Chereads / Imperfect Boyfriend / Chapter 7 - Kabar Tak Baik

Chapter 7 - Kabar Tak Baik

"Saya, Dhani," jawabnya lirih. Dhani terlihat gugup hingga sengaja menghindari tatapan dengan Lia. 

"Kalau Tante?" tanya Lia lagi, kali ini menoleh pada wanita di sampingnya. 

"Saya Rindu, calon istri Mas Dhani." Jawaban wanita itu sungguh membuat napas Lia tercekat. 

"Calon istri?" Lia bertanya-tanya dalam hati, "Why, Dhani? Kamu terus menyakiti Abel?" lanjutnya bergumam membatin. 

Dhani menatap Lia dari spion di depannya, pria itu terlihat menelan kasar saliva, juga ketahuan beberapa kali menutup-buka mata. Mungkin dia semakin panik karena kebohongannya kembali diketahui Lia. 

"Senangnya yang mau menikah. Ummm, makasih ya udah nolongin kita. Kalau nggak ada Om sama Tante aku nggak tahu harus gimana buat menyelamatkan Abel," ujar Lia. Ia sengaja mengeraskan suara agar Dhani semakin panik.

"Jangan panggil Tante, dong. Aku masih dua puluh tahun, tahu?" tukas Rindu seraya terkekeh. 

"Selain suka nyakitin cewek, Pria hidung belang itu kayak pedofil juga rupanya. Cih. Sukanya yang masih muda,"  umpat Lia merasa jijik. 

Mobil telah berhenti di depan salah satu  rumah sakit swasta Jakarta. Tanpa banyak kata, Dhani langsung turun dan membopong Abel. Dia juga meminta tolong kepada satpam yang tengah berjaga di depan pintu masuk supaya mengambilkan brankar, sedangkan Lia dirangkul oleh Rindu, berjalan pelan memasuki rumah sakit. 

Abel dilarikan ke IGD, begitu pula dengan Lia. Selagi keduanya melakukan pengobatan, Dhani dan Rindu menunggu di depan ruangan tersebut. 

Rindu memperhatikan gerak-gerik calon suaminya, dia terus berjalan kesana-kemari, terlihat sangat panik karena tatapan mata pria itu terus mengarah ke pintu kac buram ruang IGD. 

"Sayang, duduk aja kenapa, sih?" suruhnya. Rindu mulai mencurigai calon suaminya. 

Meskipun dengan perasaan kalut, Dhani mencoba menenangkan diri demi membuat sang calon istri tidak curiga padanya lagi. Mereka duduk berdampingan, Rindu pun menyandarkan kepala pada lengan kekar Dhani sambil memejamkan kelopak matanya. 

Dua puluh menit berlalu, Lia keluar dari ruang IGD. Lukanya telah dibalut dan dia tersenyum tipis pada sepasang calon suami istri itu. Perlahan langkahnya mendekat, lalu duduk di samping Rindu yang rupanya tidak sadar jika Lia sudah selesai diperiksa. 

"Kamu baik-baik aja?" tanya Dhani. 

Raut wajah pria itu sedikit pucat. "Abel gimana?" tanyanya lagi. 

"Padahal Abel bela-belain balik ke hotel tadi buat mastiin kamu kembali ke sana apa enggak. Maksud kamu apa sih, kenapa terus ngasih harapan ke Abel kal _" 

"Dani," lirih Rindu, "Lia … bagaimana keadaan kamu?" tanya wanita itu. 

Seketika Lia bungkam, Dhani juga melempar senyum kecut kepada calon istrinya itu. Rindu rupanya terlelap, meski sebentar tetapi bisa mengusir rasa kantuk karena perjalanan antar kota semalaman. 

"Aku baik-baik aja, Tante. Makasih udah antar aku sama temanku ke sini. Ummm … bukannya kalian ada kegiatan? Kalau mau pulang duluan silahkan," kata Lia penuh santun. 

"Syukurlah. Memangnya kalau kita pulang, kamu bisa jagain temanmu sendiri? Kebetulan kita harus ketemu sama fotografer, sih, mau ada pemotretan buat pre wedding," jelas Rindu. 

Penuturan Rindu membuat Lia semakin terkejut. Laki-laki macam apa Dhani itu, sampai sempat-sempatnya mengumbar janji sama  Abel padahal pernikahannya sudah di depan mata. Dhani yang sudah tertangkap basah oleh Lia hanya bisa menunduk dalam, menarik napas dan menghembuskannya pelan mencoba menenangkan gemuruh dalam dadanya. 

"Aku bisa kok, Tan. Sekali lagi makasih, ya. Semoga lancar sampai hari pernikahan kalian," ucap Lia dengan tulus. 

