"Dia di lantai tiga, udah sadar kata dokter. Tadinya aku mau naik, tapi liftnya lagi rusak nih kayaknya." Lia menunjuk lift di sampingnya.
"Ya udah lewat tangga aja, yuk!" ajak Dirga tampak tidak bersabar.
Tanpa keberatan sedikitpun, Lia mengiyakan ajakan Dirga. Dua remaja itu berlari menapaki satu per satu anak tangga menuju lantai tiga. Kejadian tadi memang sangat tidak diduga-duga, meskipun masih terasa pegal sekaligus perih pada tangannya, tapi Lia tak mengeluhkan itu.
Langkah gadis yang diam-diam menaruh rasa pada Dirga tiba-tiba terhenti, tepat di depannya dia melihat cowok yang ditaksir itu sangat panik karena Abel. Lia belum pernah jatuh cinta sebelumnya, tapi untuk pertama kali cinta yang tumbuh dalam hati malah menyakiti. Ya, dia cemburu, dan cemburu itu menyakitkan.
Dirga bahkan tidak menyempatkan waktu sedikitpun untuk menanyakan kondisinya. Semua perhatian hanya memang tertuju kepada sahabatnya, Clarissa Annabelle.
Berdiri di ujung tangga sebelum memasuki area lorong lantai tiga rumah sakit, sepasang bola mata hitam yang sedikit berkaca-kaca itu masih fokus pada langkah cepat Dirga. Kini, cowok itu sudah menyentuh gagang pintu kamar Seruni nomor 17, tanpa ragu ia membuka pintu bercat putih dengan kaca panjang kecil di bagian atasnya.
"Bel, Abel …." Terdengar sangat mesra nama itu Dirga ucapkan.
Begitu pintu tertutup, Lia sudah tidak mendengar dan melihat lagi apa yang diucapkan, juga bagaimana Dirga memperlakukan Abel di dalam sana. Dia terduduk lemah di tangga itu, memejamkan kelopak mata yang sedikit bengkak karena luka di pipi. Perih, tapi tak seperih hatinya.
"Udahlah, kamu yang salah kok, tahu sendiri Dirga sukanya sama Abel. Ngapain kamu malah suka sama dia? Begini 'kan resikonya, kecewa sendiri," batin Lia menyalahkan perasaannya.
Kemudian, dia berdiri, lalu mengayunkan langkah hendak masuk kamar rawat sahabatnya. Sebelum membuka pintu, Lia menyempatkan sedikit waktu untuk melihat tawa bahagia Abel. Dia tidak tahu apa yang sudah Dirga lakukan sehingga membuat Abel sebahagia itu, tapi ia juga senang, dan berharap semoga Abel mau melupakan cintanya untuk Dani.
Ceklek!
Lirih pintu yang terbuka berbunyi, membuat Dirga dan Abel menunda tawa mereka. Keduanya menoleh dan menyambut hangat kedatangan Lia yang kini tersenyum tipis kepada sahabatnya itu.
"Abel, gimana keadaan lo?" tanya Lia setelah duduk di samping brankar.
"Gue baikan, Li. Ya ampun luka lo kayaknya lebih parah deh," sahut Abel dengan mata berkaca-kaca setelah melihat sebelah pipi Lia yang terbalut perban.
"Nggak, kok, gue justru khawatir sama lo. Habisnya tadi pingsan, lama lagi." Lia menggenggam tangan Abel.
"Maafin gue ya, Li. Gara-gara gue maksa mau cari keberadaan Dani, kita jadi kecelakaan dan bikin lo kayak gini," kata Abel merasa sangat bersalah.
Seulas senyum Lia suguhkan kepada Abel, bola matanya menelusuri seluruh tubuh sahabatnya itu, terlihat tidak ada luka serius yang terlihat.
"Li, tas gue di mana?" tanya Abel, "gue mau telepon papa," lanjutnya.
"T-tas? Ya ampun, Bel … gue lupa nggak simpan tas lo. Gimana dong?" Panik kembali menyelimuti wajah gadis itu.
"Yah … tadi kita ke sini bareng siapa?" Abel kembali bertanya, dia mencoba bangun dari posisi rebahan dan Dirga membantu supaya bisa duduk dengan baik.
"Sa-sama … sama … sama orang yang nggak gue kenal, Bel. Iya, tadi kita ditolong sama sepasang suami-istri," jelasnya berbohong.
"Aduh, kenapa malah bohong, sih? Kenapa nggak bilang yang sebenarnya aja biar Abel nggak nyariin Dani lagi? Ish … tapi kasihan Abel, dia pasti bakalan syok," ucap Lia dalam hatinya.
