Hari ini, aku sudah siap dengan pakaian kerja. Melihat kearah Azizah yang masih fokus mengerjakan tugas kuliah, membuatku berniat untuk pergi sendiri. Lagipula, kasihan dia. Dari tadi malam Azizah tidak tentu tidur karena sibuk menghapal beberapa tugas. Biarlah, aku 'kan bisa naik angkot.
Merapikan setelan seragam kerja berbentuk gamis ini, aku melihat kearahnya. "Aku berangkat, Az. Assalamu'alaikum."
Dia mendongak, lalu bangkit mendekat. "Yakin, kamu bisa pergi sendiri?"
Aku mengangguk. "Bisa, jangan khawatir. Lagipula aku pulang jam tiga sore. Nanti kamu bisa menjemputku saja, oke?"
Azizah terdiam, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, hati-hati. Maaf ya, Ain."
"Tidak apa-apa, aku pergi dulu, Assalamu'alaikum."
"Waalaikumusalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Aku tersenyum, berlalu keluar dari pintu. Saat aku akan mendekati lorong, kulihat Azizah yang sedang tersenyum sambil melambaikan tangan. Aku balas tersenyum, membuatnya langsung menutup pintu.
Menapaki jalan yang sedikit rusak, aku menuju jalan raya di depan. Tali tas yang ku sandang, sesekali kunaikkan dan kuputar-putar di bahu kananku. Langkahku terhenti di pinggir jalan raya, melihat kearah kanan, dimana biasanya angkot dengan jurusan yang melewati jalanan pabrik akan melintas.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, aku akan masuk tiga puluh menit lagi. Sesekali, aku menyingkir saat suara klakson terdengar memperingati. Hingga akhirnya aku menatap sebuah mobil putih yang berhenti tepat di depanku dengan kaca mobil yang perlahan terbuka.
"Mau berangkat kerja?" tanyanya dengan alis terangkat dan kepala tertoleh sedikit kearahku.
"Iya, Pak. Bisa Bapak minggir kesamping, itu ada angkot, nanti saya susah menaikinya." Aku berkata sopan, tapi sosok itu malah mematikan mesin mobil dan beranjak keluar.
"Ada apa, Pak?" tanyaku saat beliau berjalan kearahku, wajahnya yang serius dan datar itu, seperti membutuhkan sesuatu.
"Mana Azizah?" tanyanya sambil melihat kearah lorong.
Aku tersenyum, sedikit menampilkan wajah meledek. "Ciee, cari Azizah, ya, Pak? Sudah kepincut sama teman saya?" tanyaku membuatnya mengalihkan pandang.
"Maksud kamu?" tanyanya dengan kening berkerut, jemari tangannya memutar-mutar kunci mobil.
"Bapak kalau suka sama Azizah, sudah terlambat. Sebentar lagi dia akan menikah, walaupun masih proses ta'aruf." Aku berkata, melihat angkot yang mulai mendekat.
"Oh ya? Kamu kapan?"
Ku lemparkan pandangan kearahnya, wajahnya yang datar membuatku tersenyum kecil. "Entah, mungkin saja tidak sempat." Aku berkata simpel, membuatnya semakin bingung.
"Kenapa? Kok bisa tidak sempat?" Pak Mursal bertanya lagi, memang siapa lagi yang paling sering bertemu denganku akhir-akhir ini?
Aku menatapnya sekilas, sebelum memalingkan wajah. "Karena, banyak hal di dalam diri saya yang tak bisa di terima dengan mudah. Kecuali, dengan hati ikhlas dan penuh ketakwaan. Saya ini tidak sebaik yang terlihat, juga tidak secantik luarnya. Bagaikan sampul buku, kadang isinya tak sesuai cover." Kulihat lagi wajahnya yang hanya terdiam, lalu kembali berkata. "Maka dari itu, sebaiknya Bapak jangan terlalu dekat dengan saya. Nanti kalau Bapak sudah tahu bagaimana saya dan apa yang ada di dalam diri saya, saya tidak jamin kalau Bapak akan mulai ilfeel dan menjauh atau tidak."
Kulambaikan tangan kearah angkot yang sudah merapat kearahku, lalu tersenyum sopan pada Pak Mursal. "Saya pergi, Pak. Assalamu'alaikum."
Aku melangkah, tapi sesaat langkahku terhenti. "Saya akan mengantar kamu, Ain."
Aku menoleh, tersenyum lagi. "Sebaiknya kita tidak boleh terlalu dekat, Pak. Karena, jika ada dua orang wanita dan lelaki yang bukan mahram berduaan di suatu tempat, maka yang ketiganya adalah setan."
