Cowok itu memang tidak menyadari tatapan Lia, tapi sesegera mungkin ia harus menghentikan rasa di waktu yang salah dalam hatinya.
"Lo nggak makan?" tanya Dirga tiba-tiba dan seketika membuat Lia menahan napas, demi bisa menjawabnya tanpa suara gugup.
"Udah." Singkat, tentu saja. Lia pun heran mengapa bisa segugup itu.
Selagi Dirga menghabiskan makanannya, Lia mengalihkan fokus pada sebuah gawai yang diambilnya dari saku seragam. Meskipun sesekali ia curi-curi pandang, tetap saja tak ingin melewatkan kesempatan saat bisa melihat orang yang dikaguminya sedekat itu.
Ddrtt ~
Drrrtt ~
Getaran handphone langsung membuat Dirga menoleh, diraihnya handphone warna silver itu dari tepi brankar karena tadi ia sempat menaruhnya di sana. Ternyata, kakaknya lah yang menelepon.
"Ya, Kak?"
Lia menggunakan indera pendengarannya untuk mengetahui percakapan apa antara Dirga dengan seseorang di seberang telepon.
"Bisa kok, Kakak tunggu sebentar di sana. Aku otw habis ini."
"Oke Kak."
Handphone itu kembali disimpan, tapi kali ini ia memasukkannya ke dalam saku celana. Dirga juga menaruh makanan yang hanya tinggal beberapa suap lagi ke atas nakas.
Lia melihat gelagat cowok yang dahulu menjadi kakak kelasnya itu, tampak terburu-buru. Bahkan saat sedang menenggak air mineral dari dalam botol yang telah Lia sediakan untuknya.
"Uhuk! Uhuk!" Suara batuknya terdengar sangat menyiksa, terlebih lagi sebagian wajahnya basah karena terkena air minum yang tidak tertelan secara sempurna.
"Ya ampun, Ga. Ih … makanya hati-hati kalau minum," tegur Lia sembari mencari tisu dari dalam tasnya, "kenapa sih buru-buru banget?" tanyanya kemudian.
Dirga membiarkan gadis itu mengusap dagu serta leher dan tangannya yang basah. Kejadian singkat yang akan menjadi kenangan indah bagi Lia karena bisa menyentuhnya. Degup jantung yang baru saja tenang, kembali diporakporandakan dengan kepasrahan cowok di hadapannya.
"Udah, Li, makasih ya. Aku keluar sebentar, tolong jagain Abel buatku. Bye, Lia." Kata-katanya mampu menghempaskan Lia yang sudah terlanjur terbang tinggi bersama angannya.
Tubuh kurus Lia berputar pelan, mengikuti gerak langkah Dirga yang berlari kecil meninggalkannya. Dia meremat pelan tisu agak basah itu sembari menahan rasa panas yang menjalar di tubuhnya.
Cklek!
Lengkungan bibirnya selesai di sana, ketika Dirga menghilang di balik pintu.
"Dih, yang lagi jatuh cinta," lirih seseorang mengejutkan gadis itu.
Seketika bola mata Lia membulat sempurna begitu menyadari Abel sudah bangun. "Bel, udah lama lo bangun?" tanyanya setelah menelan kasar saliva.
"Nggak tuh, barusan aja. Terus lihat adegan sweet banget ngalahin perlakuan romantis di drama korea." Abel terkesan meledek.
Membuat wajah Lia semakin memanas dan tidak tahan lagi ingin melenyapkan diri dari dunia nyatanya.
"Lo beneran suka sama Dirga, ya?" tanya Abel sambil berusaha duduk.
Lia yang masih mengontrol perasaannya itu hanya menatap malas Abel meskipun sahabatnya berharap dibantu bangun dari rebahan. Namun, Lia memilih beranjak menuju kotak sampah yang berada di sudut kamar.
"Kalau suka bilang aja, lo tahu sendiri gimana sakitnya Seo-Jun waktu pendam perasaannya ke Ju-Kyung. Sumpah ya, gue belum bisa move on dari drakor satu itu. Terasa sampai ke ulu hati sakitnya," celoteh Abel hingga membuat napas Lia tercekat di ujung tenggorokan.
Sebelum berbalik dan menatap Abel, Lia berusaha menahan bendungan air bening yang hampir menganak sungai. Pipinya terasa semakin panas, panas dan panas hingga membuat hidung mungil gadis itu semerah tomat.
