"Clarissa Annabelle, silahkan keluar dari kelas saya sekarang!" kata pak Willi menekankan. Suara berat khas lelaki dewasa itu sungguh mengejutkan Abel hingga perlahan mengangkat wajahnya.
"Pak, maaf …," lirih Abel seraya mengatupkan kedua tangan. Dia sangat panik dan hanya bisa meringis merasakan detak jantung yang kian meningkat.
Namun, bagi Abel teguran-teguran dari para guru kepadanya sudah menjadi hal biasa. Dia sudah terlalu sering mendapat hukuman karena ketidakseriusannya dalam belajar. Terkadang guru-gurunya hanya menyuruh Abel berdiri di depan kelas atau memberikan soal untuk dikerjakan di papan tulis, tapi tidak jika gurunya adalah pak Willi. Beliau selalu menyuruh murid yang tidak serius saat belajar dan tidak menghargai waktu supaya keluar dari kelasnya.
Sekali diperintah, Abel langsung beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke luar seraya menundukkan wajah. Lia sangat kesal sekaligus gemas melihat kelakuan sahabatnya yang tidak pernah jera bermain handphone di dalam kelas meski sudah berulang kali ketahuan dan mendapatkan hukuman. Dia hanya bisa menepuk pelan keningnya, mengakui kekonyolan Abel yang sepertinya tidak ada obat itu.
"Siapa lagi yang mau keluar dari kelas saya?" seru pak Willi sembari menatap satu persatu siswanya yang juga saling tatap satu sama lain, "Silahkan keluar sebelum kegiatan belajar mengajar saya lanjut kembali. Saya tidak ingin waktu saya terbuang sia-sia hanya untuk menegur murid yang tidak disiplin seperti Annabelle," lanjut pak guru.
Semuanya terdiam, lalu pak Willi kembali ke mejanya. Beliau pun memberi tugas untuk lima puluh menit tersisa supaya mengerjakan soal pilihan ganda. Sesekali Dirga menatap ke luar, berharap Abel tetap berada di sekitar kelas, jika jam pak Willi berakhir nanti dia akan langsung menyuruh gadis itu menyalin jawabannya supaya tidak tertinggal nilai tugas harian. Cowok berkacamata itu pun tersenyum tipis, membayangkan senyuman manis Abel nanti ketika dia memberinya contekan.
***
Tidak terasa, lima puluh menit telah berlalu. Bel tanda pergantian mata pelajaran telah dibunyikan, pak Willi pun menutup buku dan berdiri dari tempat duduknya.
"Kumpulkan jawaban kalian di depan, biar nanti tugas rumah kalian saya nilai. Dirga, istirahat nanti bawa jawabannya ke ruang guru," perintah pak Willi yang sudah bersiap keluar kelas.
"Siap, Pak!" sahut Dirga mengangguk paham.
"Selamat pagi menjelang siang, Anak-anak," ucap beliau dan dilanjutkan dengan langkah kecil ke luar kelas.
"Siang, Pak …." Mereka menyahuti.
"Li … Lia, ada tugas dari pak Willi, ya?" seru Abel yang tiba-tiba berlari kecil dari luar memasuki kelasnya.
Napasnya yang terengah-engah membuat Dirga ingin menjadi orang pertama yang memberi Abel minuman. Dia segera mengambil botol air mineral dari dalam tas dan menyodorkannya untuk gadis canti itu.
"Minum dulu, Bel," suruh cowok itu.
"Makasih," sahut Abel tanpa rasa segan menerima minuman tersebut. Dia meneguknya beberapa kali hingga air minum itu hanya tersisa sedikit sekali.
Setelahnya, Abel mengembalikan botol airnya pada Dirga. Cowok yang rela melakukan apa pun demi Abel itu menerima, bukan cuma dengan tangan terbuka, tapi senyuman lebar pun tercipta karena terlalu senang saat air mineral yang dia bawa rupanya mampu membuat sang pujaan hati tidak kehausan lagi. "Nih, salin jawabanku aja, sebelum aku kumpulin ke pak Willi," ujar Dirga yang saat itu juga menyeret bukunya untuk diserahkan pada Abel.
"Nah, tuh, udah dikasih Dirga contekannya. Buruan salin, keburu bu Nindi datang," tukas Lia.