Melihat raut wajah menekuk Lia, Abel pun mengerutkan keningnya, dia beradu pandang dengan Dirga yang juga penasaran mengapa Lia melamun seperti itu.
"Lia?" Dirga mengejutkannya.
Ia mengerjap. "Kayaknya tas lo ketinggalan di tempat kejadian, deh. Gue panik banget trus nggak inget sama sekali sama keberadaan tas elo, Bel," jelas Lia.
Dirga yang sedari tadi hanya mendengar percakapan dua teman satu kelasnya, kini berdehem pelan guna mendapat perhatian. Benar saja, Abel dan Lia menatap cowok itu bersamaan.
"Gue cariin, ya?" tanya Dirga menawarkan bantuan.
"Emangnya nggak papa?" lirih Abel.
"Nggaklah, di mana kalian kecelakaan?" Dia bertanya lagi.
"Basement hotel Aurora, Ga. Thanks banget, ya …."
Senyuman Abel selalu membuat Dirga kikuk. Dia pun membalas senyum itu, senyum dari gadis cantik idaman hatinya.
"Moga aja ketemu, ya udah gue berangkat sekarang deh, keburu malam," ucap Dirga seraya beranjak dari tempat duduk.
"Hati-hati, Ga," kata Lia.
"Oke, Li. Jagain Abel," sahutnya lalu melangkah ke luar.
***
Selepas kepergian Dirga, Abel kembali memandang wajah Lia. Rasa bersalah itu kembali menyelimuti hatinya, Lia terluka karena keegoisannya, membuat wajah mulus gadis itu tergores.
"Jangan melamun," tegur Lia. Tangannya masih bergerak pelan mengusap lembut punggung tangan Abel.
"Enggak, eumm … boleh pinjam handphone lo? Gue mau telepon papa," lirihnya.
Anggukan kecil Lia menandakan ia setuju. Tangan gadis itu beralih meraih tas di atas nakas, mengambil gawai pintar berwarna hitam kesayangannya. Tanpa merasa keberatan ia berikan kepada Abel.
Seharusnya papa dan mama sudah ada waktu untuk menjawab panggilan mengingat hari sudah mulai petang. Namun, seperti yang sudah ia duga, tidak satu pun dari mereka menjawabnya.
Abel menunduk dalam, sudah lama ia kehilangan perhatian dan kasih sayang dari mereka. Semenjak papa sering berbohong kepada mama, kebahagiaannya mulai terenggut. Kehidupannya berubah, seperti pelangi yang tiba-tiba lenyap diterpa awan hitam.
Ekspresi wajah gadis itu cukup membuat Lia semakin merasa iba. Dia yang paling mengerti sahabatnya, kesepian sebab kedua orang tuanya berpisah, dan sekarang kekasihnya pergi menikah dengan perempuan lain. Apa belum cukup Tuhan kengujinya? Entahlah.
Hening menyelimuti ruangan rumah sakit itu, terlebih lagi kedua brankar di sekitarnya tidak ada penghuni. Kali ini Lia bingung mencari topik obrolan, sampai ia hanya menatap wajah Abel yang masih berhias kesedihan.
Drrtt!
Drrrttt!
Getar sekaligus dering gawai itu mengejutkan keduanya, panggilan dari nomor yang tak asing bagi Abel membuat sudut bibirnya sedikit naik. Dia segera menjawab panggilan itu, dan terdengarlah suara seorang wanita yang sangat ia rindu.
"Halo, siapa ini?" sapanya dari seberang telepon.
"M-mama? Ini Abel," sahut Abel tersenyum kecut.
Terdengar keributan dari seberang panggilan, tampaknya wanita yang ia panggil mama itu tengah sibuk. Beberapa saat sapaannya bahkan terabaikan.
Hingga akhirnya Abel memutuskan untuk mengakhiri panggilan itu, meski tujuannya belum terlaksanakan. Mama sedang tidak peduli padanya Wait … bukankah itu hal yang biasa?.
Lia. Dalam keadaan seperti itu, Lia-lah yang merasa paling tidak enak hati. Dia dengar sendiri keributan dari seberang panggilan karena mungkin volume handphonenya disetel cukup keras. Ingin bertanya, khawatir semakin melukai perasaan Abel, jika diam saja … mungkin Abel merasa sudah tidak dipedulikan oleh siapapun lagi.
Hampir saja gadis itu menjambak rambutnya sendiri demi meluapkan rasa aneh dalam dadanya. Rasa yang sedari dulu ingin ia hilangkan, perasaan yang selalu membuatnya mengalah pada siapapun.
"Mungkin papa masih mau mendengar kabarku yang sedang tidak baik ini," batin Abel.
Tut … Tut …
Bersambung …