"Nih, buat kamu." Dirga memberikan buket tersebut kepada Abel. "Ini mau ke sekolah, tapi mampir dulu buat lihat kondisi kamu," ucapnya.
"Makasih, Ga," sahut Abel saat menerima buket itu.
"Lia nggak masuk juga?" tanya Dirga setelah beralih memerhatikan cewek yang duduk di sofa.
"Gue berangkat deh. Lo 'nggak papa kan sendirian di sini sampai gue pulang sekolah?" ujarnya pada Abel.
"Nggaklah. Berangkat bareng Dirga aja," balas Abel seraya melempar senyuman kepada cowok di sampingnya itu.
"Iya, berangkat bareng aja, Li." Dirga menimpali.
"Tapi gue mesti ke kost-an dulu, ya kali seragam kotor begini gue pakai ke sekolah," ucapnya seraya memakai sepatu.
"Ya udah, dari sini gue antar lo ke kost-an dulu. Habis itu ke sekolah langsung," kata Dirga.
"Boleh, deh. Bel, gue tinggal dulu 'ya. Baik-baik lo di sini, jangan pergi," pesan Lia pada sahabatnya itu.
Lia berjalan terlebih dahulu, disusul Dirga setelah melempar senyum kepada Abel. Mereka berdua menuju kost-an menaiki motor gede Dirga. Jaraknya memang tidak begitu jauh untuk sampai di sana, sehingga dua remaja itu tidak sampai terlambat tiba di sekolah.
***
Jam pelajaran beberapa hari belakangan sangat tidak terkontrol, terlebih para guru mulai sibuk mempersiapkan soal ulangan kenaikan kelas untuk Senin depan.
Berhubung hari ini adalah hari Jum'at, sebagian murid sudah menduga bila akan dibubarkan lebih awal. Hal itu membuat Lia tersenyum samar mendengar obrolan teman-teman satu kelasnya. Pulang lebih awal, tandanya ia bisa segera menemani Abel di rumah sakit.
Jam pelajaran pertama seharusnya sudah dimulai sejak dua puluh menit lalu. Namun, sampai sekarang guru mata pelajarannya belum masuk kelas. Suasana ruang kelas XI mipa3 itu semakin ramai saja dengan canda tawa penghuninya, tapi tidak membuat seorang Dirga meninggalkan buku tebal yang selalu ia baca.
Lia mengamatinya dari kejauhan. Kemarin sore, cowok itu terlihat sangat berbeda dengan penampilan yang menarik. Entah apa yang membuatnya berpenampilan se-cupu itu ketika di sekolah? Yang pasti Lia semakin menyukainya setelah tahu kalau Dirga adalah cowok yang sangat tampan.
Dia sampai tersenyum-senyum sendirian dan tak menyadari kalau ternyata cowok yang sedang dalam pikirannya itu sudah duduk di sampingnya, di tempat duduk Abel. Satu sentuhan kecil pada bahu Lia, berhasil membuatnya tersadar.
"Ke kantin, yuk," ajak Dirga setelah tatapan mereka bertemu.
Tanpa menolak, Lia langsung berdiri dan merapikan rambut serta bajunya. "Yuk," jawabnya dengan senang hati.
"Et, tunggu … emangnya udah waktu istirahat?" tanya Lia saat baru beberapa langkah meninggalkan tempat duduknya.
Dirga terkekeh kecil, lalu menjentikkan jarinya pada kening gadis itu. "Makanya jangan banyak melamun. Kan jadi nggak dengar apa-apa," ujarnya.
"Ish, sakit tahu." Lia melirik Dirga dan memperlihatkan raut yang menekuk. "Ga, lo aneh deh …," ucapnya sambil melanjutkan langkah.
"Aneh kenapa?" sahut cowok itu yang mencoba menyeimbangkan langkah Lia.
"Kalau di rumah, emangnya lo berubah penampilan kayak sore itu, ya?" ujar Lia lagi tanpa disadari telah membuat cowok di sampingnya mengernyitkan sepasang alisnya.
Namun, Dirga hanya melempar senyuman tipis tanpa bermaksud menanggapi ucapan Lia. Langkah terus membawa kedua remaja itu hingga depan laboratorium. Keasyikan mengobrol membuat Dirga maupun Lia lupa tujuan, sampai akhirnya Dirga memberhentikan langkah begitu menyadarinya.
"Ngapain berhenti?" tegur Lia.
"Salah jalan lo. Harusnya belok sana," kata Dirga seraya menunjuk arah di mana kantin berada.
"Ya ampun, kok bisa?" omel gadis itu.