Kakiku kembali melangkah, menaiki angkot dan masuk ke dalam. Angkot itu langsung berjalan lagi, sedikit berbelok ke tengah untuk menghindari mobil Pak Mursal yang sedang terparkir di pinggir jalan.
"Kiri, Pak."
Angkot yang kunaiki langsung melambat, membuatku mengambil posisi untuk keluar dari sana. Mengulurkan uang, aku tersenyum kearah sopir angkot yang baru menerimanya.
"Kembaliannya untuk Bapak, Assalamu'alaikum." Aku berbalik, walaupun wajah sopir angkot itu menampilkan raut terkejut.
"Eh, Neng. Ini-eh, Waalaikumussalam."
Dalam langkahku, aku hanya tersenyum kecil mendengar jawabannya. Memasuki toko berwarna putih, aku menuju bagian apotek. "Saya mau membeli obat, em, ini catatan dari dokternya, Mbak."
Kuserahkan secarik kertas yang di berikan oleh dokter yang memeriksaku dua bulan lalu. Tak punya biaya untuk perawatan lanjutan, aku hanya bisa mengandalkan catatan nama obat yang di berikan oleh dokter itu.
Apoteker wanita itu membaca kertas itu sekilas, lalu menatapku ramah. "Tanggal dua bulan tujuh, ini sudah bulan sepuluh, Mbak. Biasanya, akan ada catatan lanjutan dari dokter yang menangani kasus TTH kronis seperti ini. Kapan Mbak melakukan pemeriksaan terakhir?" tanyanya membuatku terdiam sejenak.
"Tidak pernah lagi, Mbak. Dua bulan lalu terakhir, saya juga sudah tiga kali menggunakan catatan itu untuk menebus obat." Aku berkata dengan suara yang seperti tercekat di tenggorokan, menatap Apoteker yang tampak terkejut.
"Maaf, kenapa tidak lanjut? Biasanya ada tambahan obat yang akan di berikan ataupun dosis yang berbeda-beda. Kalau seperti ini, penyakitnya tidak akan cepat sembuh." Dia berkata sopan, membuatku tersenyum.
"Biayanya terlalu mahal, Mbak. Tidak apa, saya hanya perlu obat itu untuk tetap bertahan selama yang saya bisa. Setidaknya, saat sakit saya bisa meminumnya dan rasa sakit itu hilang," ucapku membuatnya terdiam, menatapku dengan raut yang kasihan dan haru.
"Tidak apa, Mbak. Sejauh ini, saya InsyaAllah baik-baik saja. Setidaknya, dengan obat yang di berikan dokter itu, saya masih bisa bertahan. Hanya itu yang mampu saya lakukan. Saat ini saya tengah bekerja dan menabung, agar bisa menjalankan pemeriksaan lanjutan." Aku berkata, meyakinkannya sekali lagi.
Dengan wajah seakan terpaksa untuk tersenyum, Apoteker itu beranjak menyiapkan obat yang ku minta. Aku diam di balik etalase, menunggunya sambil mengedarkan pandangan kearah obat-obatan yang tersusun rapi di dalam lemari kaca. Diluar ruangan saja, tempat ini amat sejuk dan menenangkan. Aku suka tempat yang dingin seperti ini, rasanya kepala dan tubuhnya terasa lebih rileks. Aneh bukan? Padahal sebenarnya aku dilarang untuk hal ini.
"Ini, Mbak. Semuanya seratus tiga puluh ribu," ujarnya sambil menyodorkan kantung plastik berisi obat.
Aku menerimanya, lalu merongoh tas untuk mengambil uang yang sudah kubawa dari rumah. Tapi, baru saja aku mendapatkannya, sudah ada dua lembar uang seratus ribuan di etalase. Juga tangan putih kekar yang terulur bersamaan dengan uang itu.
Kulihat kearah samping, Pak Mursal tengah berdiri satu meter dariku. Wajahnya menatapku dengan tatapan datar dan rahang yang terlihat mengeras.
Menyeramkan sekali, sih! Buru-buru kusodorkan uangku pada Apoteker itu, tapi apoteker itu malah meraih uang yang tergeletak di atas etalase.
Menatapku dan Pak Mursal bergantian, apoteker itu tersenyum ramah pada Pak Mursal yang masih menatapku lurus. "Cari apa, Mas?" tanya apoteker itu, lalu menatapku dan tetap mengambil uang yang kusodorkan.
"Sebentar, kembaliannya, ya, Mbak!" Aku tersenyum kecil, rasanya jantungku sudah ingin lepas dari sana.
Bersambung!