Chereads / Imperfect Boyfriend / Chapter 9 - Hanya Sebatas Mengagumi

Chapter 9 - Hanya Sebatas Mengagumi

Mengetahui tak akan ada respon dari papanya, Abel memilih mengembalikan handphone itu pada Lia. Demi menyembunyikan rasa kecewa akan ketidakpedulian kedua orang tuanya, gadis itu pun mencoba mencari topik pembicaraan. Meskipun begitu Lia tetap merasakan kesedihan sang sahabat. Bagaimanapun, ia pernah berada di posisi Abel, ketika orang tuanya di ujung tanduk menuju perpisahan. 

"Bel, Dirga cakep juga ya kalau penampilannya kayak tadi," kata Lia demi mengalihkan kesedihan Abel. 

"Lumayan tuh, gih jadiin gebetan lo aja," sahutnya, lalu terkekeh. 

"Lo tuh harusnya peka, Bel, selama ini Dirga cuman suka sama lo." Lia menimpali. 

Lia akhirnya menatap lekat-lekat bola mata kecoklatan milik Abel, sejuta luka ia rasakan saat membicarakan tentang  Dirga. Perasaan yang selama ini terpendam, sepertinya akan selamanya begitu. Lia sangat menghargai persahabatan antara dirinya dan Abel, demi itu dia mengabaikan rasa sukanya terhadap Dirga. 

Lagi pula, Abel adalah gadis yang sangat Dirga inginkan, bukan dirinya. Sepertinya dengan menyatukan Abel dan Dirga akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi Lia, dengan cara seperti itu dia bisa melihat Dirga bahagia--sekaligus kesedihan Abel sedikit terobati karena Dirga bisa menghiburnya.

"Moga aja, secepatnya gue bisa bikin kalian berdua terikat sebuah hubungan," batin Lia. Senyumnya mengembang ketika melihat binar mata Abel.

"Tapi cinta gue cuman buat Dhani. Gimana kalau handphone gue nggak ketemu, ya? Dhani nggak bisa hubungin gue," ucapnya tanpa semangat sedikitpun. 

Lia menarik dalam-dalam napasnya, lalu menghela secara perlahan. "Lupain aja dia, lagipula Dhani mau nikah," kata Lia yang setelahnya membuang muka. 

"Li, apa lo bilang?" tanya Abel mengintimidasinya. 

"Dhani mau nikah," jawab Lia mengulangi. 

Abel terkekeh kecil, menganggap ucapan Lia hanya candaan. Lagipula selama ini Lia tidak pernah setuju jika ia berhubungan dengan Dani. Abel merasa kesal karena kali ini ucapan sahabatnya sudah keterlaluan. 

"Lo nggak akan percaya sama ucapan gue, tapi habis ini lo coba hubungin Dhani yang pastinya nggak akan ngerespon lo lagi," lanjut Lia. 

"Gue tau lo nggak suka sama Dhani karena dia pernah kecewain gue, gue juga tahu lo nggak suka kalo gue masih pacaran sama cowok yang seharusnya lebih pantas jadi om gue … tapi lo nggak boleh kayak gini. Lo nggak boleh fitnah Dhani supaya gue benci sama dia, gu …." 

"Gue cuma mau lo tahu  kalau waktu kita kecelakaan, Dhani yang nolongin kita. Dia jalan satu mobil sama perempuan, dan perempuan itu bilang mereka bakal ke hotel mau ketemu sama fotografer buat bikin foto prewed. Waktu itu lo pingsan, jadi nggak ngelihat dan nggak denger bagaimana mesranya mereka dan saling memanggil sayang. Terserah mau percaya atau 'nggak, gue cuma … nggak mau lo kecewa lagi untuk kesekian kalinya, Bel," jelas Lia. Darah terasa lebih cepat mengaliri tubuhnya, dia larut dalam emosi, tapi cepat-cepat mengesampingkan ego dengan memelankan suaranya. 

Mendengar pengakuan Lia tentang kekasihnya, Abel justru tertawa. Namun, luka dalam hati tak dapat ia sembunyikan mengingat kedua bola mata itu kini berkaca-kaca. Seakan tidak ingin mempercayai sang sahabat, Abel justru menertawai seorang gadis yang selama ini sudah menjadi teman keluh-kesahnya. 

"Gue haus, Li … mau bantu beliin minum?" pinta Abel. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan yang jelas menyakiti hatinya. 

