Chereads / Assalamu'alaikum, Ya Aini. / Chapter 23 - Konsultasi

Chapter 23 - Konsultasi

"Tidak ada." Dokter Zaky tersenyum, melihat kearah Pak Mursal yang hanya diam dengan wajah datar. "Mari, silakan duduk."

Kuikuti langkah Pak Mursal yang mendekat kearah dua kursi di depan meja Dokter Zaky. Tangannya bergerak menarik kursi, lalu menoleh kearahku.

"Duduk," pintanya tegas membuatku mengerucutkan bibir.

Tanpa bicara, aku hanya menuruti semua permintaannya, biar cepat. Di depanku, Dokter Zaky sedang duduk sambil membaca sebuah map yang di klip. Lalu menutupnya dan melihat lurus kearahku.

"Saya sudah mengetahui jenis penyakitmu, Ain. Eh, benarkan namamu Aini?" tanyanya membuatku menoleh kearah Pak Mursal yang santai di kursinya.

Bisa-bisanya orang ini! Lihatlah, betapa santainya beliau, seakan tak tahu bahwa aku sedang meliriknya kesal.

Tak ingin membuat Dokter Zaky menunggu, aku langsung menoleh kearahnya lagi saat Pak Mursal tampak tak peduli.

"Benar Dokter, Dokter bisa memanggil saya dengan sebutan itu," ucapku sopan seraya tersenyum.

"Baik," ucapnya, berdehem sesaat ketika beradu tatap dengan Pak Mursal. "Boleh saya tahu kapan pertama kali kamu mengidapnya?"

"Lima tahun lalu kurang lebihnya, Dokter. Tapi saat di tahun pertama saya tidak terlalu memikirkannya karena hanya terasa pusing sedikit dan baru pusing lagi tiga sampai empat hari ke depan." Kulihat Dokter Zaky tersenyum, lalu mengangguk beberapa kali.

"Terakhir saat saya hampir pingsan karena kelelahan, barulah saya di bawa ke rumah sakit oleh teman saya. Dari sanalah kami tahu kenapa saya sering pusing, ternyata ada jenis penyakit TTH kronis yang bersarang di tubuh saya. Empat tahun lalu mungkin masih terlalu ringan, tapi seiring waktu penyakit ini menjadi lebih parah. Terakhir saya periksa dua bulan lalu," jelasku sambil meremas tanganku sendiri.

"Boleh saya tahu, apa penyebab utama yang dikatakan dokter tentang penyakitmu saat pertama kali periksa? Karena, biasanya penyakit TTH kronis bisa di katakan kepala tegang ini memiliki pemicu untuk tumbuh dan melekat dalam diri seseorang. Apa yang membuatnya terasa sakit? Kamu sedang melakukan apa hingga rasa sakitnya datang?" Dokter Zaky bertanya beruntun, membuatku tak langsung menjawab.

Mengalihkan perhatian, aku menatap kearah samping karena mataku mulai berkaca-kaca mengingatnya. Aku sadar ini adalah prosedur, dulu juga aku di tanyakan banyak hal seperti ini. Namun, entah mengapa bagiku sangat sulit untuk menyebutkan secara langsung hal apa yang membuatku bisa menjadi seperti saat ini.

Sementara Dokter Zaky sedang menunggu, aku menguatkan hati untuk mengatakan apa yang kualami.

"Per-perceraian orang tua saya, Dok. Awalnya kedua orang tua saya hanya bertengkar di hadapan saya. Membuat saya memikirkannya dan terpuruk berhari-hari. Saat itu tidak ada tempat saya mengadu, saya hanya bisa diam dan menangis di dalam kamar. Hingga akhirnya mereka bercerai dan meninggalkan saya sendirian." Aku menghapus air mataku cepat, lalu tersenyum saat menatap wajah Dokter Zaky yang tengah membisu.

"Mungkin ada rasa trauma dan juga depresi yang saya alami, hingga akhirnya tubuh saya tidak sanggup dan akhirnya penyakit itu datang. Jika saya mengingat tentang kejadian itu, maka rasa pusing dan tegang di kepala saya akan langsung terasa. Awalnya hanya sebentar, tapi saat ini sakitnya bisa sampai membuat saya tidak bisa melakukan apapun hingga beberapa jam ke depan." Aku menundukkan kepala setelah mengatakan semuanya.

Itu adalah kenyataan yang sering kulanggar. Apalagi saat beberapa hari yang lalu. Ketika aku di ganggu oleh Zikri dan kemudian merasakan rasa pusing yang hebat. Hanya satu jam setelahnya aku berusaha bangkit untuk bekerja. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan itu. Bagaimanapun aku sangat membutuhkannya.

"Baiklah, saya paham." Dokter Zaky tersenyum, lalu menyerahkan sebuah formulir. "Isi kolom yang kosong dan tidak saya coret di sini. Kita akan melakukan pemeriksaan ulang secara keseluruhan."

Aku menerima bolpoin yang di ulurkannya, tapi tak langsung mengisi apa yang ada di hadapanku. "Saya tidak punya biayanya, Dokter. Lagipula ini juga mendadak, saya tidak tahu akan di periksa langsung. Saya pikir ini hanya sekedar pembicaraan singkat saja," ucapku membuatnya tertawa.