Tanpa membuang waktu, Abel segera menyalin jawaban milik Dirga. Dibantu Lia yang membacakannya, dalam sekejap tugas pun telah selesai Abel tulis. Bukan Abel saja yang merasa lega, Dirga juga ikut senang sebab pujaan hatinya tidak akan mendapat hukuman tambahan setelah mengerjakan tugas.
Jam pelajaran selanjutnya, seharusnya bu Nindi sudah masuk kelas. Namun belum ada tanda-tanda guru empat puluh tahun itu akan datang. Kesempatan yang baik bagi Abel untuk memeriksa handphonenya, beberapa murid lain pun mulai mengeluarkan alat komunikasi tersebut untuk digunakan sembari menunggu bu Nindi masuk kelas.
Tiba-tiba saja degup jantung Abel tidak terkendali. Ibu jarinya bergerak lihai menelusuri ruang chating guna memeriksa balasan dari kekasihnya. Namun, tidak ada satu pesan pun dari pria itu.
"Ke mana kamu, Sayang?" tanyanya dalam hati.
Tentu saja Abel panik, tidak biasanya laki-laki itu mengabaikan pesan yang dia kirim. Jikalau pun sibuk, tidak seperti saat itu pesannya tak terbalas hingga dua jam. Sebagai remaja yang baru pertama kalinya jatuh cinta, Abel merasa begitu cemas hingga memikirkan hal-hal yang cukup jauh. Bagaimana jika kekasihnya pergi untuk selama-lamanya? Arghh! Semoga itu hanya ketakutannya saja.
"Kenapa lagi sih, Bel?" tanya Lia yang sedari tadi menatapnya penuh rasa penasaran.
Namun Abel hanya menggeleng kecil tanpa menyisihkan sedikit waktu untuk menatap wajah sahabatnya itu. Dia masih menunduk, fokus pada layar handphone yang kini memperlihatkan foto sang pujaan hati. Laki-laki tiga puluh tahun yang telah menjadi separuh hidupnya.
"Bel, bu Nindi masuk tuh," kata Lia. Seketika Abel menonaktifkan handphone tersebut dan menyimpannya ke dalam tas.
Dia pun mengikuti kegiatan belajar mengajar hingga tanda waktu istirahat pertama tiba.
***
Hari yang sangat membosankan bagi Abel, dia bahkan belum mendapat balasan pesan dari Dani hingga menjelang senja. Sepulang sekolah, gadis itu berniat akan mencari sang kekasih di hotel semalam mereka menginap. Barangkali laki-laki itu kembali ke sana setelah meeting dan kelelahan sehingga belum sempat membalas pesannya.
Lia yang merasa khawatir akhirnya menawarkan diri untuk menemani Abel. Jarak dari sekolah menuju hotel tersebut tidak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja menggunakan sepeda motor saat tidak macet. Kali ini Abel yang akan mengemudikan motor matic itu, mengingat tadi pagi Lia sudah memboncengnya.
"Lo yakin, Dhani di sana?" seru Lia.
Gaya berboncengan mereka berdua sangat romantis mengingat Lia memeluk perut Abel dan menaruh dagunya tepat di sisi kiri bahu Abel. Jika Lia yang membonceng pasti posisi mereka akan semesra itu, lain halnya ketika Abel yang membonceng, Lia pasti marah-marah saat Abel memeluk pinggangnya. Lia merasa geli dan tidak pernah mau Abel peluk, padahal sendirinya suka peluk-peluk seperti sekarang.
"Kali aja, Li." Abel menjawab penuh harap.
Lia mengangguk paham. Sahabatnya itu mudah sekali stress, untuk itu dia harus bisa mendukung apapun yang Abel inginkan. Termasuk mempertahankan cintanya pada pria dewasa seperti Dhani. Sejujurnya, Lia lebih senang jika Abel menjalin hubungan dengan Dirga. Akan tetapi hati manusia siapa yang tahu? Abel keras kepala sekali untuk tetap mencintai pria dewasa itu.
Perjalanan sore itu terasa sangat singkat, mereka telah sampai di basemen hotel tempat Dhani membawanya beristirahat kemarin. Abel menggandeng tangan Lia menuju lobby, di mana resepsionis berada. Mereka segera menanyakan daftar kunjungan ke nomor kamar Dhani berkunjung kemarin.
Ketika menunggu, Lia menghela napas panjang memperhatikan Abel. Wajah cantik sahabatnya terlihat tidak nyaman dilihat saat panik begitu.
"Gimana, Mbak? tanya Abel, tidak sabaran.
Next