Martabak telur spesial pak Jaja menjadi teman mengobrol petang ini. Sesekali, Abel memperhatikan handphone yang terletak di sampingnya. Sudah akhir bulan begini, tapi papanya belum juga mengirimkan uang. Padahal bulan kemarin saja Abel sudah telat membayar kosan sehingga meminjam uang Lia dahulu.
Dia malu jika harus menunggak lagi dan pada akhirnya merepotkan Lia. Tiba-tiba Lia memasukkan sepotong martabak ke mulut Abel, seketika matanya melotot karena kaget.
Plak!
Pukulan kecil mendarat di lengan Lia.
"Dih, kebiasaan banget ih main tangan." Raut kesal Lia membuat Abel meringis seraya mengusap lengan Lia yang baru saja ia pukul.
"Ya sorry. Habisnya lo gak sopan gitu main masuk-masukin makanan ke mulut gue," kata Abel cekikikan.
"Ngapain lihatin hape mulu? Nih, ntar nangis lagi kalau martabaknya gue habisin," celetuk Lia seraya menunjuk beberapa potong sisa martabak.
Abel menghela napas berat. "Papa belum kirim uang juga, nih," keluhnya.
"Biasanya Dhani ngasih lo duit kalau habis ketemu," tebak Lia.
"Iya, sih, hmm … ya udah deh buat bayar kosan dulu aja." Abel lantas membuka tasnya.
Dia mengambil beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribu, lalu memberikannya pada Lia. "Ini buat ganti yang lo bulan kemarin. Sorry ya, lama gantinya," ucap Abel.
"Maaciih, Sahabatku." Lia senang sekali menerimanya.
"Sama-sama, Lia sayang," sahut kekasih Dhani itu.
Bicara soal Dhani, Lia jadi penasaran sebenarnya apa yang membuat Abel sangat menyukai laki-laki itu. Setelah menyimpan uangnya, Lia pun menanyakan dengan lembut.
"Bel, lo nyaman banget ya sama Dhani?" tanyanya.
"Ya …," jawabnya malu-malu.
"Padahal kalau lo mau tuh ada Dirga yang seumuran, ganteng, perhatian sama lo. Dhani udah kayak bapak lo, Bel," ujar Lia sangat antusias.
"Dirga banyak ceweknya. Yang ada gue sakit hati setiap hari lihat dia senyum-senyum sama cewek lain," tukas Abel.
"Setidaknya dia senyum cuma buat ngehargain cewek yang nyapa aja. Dia sukanya sama lo," bela Lia.
Abel lalu berdiri dari duduknya. Dia malas membahas Dirga yang sudah jelas-jelas jadi idaman di sekolah. Apalagi cowok itu sangat baik. Abel merasa tidak pantas untuk Dirga yang notabenya memiliki banyak kelebihan.
"Tadi gue ke hotel sama Dhani," ungkap Abel sebelum masuk kamar mandi.
"Gila. Ngapain gitu ke hotel segala?" tanya Lia terkejut.
"Nggak ngapa-ngapain. Nemenin Dhani istirahat, dia kan capek habis perjalanan dari Surabaya." Abel menjawab santai.
"Huh! Bagus, lagian itu cowok mesum banget deh. Lo hati-hati aja, Bel, cowok kayak Dhani biasanya suka jajan di luar," celoteh Lia.
Namun, Abel hanya menanggapi dengan senyum tipis. Bagaimanapun, pria itu sudah memikat hatinya. Bila Dhani memang seperti yang Lia pikirkan, Abel akan memaafkan asalkan nanti dialah yang menjadi pelabuhan terakhir untuk perjalanan cinta Dhani selama ini.
Dia lantas masuk kamar mandi, sedangkan Lia lanjut menikmati martabak. Seharian tidak beristirahat membuat dua gadis cantik itu tidur setelah membersihkan diri.
***
Alarm berbunyi. Jam mungil berbentuk panda itu berdering kencang dan bergetar hingga membuatnya berpindah posisi. Lia beranjak dari sofa, lalu menonaktifkan alarm dan pergi ke kamar mandi.
"Lo lupa kan sama tugasnya pak Willi?" seru Lia.
Abel membelalak kaget saat mengingat tugas fisika dari guru paling tegas di sekolahnya, dia lantas bangkit dari duduk dan memeriksa tas. Sementara Lia mandi, dia akan berusaha mengerjakan tugas pak Willi biar tidak dapat hukuman.
Semenit berlalu, Abel hanya menatap kertas bertuliskan rumus fisika yang sama sekali dia tidak ada ketertarikan pada mata pelajaran satu itu. Gadis beralis tebal bergaris itu justru sibuk dengan pikirannya yang hanya ada Dani di sana, tentang Dani dan dirinya semalam. Sungguh indah.