Aku yang bingung hanya diam melihatnya, lalu melihat kearah Pak Mursal yang juga tengah tersenyum kearahnya.

"Begini Ain," ucap Dokter itu akhirnya, setelah puas tertawa. "Calon suami kamu ini yang akan mengurus semuanya. Kamu hanya tinggal terima bersih, oke?"

Rahangku hampir lepas saat mendengar penuturannya. "Apa Dokter? Calon suami?!"

Bolpoin dari genggamanku terlepas dan menggelinding di atas meja kacanya. Sesaat, aku melirik tajam kearah Pak Mursal yang juga sudah melihat kearahku.

"Mengada-ada saja Bapak ini. Jangan percaya ucapannya Dokter, saya saja tidak mengenalnya," ucapku kesal, tapi saat kulihat kearah Pak Mursal beliau masih terlihat santai.

Aku langsung bergerak bangkit, tapi tiba-tiba rasa sakit menghampiri kepalaku, membuat kedua tanganku terangkat dan langsung menangkup kedua sisi kepalaku.

"Aduh!" Aku mengaduh menahan sakit dan itu sukses membuat kedua orang yang bersamaku saat ini panik.

"Duduk, Ain! Bagaimana ini, Dokter?" Suara Pak Mursal yang pertama terdengar, beliau menekan jarinya ke bahuku untuk kembali duduk.

"Tenang," ujarnya singkat, lalu bangkit dari kursinya dan menghampiriku. "Biar saya bantu memijitnya, boleh Ain?" tanyanya sopan, tapi aku tak langsung menjawab.

"Cara lain," tukas Pak Mursal tak terima, memperhatikan aku yang tengah memijit sisi kepalaku. "Saya saja tidak boleh memegangnya, apalagi kamu! Cara lainnya apa?"

Kedua orang yang sedikit aneh ini tak ku pedulikan, aku hanya sibuk menenangkan isi kepalaku dan juga rasa sakit di kepalaku. Ini akibatnya kalau aku bangkit tiba-tiba, kenapa sih aku tak pernah mengingat bahwa hal itu juga pantangan yang harus ku jauhi? Ucapan Dokter Zaky tadi yang membuatku melakukannya, enak saja dia mengatakan kalau Pak Mursal calon suamiku. Kapan dia melamarku? Dasar dua orang aneh!

"Tenang kalau begitu," ucap Dokter Zaky santai, lalu berjalan dan memutar kursiku pelan. "Tenangkan dirimu, Ain. Maaf kalau ucapan saya tadi sempat membuat kamu kaget dan merasa tak terima," imbuhnya sambil menatapku lurus.

Aku tak menjawab, fokus pada rasa sakitku yang tiba-tiba dan juga arahan-arahan lain dari Dokter Zaky. Wajahnya tampak tenang dan santai, mungkin dia terbiasa menghadapi masalah dan kasus yang sama. Bahkan mungkin lebih parah dariku.

"Sudah lebih baik?" Pak Mursal duluan bertanya, tapi aku hanya mengangguk pelan walaupun rasa pusing itu masih terasa. "Sepertinya tidak perlu mengisi formulir itu, langsung saja lakukan pemeriksaan, Dokter. Agar kita tahu apa yang harus dilakukan setelahnya!" tegas Pak Mursal memerintah.

Seperti kerbau yang di cocok hidungnya. Dokter Zaky langsung mengangguk, lalu memanggil suster untuk menyiapkan kebutuhan pemeriksaan. Sementara aku hanya duduk diam di atas kursi, merasakan rasa sakit yang masih terasa di kedua sisi kepalaku.

"Hanya karena kaget saat Dokter Zaky mengatakan bahwa saya calon suami kamu, kamu langsung bangkit dan berakhir pusing seperti ini." Suaranya terdengar, tetap berdiri tegak di hadapanku yang tengah duduk.

Aku diam, belum mau melihatnya. "Bagaimana kalau misalnya saya mengaku sebagai suami kamu di hadapannya tadi?" lanjutnya membuatku langsung mendongak cepat, hingga rasa pusing itu menderaku lagi.

"Pak, Bapak memang ingin melihat saya mati lebih cepat, ya?" Aku meringis, menahan rasa pusing di kepalaku yang kembali mengampiri.

Pak Mursal terdiam di tempatnya, menatapku dengan raut wajah datar dan juga sorot mata yang tak mengerti.

Ya Allah, bagaimana caraku untuk menyadarkannya? Aku tidak mau menjadi istrinya! Aku takut, bagaimana kalau aku hanya bisa menyusahkan dan membuat Pak Mursal marah setiap hari? Sepertinya rasa trauma akan perceraian kedua orang tuaku yang belum sepenuhnya sembuh dari dalam diriku, tak ingin ku tambah lagi dengan perceraianku dengannya pula.

"Jangan buat saya menjadi orang yang mati rasa untuk kedua kalinya, Pak. Cukuplah perceraian orang tua saya saja yang menjadi salah satu kenangan pahit. Bapak tidak perlu menambah beban, dengan menikahi saya yang penyakitan seperti ini." Aku berkata lirih, dengan nada penuh permohonan. "Jauhi saya," lanjutku lalu mengusap cairan yang terasa mengalir dari hidungku.

Saat aku melihat jariku yang terasa basah, aku tersentak pelan.

Darah?

Bersambung!