"Sayang, ayo, kita harus cepat-cepat ke hotel buat ketemu sama fotografer kamu." Rindu beranjak, disusul Dani yang kemudian tangannya dipeluk erat oleh wanita itu. 

"Mari, Lia … cepat sembuh," ujar Rindu sebelum berlalu. 

Lia mengangguk dalam sebagai tanda terima kasihnya. Kemudian, mereka berdua pergi. Napas berhembus panjang dari bibir gadis itu, terbayang bagaimana kecewanya Abel saat nanti dia sadar dan mengetahui kebenaran jika pria yang sangat dicintai itu akan menikah. 

Lalu lalang pengunjung rumah sakit, juga dokter serta perawat sibuk dengan urusan masing-masing. Kursi panjang yang terletak di tepi dinding hanya diduduki Lia seorang, dia berpikir kiranya pada siapa akan meminta bantuan? Gadis itu tidak dekat dengan orang tua Abel, sampai akhirnya terlintas nama Dirga dalam pikirannya. 

Cowok itu pasti dengan senang hati membantunya, terlebih lagi bila diberi tahu kalau Abel baru saja kecelakaan. Cepat-cepat Lia mengambil handphone dari dalam tas, lalu mencari kontak nomor teman sekelasnya itu. 

Awalnya, Lia akan menelepon, tapi pipinya terasa nyeri saat bibirnya digerakkan sehingga hanya pesan singkat saja yang ia kirim pada Dirga. "Ga, gue butuh bantuan. Bisa ke rumah sakit Cahaya Bunda sekarang?"  Begitu isi pesan dari Lia. 

Sedetik kemudian, pesan singkat di salah satu aplikasi chatting itu terlihat check list dua, dari yang awalnya berwarna abu-abu lalu berubah jadi warna biru. Lia senang, Dirga selalu fast respon sehingga ia tak perlu berlama-lama menunggu. 

"Siapa yang sakit, Li?" Balasan dari Dirga telah Lia baca. 

"Gue sama Abel kecelakaan, Abelnya malah belum sadarkan diri." Seketika balasan dari Lia langsung terbaca oleh Dirga. 

Dirga typing …

Lia masih memantau. 

"Tunggu bentar. Gue berangkat ke sana."  

"Oke, buruan." 

Seulas senyum di sudut bibir Lia, bersyukur sekali ada Dirga yang selalu siap membantu dalam keadaan apapun. Meskipun baru saling mengenal sejak masuk SMA. 

Terkadang Lia merasa kasihan, kebaikan cowok itu begitu tulus untuk Abel. Namun, Abel sama sekali tidak mau menganggapnya lebih dari teman satu kelas. Malahan beberapa bulan ini Lia merasakan ada perasaan aneh yang bersarang dalam hatinya pada Dirga. Entah itu rasa suka atau hanya kasihan, kasihan karena cinta Dirga hanya bertepuk sebelah tangan. 

Gadis itu larut dalam lamunannya, sampai akhirnya tersadar ketika dua suster baru saja keluar dari ruang IGD, disusul dokter laki-laki yang tadi menangani mereka berdua. 

"Dokter, gimana keadaan temanku?" Buru-buru Lia menanyakan itu. 

Dokter tersenyum lebar. "Teman kamu baik-baik saja. Tadi benturan di kepalanya cukup keras jadi membuatnya terkejut hingga pingsan," jelas dokter. 

"Syukurlah. Ummm … aku boleh lihat ke dalam, Dokter?" tanya Lia. 

"Boleh, tapi dia sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kamar Seruni nomor 17 di lantai tiga," kata dokter, "kalau begitu saya permisi," lanjutnya. 

"Oh, iya, Dokter. Terima kasih." Lia mengangguk hormat. 

Dokter itu lantas pergi. Lia pun segera mencari kamar di mana Abel dirawat. Dia mencari lift di sekitar, tapi tampaknya lift itu sedang dalam perbaikan. Ingin naik tangga pun sepertinya tidak mungkin, Lia masih belum kuat bila harus menaiki tangga sampai lantai tiga. 

Dia bersandar di depan lift yang tidak aktif itu, menunggu sebentar barangkali ada seseorang lewat untuk dimintai bantuan. Kebetulan sekali Dirga datang, terlihat tubuh gagahnya berlarian memasuki aula rumah sakit. Terlihat tampan sekali dia sore itu, tanpa kacamata bulat dan gaya rambut yang acak membuat Lia hampir saja tidak mengenalinya. 

"Li, gimana Abel?" Pertanyaan itu membuat Lia berkedip dari keterpukauannya terhadap Dirga. 

Next ….