"Abel, Bel … ayo, kerjain tugasnya! Lo mau nggak naik kelas, trus nggak lulus? Kalau nggak lulus gimana mau nikah sama Dani coba?" celotehnya mengingatkan diri sendiri.
Kemericik air dari dalam kamar mandi pun ikut menghancurkan fokusnya, Abel benar-benar tidak bisa mengerjakan tugas tersebut dengan benar.
Tampaknya, gadis itu punya ide bagus buat menghindari hukuman pak Willi tanpa harus pusing-pusing mengerjakan tugasnya. Dia tersenyum licik, lalu menutup buku yang sedari tadi dia ketuk-ketuk perlahan.
***
Selesai bersiap-siap, Abel dan Lia akan berangkat menuntut ilmu. Tidak butuh waktu lama untuk mandi meskipun harus bergantian, Abel tipe cewek yang selalu mandi kilat alias mandi bebek. Sepertinya, dia cuek sekali dengan penampilan ketika bersekolah kecuali, bila akan bertemu Dani seorang saja Abel akan menyemprotkan parfum.
Lia meraih kunci motornya di atas laci, lalu dengan langkah tergesa, dia dan Abel keluar apartemen dan berjalan ke arah motor yang terparkir di basement. Lia segera naik ke atas motor metik itu di ikuti Abel.
Tidak membuang waktu, Lia langsung memasukkan kunci ke dalam lubang kunci motor tersebut untuk menyalakannya.
"Sudah?" tanya Lia pada Abel.
Abel mengangguk pelan mengiyakan. "Sudah, let's go!" jawab Abel melingkarkan tangannya memeluk Lia dari arah belakang.
"Kebiasaan banget sih, peluk-peluk gini. Lepasin ih," tolak Lia yang merasa kegelian.
Namun, Abel justru menyandarkan pipinya pada punggung Lia. Hal itu tentu membuat sang sahabat terkekeh karena merasa sangat geli. "Bel, ih … mundur lagi buruan!" seru Lia.
"Nggak mau, mau kayak gini …," sahut Abel sangat manja.
Lia yang masih waras hanya memutar jengah bola mata dan langsung melajukan motor metik hitam tersebut. Baru beberapa menit melaju, Lia seperti mengingat sesuatu yang tertinggal. Cukup lama dia memikirkannya, tapi tidak kunjung menemukan ingatan yang terlupa itu.
Abel justru masih asyik dengan hayalannya, memeluk dan bersandar pada punggung Lia membuat ia sangat nyaman, sampai tidak peduli jika sahabatnya itu merasa risih.
"Lo ngerasa kayak ada yang ketinggalan nggak, sih, Bel?" tanya Lia sedikit berteriak.
Deru mesin kendaraan di sekeliling mereka membuat Abel tidak mendengar cukup jelas ucapan Lia, dia pun menganggap itu hanya kata-kata tidak penting yang tidak perlu dihiraukan, sehingga Abel kembali melanjutkan hayalan indah bersama Dani suatu hari nanti.
"Bel, lo bolot juga ya jadi orang … Abel?" Kali ini Lia menggedikkan bahunya dan membuat hayalan indah Abel buyar lagi.
"Apa sih, Li?" tanya Abel yang sudah terlanjur kesal, dia memiringkan kepala untuk berusaha mendengarkan kata-kata sahabatnya.
"Lo ngerasa ada yang ketinggalan nggak?" Sekali lagi, Lia mengulang pertanyaannya.
"Ada," jawab Abel enteng.
"Apaan?" Lia bertanya sungguh-sungguh sambil terus mengemudikan motor sebaik mungkin.
"Helm." Abel menjawab sambil menyentuh puncak kepala menggunakan tangan kanannya. Tanpa merasa aneh, dia lantas menaruh lagi tangannya di atas lutut. "Kenapa emangnya, Li?" tanyanya polos.
"Ya elah ngapa nggak ngomong dari tadi sih, kalau kita nggak makai helm? Udah nyampe sini lagi," omel Lia.
Dia menepikan motor dan memberhentikannya secara mendadak, membuat Abel semakin merengut kesal. "Gue juga baru inget, Li." Abel mengucap lirih.
"Balik apa nggak, nih?" tanya Lia ketus.
"Nanggung, bentar lagi nyampe sekolah," sahut Abel.
"Di pertigaan sana biasanya 'kan ada polisi."
"Moga aja pagi ini nggak ada, Li. Ayo ih, tugas gue belum dikerjain juga." Abel terlihat panik menatap jalanan lurus di hadapannya.
Hari ini tampaknya akan menjadi hari yang rumit bagi kedua gadis SMA itu. Sementara berpikir dengan kedua pilihan, Abel turun dari motor dan mengambil handphone. Lia menatapnya penasaran sahabatnya akan menghubungi siapa.
Next …