"Oke." Tanpa berpikir lama, Lia langsung mengangguk mengiyakan. "Gue pesan online aja ya, Bel, kaki gue masih sakit buat jalan soalnya." Lia terlihat membuka aplikasi pemesan makanan dari alat pintar berbentuk pipih tersebut. 

Gadis itu mengangguk kecil, perkataan Lia terus terngiang-ngiang dalam ingatannya. Mungkinkah semua itu benar? Abel berusaha membuang bayangan buruk tentang hubungannya dengan pria itu, semua akan baik-baik saja. 

***

Detik-detik pada jam handphone Lia terus berubah, dia menatap seraya terus mencemaskan Dirga. Hampir satu jam cowok itu pergi, bahkan makanan yang Lia pesan untuk Dirga  sudah dingin tak terjamah.

Lia beralih menatap brankar panjang yang hanya bisa ditiduri satu orang itu, sahabatnya terlelap setelah mengisi perut dengan sekotak nasi Padang. Apa lagi suster juga mengantarkan obat untuknya beberapa menit lalu sehingga Abel pasti dapat tidur dengan pulas  setelah mengkonsumsi obat-obat tersebut. 

Cklek!

Pintu yang terletak di sisi Lia duduk, terbuka. 

Sosok cowok yang ia nantikan akhirnya datang. Dia menggenggam erat tas hitam berhias gantungan kunci berbentuk bintang berwarna silver, kecil nan menggemaskan. 

"Li," panggil Dirga setelah melihat cewek yang disukainya tengah berada di alam mimpi. Lia menyambutnya dengan seulas senyum seraya mengikuti tubuh tinggi cowok itu bergerak. 

Dia melangkah pelan menuju kursi kosong di sisi lain yang Lia tempati, lalu menaruh tas Abel ke atas nakas. 

"Lama banget, Ga?" tanya Lia. 

"Tadi ketemu kakak di basement hotel. Gue sempetin ngobrol bentar karena lama nggak jumpa, tahu-tahu dia mau nikah aja," jawabnya terkekeh kecil. 

"Kakak lo cewek atau cowok?" Lia melempar sebuah pertanyaan lagi. Bahagia sekali rasanya meskipun sekedar percakapan biasa. 

Dirga bersandar sejenak pada punggung kursi. Kemudian, duduk tegak demi menatap lekat-lekat wajah cantik yang berbaring dengan kelopak mata terpejam di hadapannya. Jantung Lia kembali berdenyut aneh saat melihat binar mata cowok itu, tulus penuh cinta untuk Abel, sahabatnya. 

"Kakak gue cewek. Dia tinggal di luar kota karena pekerjaannya." Dirga menjawab seadanya, tanpa mengalihkan pandangan dari Abel. 

"Kayak percuma nggak, sih, gue coba cari topik obrolan ke lo? Fokus lo tetep aja ke Abel yang bahkan lagi tidur," batin Lia. 

Dia ingin diam, setelah menyadari betapa tak dianggapnya dia di depan Dirga. Namun, ruangan luas juga dingin itu terasa semakin dingin saat semuanya terdiam. Akhirnya perasaan aneh yang Lia miliki pun muncul. Lagi-lagi gadis itu bertanya, mengajak Dirga mengobrol, meskipun jawaban seadanya yang ia terima. 

"Lo udah makan?" Satu perhatian untuk cowok itu dan lagi, hanya dibalas dengan gelengan kepala. 

"Tadi gue pesan makanan, niatnya sekalian buat lo tapi lo lama perginya," ujar Lia. 

Kali ini Dirga mengangkat wajah dan menatap Lia yang sedari tadi tak sedetik pun memalingkan muka demi melihat setiap inci wajah tampan di depannya. Satu sisi bibirnya terangkat, terlihat sangat tampan di mata Lia ketika cowok itu tersenyum miring, si gadis salah tingkah dibuatnya. 

"Makasih, Li, trus makanannya mana sekarang?" sahut Dirga. Suara itu bahkan menggema indah di telinga Lia hingga menembus hatinya. 

Tangan kanan Lia menunjuk nakas, dibarengi lirikan kedua bola mata hitamnya. "Itu, udah dingin. Gue pesenin lagi aja, ya?" ujarnya. 

"Oh, nggak usah, ini aja gue makan." Dirga beranjak dari tempat duduknya, hanya beberapa langkah dan langsung meraih kotak makanan  yang masih tersimpan rapi dalam plastik putih. 

Next …