ke gedung tempat bu Rindu dan pak Dani melangsungkan akad," kata pak Tito.
Bersambung ...