"Kayak rasa suka gue ke Dhani, Li. Ya, lo tahu sendiri gimana dulu gue berusaha dapetin info tentang dia. Stalking sana-sini biar perasaan gue tersampaikan ke dia." Abel tersenyum tipis, menatap punggung sahabatnya dengan kepala menunduk.
"Nggak bakal, gue cuman sedikit peduli aja ke Dirga. Soalnya 'kan dia suka baik ke kita, suka minjemin tugasnya biar kita nggak kena hukuman guru. Lagian Dirga terlalu polos buat gue yang bar-bar gini, haha …," kata Lia yang diiringi tawa lepas.
Percakapan dua gadis itu tengah diperhatikan oleh seseorang dari balik kaca persegi panjang yang menempel di pintu. Diam-diam Dhani berdiri di sana, berharap Lia ke luar sehingga ia bisa masuk untuk menemui kekasihnya.
Pria itu cemas setelah tadi kepergok Lia sedang bersama wanita lain. Namun, lebih cemas lagi ketika melihat gadis yang dicintainya berada di atas brankar rumah sakit dengan selang infus di tangannya.
***
Beberapa waktu lalu setelah pemotretan selesai ~
Dhani membujuk calon istrinya untuk pulang sendiri ke hotel. Segala jurus kebohongan sudah dikatakan pria itu supaya wanitanya percaya, hanya demi bisa menemui Abel meskipun sebentar.
Hingga akhirnya dia nekat masuk walaupun nantinya Lia mengungkapkan semua yang ia lihat saat kecelakaan itu di depan Abel. Dhani siap dengan semua kemungkinan, termasuk Abel meminta putus dan memintanya pergi.
Cklek~
Wajah Dhani mengintip saat pintu itu sedikit terbuka. "Sayang?" ucapnya lembut.
Seketika membuat gadis yang dipanggilnya menoleh. Kedua sudut bibir merah alami itu melengkung sempurna menyambut kehadiran sosok pria yang sangat-sangat didambakan.
"Sayang, kamu datang?" sambutnya dengan wajah sumringah.
Sambutan hangat dari sang kekasih membuat Dhani percaya diri untuk masuk, meskipun di sudut kamar sana ada sepasang mata yang menatapnya sinis.
Dia melangkah tegap hingga akhirnya mendapat kesempatan memeluk Abel penuh kerinduan. "Kamu nggak papa?" tanya Dhani.
Dibalas gelengan kecil Abel. " Aku cuma kaget, malahan Lia yang terluka," jawabnya. Kemudian menoleh dan menatap Lia yang masih memasang raut kesal.
"Syukurlah. Lia, makasih ya sudah tolongin Abel," ucapnya seraya tersenyum tipis.
Pelukan dua insan saling mencintai itu terlepas. Dhani duduk di kursi dan menggenggam erat tangan kiri kekasihnya, sambil sesekali mengecupi punggung tangan putih mulus itu penuh kasih.
"Lia, ngapain di situ terus?" tegur Abel. Ia mengisyaratkan supaya Abel pergi dengan mengedipkan mata.
"Gue tunggu di luar, ya," sahutnya.
Setelah mengambil tas dari atas kursi, Lia langsung beranjak pergi. "Lihatin orang mesraan begitu, bisa-bisa rusak mental gue," gumamnya saat membuka pintu.
Perginya Lia dari ruang rawat itu, membuat Dhani memiliki kesempatan besar untuk menikmati waktu-waktu terakhirnya berada di Jakarta bersama Abel. Lusa, ia sudah kembali ke Bandung dan segera melepas status lajangnya bersama wanita yang telah dipilih menjadi pelabuhan terakhir.
Ada sesuatu di dalam rongga dadanya yang begitu tersiksa saat ini. Dia harus menikah dengan wanita lain, di saat cintanya hanya untuk gadis itu. Namun, keadaan memaksa untuk melakukan itu semua. Kini Dhani tengah dirundung kepedihan lantaran harus mengakhiri hubungannya dengan Abel.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Abel lirih saat menyadarkan Dhani yang sedang mengecup lama punggung tangannya.
Dhani pun mengangkat wajah. "Aku kangen kamu," ucapnya dengan wajah memanas.
"Aku pulang aja habis ini, biar kita bisa bareng lagi di hotel," kata gadis itu tersenyum senang.
Namun dibalas gelengan kecil Dhani. Ia menatap lekat-lekat wajah ayu kekasihnya dan berkata, "Disini saja dulu. Tunggu sampai kamu pulih baru pulang, ya." Kemudian mengusap lembut kening Abel, menarik pelan anak rambut yang menutup sebelah matanya hingga terselip rapi di balik telinga.
Next ...