Senyum merekah dari bibir Abel dan Lia menyambut kedatangan Dirga. Cowok itu turun dari motornya, melepas helm, lalu berlari kecil menuju teras memanjang tersebut.
"Eh, Ga, mau ke sini kok enggak bilang dulu?" tanya Lia.
Tanpa menunggu kedua tuan rumah mempersilahkannya terlebih dulu, Dirga langsung duduk di kursi rotan yang masih kosong. Dia menghela napas kasar seraya menyibakkan rambut yang mulai memanjang ke belakang secara berkali-kali. Kemudian, menyandarkan punggungnya pada bahu kursi.
"Ehem. Sekalian aja mampir sini, malam nanti gue mau ke Surabaya. Jadi, rencana kita mau liburan ke Dewata tunda dulu deh," ucap Dirga. Bola matanya menatap Abel dan Lia bergantian.
"Dih, 'nggak jelas banget," sahut Lia sambil mengerutkan hidung jambunya, "mau ngapain ke Surabaya?" tanya ia tampak serius.
"Iya tuh, mendadak banget," imbuh Abel.
"Kakak gue mau nikah, tapi nanti gue kabarin kalau urusan di sana udah selesai. Kayaknya sih gue berangkat ke Bali bareng kakak. Gimana kalau ketemuan di sana aja?" Dirga membuat sebuah keputusan.
Dua cewek di depannya tampak bergeming, sesekali melihat langit-langit rumah entah apa yang ada di dalam pikiran mereka. Kemudian, Abel beranjak dari tempat duduknya. "Ga, mau minum apa?" tanya Abel.
"Enggak usah, Bel, gue langsung pergi habis ini." Jawaban Dirga membuat Abel mengangguk paham, lalu duduk kembali.
"Ummm, Ga … boleh ikut ke Surabaya?" tanya Abel dengan ekspresi bingung.
Selayaknya anak kecil, dia mengepalkan jemari dan tersenyum kecut menatap cowok itu. Lia mulai kesal karena mengerti maksud sahabatnya. Bukan lain, pasti untuk menemui Dani yang sudah seminggu ini tanpa kabar.
Seketika Lia menepuk lutut Abel yang terbuka itu, sebab ia tengah mengenakan jeans di atas lutut. "Jangan macem-macem, deh." Dia berkata gemas.
"Aduduh, ih, kenapa sih?" Abel pun sewot seraya mengusap-usap lututnya yang menampakkan bekas merah telapak tangan Lia.
"Enggak usah nyari tahu kabar dia lagi, kalau lo 'nggak mau terluka untuk kesekian kalinya," kata Lia penuh perhatian.
Namun, ditepis begitu saja oleh Abel yang memang sudah sangat merindukan sang kekasih. Semenjak hari kecelakaan itu, Dani sekalipun belum memberinya kabar. Bahkan pesan-pesan serta panggilan juga voice note Abel diabaikan, meskipun terkadang notifikasi aplikasi chattingnya terlihat online, Dani seperti tak punya niatan untuk sekedar meng-read pesan-pesan kekasihnya.
"Ada apa sih ini?" tanya Dirga.
Cowok itu memasang raut serius. "Gue bentaran doang di Surabaya, loh. Nanti langsung ke Bali soalnya kakak mau honeymoon di sana," jelasnya.
"Abel mau nyari cowoknya kali," cetus Lia.
"Cowok lo orang Surabaya?" Dirga merasa ingin tahu.
Anggukan kecil Abel adalah sebuah jawaban. Ia menyentuh tangan cowok berkaos putih itu, menatapnya penuh harap. "Barengan ya, ke Surabaya-nya. Gue janji nggak bakal bikin lo repot," kata Abel.
"Bukannya gitu, tapi beneran mau ikut?" tanya Dirga meyakinkan.
Sekali lagi, Abel mengangguk.
Lia hanya memanyunkan bibir setelah mendengar keputusan sahabatnya itu. Meskipun dia melarang, tapi tujuan Lia cukup baik yaitu supaya Abel tidak merasa kecewa lagi. Seperti yang dulu.
"Kalau gitu langsung beli tiketnya aja, yuk. Keburu malam," kata Dirga.
"Li, lo gimana?" tanya Abel merasa tak enak hati.
Lia pun mengangkat bahu, seraya beranjak dari tempat duduknya. "Mau gimana lagi? Ikutanlah," jawabnya cuek.