Lia lantas menarik tangan kanan Dirga, menuntunnya melewati lagi lorong kelas delapan yang berada di lantai dua dengan langkah cepat. Kemudian menuruni beberapa anak tangga hingga sampailah mereka di lantai dasar, tepat di antara Tempat Usaha (TU) dan area parkir, di situlah kantin berada.
Sesampainya di depan kantin, bangunan yang terdiri dari dua ruangan itu terlihat dipenuhi siswa kelaparan atau hanya sekedar nongkrong dan membeli minuman dingin saja. Lia mengedarkan pandangan demi mencari satu saja kursi yang kosong supaya dia bisa segera duduk. Sejak pagi belum terisi apa pun, membuat perutnya protes minta makanan.
Sedangkan Dirga terlihat santai dengan bersandar pada daun pintu yang terbuka lebar itu, memandangi lalu lalang para siswa yang masih mengantre untuk mengisi perut mereka.
"Lia, tumben sendiri, Abel ke mana?" tanya seorang cewek saat akan keluar kantin.
Tanpa ekspresi, Lia menjawab, "Abel nggak enak badan, hehe."
"Oh, moga cepat sembuh, deh. Gue duluan, Li," ucapnya dan berlalu.
"Ga, dari tadi lo diem aja," cetus Lia sambil menyenggol lengan Dirga menggunakan sikunya.
"Apa gue harus usir semua orang di kantin termasuk ibu kantinnya biar lo bisa masuk, terus duduk di bangku favorit lo dan ngebiarin lo ambil makanan di etalase sepuasnya?" ujar Dirga dengan sorot mata mengejek.
Seketika Lia membulatkan matanya dan bersiap melempari cowok itu dengan segala sumpah serapah karena telah membuatnya kesal.
"Ehehe, canda," imbuh cowok berkacamata itu sambil terkekeh, "ayolah masuk. Keburu jam istirahatnya habis," lanjutnya.
Kemudian mengayunkan kaki panjangnya menelusup masuk di antara murid yang sedang sibuk sendiri-sendiri. Lia turut serta, mengikuti langkah Dirga menuju lemari pendingin yang berada di sudut ruangan.
Dia mengambil dua botol air mineral dan memberikan salah satunya kepada Lia. Setelahnya mereka menuju mbak Mira, memesan dua mangkok bakso begitu mendapat kesempatan untuk memesan.
Tidak lama setelah berdiri di depan etalase penuh makanan, tiba saatnya Lia dan Dirga dipersilahkan memesan di mana mbak Mira si pengelola kantin siap mencatat.
"Mbak, baksonya satu pakai mi kuning aja, nggak usah dikasih seledri terus jangan pakai micin, ya," ucap Lia saat gilirannya memesan.
"Iya, kalau Dirga mau pesan apa?" Mbak Mira beralih pada Dirga begitu selesai mencatat porsi bakso Lia.
"Aku juga bakso deh, Mbak. Nggak pakai micin, trus banyakin daun seledrinya," jawab Dirga yang pasti diiringi tawa ramah.
"Iya. Tunggu sebentar, ya," sahut wanita yang ditaksir sang satpam sekolah itu dengan ramahnya, lalu beranjak untuk menyiapkan pesanan mereka berdua.
Selama menunggu baksonya jadi, sesekali Lia melirik Dirga sembari memutar-mutar botol minumnya. Sedari pagi, bunga-bunga indah bermekaran dalam hatinya. Berangkat sekolah dibonceng Dirga, dikasih air minum, dan memesan makanan bareng di kantin, adalah hal membahagiakan yang sebelumnya hanya sebuah impian.
"Coba aja Dirga nggak suka Abel, gue rela nembak dia duluan."
Akhirnya mbak Mira datang lagi dengan dua mangkok bakso di atas nampan. Dia menaruhnya di atas meja panjang di samping etalase, lalu mempersilahkan Dirga dan Lia membawanya ke meja yang kosong.
Tanpa berlama-lama keduanya mengangkat mangkok masing-masing. Berjalan pelan ke sudut kantin karena ada satu meja kosong di sana. Waktu istirahat tinggal tujuh menit lagi, mau tidak mau yang baru saja mendapat makanan harus memakannya dengan terburu-buru. Lia bahkan tidak sempat meracik baksonya dengan kecap dan saus serta sambal sesuai selera.
Begitu juga dengan Dirga yang membiarkan baksonya berkuah bening saja.
"Ga, nggak pakai kecap?" tanya Lia saat di sela-sela makannya.
"Nggak suka," jawab Dirga singkat tanpa menoleh.
"Kenapa kayak Abel, ya? Dia juga nggak suka makan bakso dengan bumbu pelengkapnya," batin Lia merasa bersedih.
Bersambung ...