Abel lantas tersenyum tipis. Sore itu mereka langsung bersiap-siap, membeli tiket kereta lalu melakukan perjalan menuju kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan tersebut.
Sekitar pukul 17.00 WIB kereta Gumarang yang akan mereka tumpangi sudah tiba. Telat sekitar 10 menit dari jadwalnya. Awalnya Dirga bingung bagian gerbong mana untuk kelas ekonomi, bisnis, dan eksekutifnya. Karena ia baru tahu juga bahwa ternyata untuk ketiga kelas yang berbeda itu sama-sama terdapat pada satu kereta.
Namun yang membedakan adalah letak gerbongnya. Padahal dulu, Dirga mengira bahwa beda kelas, beda kereta. Ternyata perkiraannya salah, karena dia kebingungan, lalu mendekati seorang bapak-bapak untuk bertanya.
"Permisi, Pak, maaf saya mau tanya, di sebelah mana gerbong untuk kelas eksekutifnya?" tanya Dirga dengan sangat sopan.
Lia dan Abel yang berada di belakangnya pun turut tersenyum ramah kepada bapak itu.
"Untuk kelas eksekutif ada di bagian belakang," jawabnya seraya menunjuk gerbong paling belakang dari kereta tersebut.
Sehingga Dirga, Abel dan Lia langsung menuju ke gerbong bagian belakang. Sesampainya di depan gerbong itu, barulah ada petugas kereta yang berseragam, Dirga memastikan terlebih dahulu apakah gerbong yang akan mereka naiki itu benar untuk kelas eksekutif. Baru setelah petugasnya mengiyakan mereka masuk dan mencari bangku sesuai dengan nomor bangku masing-masing yang tertera pada tiket.
Kesan pertama Dirga ketika melihat interior keretanya, ternyata cukup bagus. Begitu duduk di bangku, juga terasa nyaman karena kursi penumpang bisa ditidurkan dan ada sandaran yang cukup nyaman bagi kaki. Selain itu terdapat colokan buat charger juga disetiap deretan kursi sehingga mereka tidak perlu merasa khawatir akan kehabisan baterai handphonenya ketika memainkan sepanjang perjalanan. Selain itu, ternyata kamar mandinya juga lumayan nyaman. Bersih dan tidak bau. Ada tempat untuk cuci muka dan cermin juga.
Rupanya, naik kereta api merupakan pengalaman pertama bagi Abel juga. Wajahnya tampak sumringah membayangkan bagaimana nanti akan mendapatkan pengalaman pertama yang indah bersama teman-temannya.
Sepanjang perjalanan, Abel benar-benar berharap semoga pengorbanannya tidak sia-sia. Dia hanya ingin bertatap muka dengan pria dewasa yang penuh kehangatan itu. Ingin mengetahui bagaimana kabarnya, dan semoga baik-baik saja seperti yang selalu ia doakan.
Mereka bertiga duduk bersebelahan. Terasa sangat nyaman sebab tidak terlalu padat penumpang, membuat Lia yang hobi tidur langsung terlelap dengan posisi menyandar pada bahu Abel.
Salah satu alasan Dirga memilih menggunakan kereta api dibandingkan pesawat yaitu karena ingin bisa lebih menikmati keindahan panorama sekitar dari balik jendela kereta.
Betapa membahagiakan-nya bisa menikmati hamparan sawah dengan landscape pegunungan dan juga rumah-rumah penduduk dengan berbagai adegan yang memberikan memori manis dalam ingatan.
"Gue kira lo nggak punya cowok," ujar Dirga membuka percakapan.
Abel tetap fokus pada handphone, lalu menjawab, "Ada, tapi LDR."
"Masih sekolah?" tanya cowok itu.
Abel menggeleng kecil. "Enggak, udah dewasa juga orangnya. Belakangan ini dia jarang kasih kabar," jawabnya.
"Lo pacaran sama om-om?" Dirga terus melempar pertanyaan yang membuat Abel ingin sekali menyumpal mulutnya.
"Biarin. Emang kenapa? Yang penting kan nyaman," ucapnya.
"Iya juga, sih."
Jawaban singkat yang mengutarakan betapa kecewanya Dirga atas ungkapan gadis yang ia sukai. Dia mengira, selama ini hati Abel tidak ada yang memiliki. Rupanya salah. Abel telah dimiliki.
Kemudian, keduanya saling bergeming. Menikmati dinginnya udara malam, perlahan terlelap, menjelajahi alam mimpi.
Bersambung …