Chereads / Assalamu'alaikum, Ya Aini. / Chapter 25 - Cabang Baru

Chapter 25 - Cabang Baru

Aku dan Azizah masih berdiri di teras, melihat kepergian Pak Mursal. Beliau begitu semangat ketika mendengar syaratku. Seperti, mencari Abi dan Umi adalah hal yang mudah baginya. Mungkin benar, beliau 'kan orang yang cukup di kenal. Buktinya dokter Zaky tadi, mudah sekali dia atur dan perintah, seperti orang yang memang sudah lama saling kenal.

"Sebenarnya beliau itu siapa kamu sih, Ain? Kok bisa dekat begitu kalian?" tanya Azizah saat Pak Mursal sudah tak terlihat oleh jangkauan mata.

"Guru SMA-ku," balasku singkat, kemudian berbalik dan menatap Azizah lurus. "Tadi aku mendengar pengumuman kalau kita libur," ucapku tapi Azizah mengangguk pelan.

"Aku sudah tahu, Ain. Tidak lama lagi akan memasuki bulan puasa. Paling tidak kita libur satu minggu," ungkapnya sambil menghela napas. "Sepertinya kita harus berhemat."

Aku mengangguk membenarkan, kurogoh isi tas dan mengeluarkan uang. "Nih, uang untuk membeli obat tadi. Kamu simpan saja, seperti biasa." Azizah menatapku sambil menerimanya. "Kamu tidak jadi beli obat?"

"Jadi, tapi tadi, emm ...." Aku bingung menjelaskan, rasanya aku malas sekali mengatakan bahwa Pak Mursal yang sudah membayarkan obatku. Azizah bisa bertanya dan berpikir macam-macam nanti, padahal aku 'kan masih tak ingin mengatakan apapun tentangnya.

"Tapi apa, Ain?"

Aku tersenyum, lalu menggeleng. "Tidak ada, sudahlah ayo masuk. Aku lapar, Az."

Kutarik tangannya memasuki kost. Azizah hanya pasrah mengikuti. Biarlah, kali ini saja aku berbohong dan sedikit tak terbuka padanya. Bagiku, sikap baik Pak Mursal masih terlalu gamang untuk ku terima. Bagaimanapun beliau adalah seorang yang perhatian sejak dulu. Aku belum bisa berekspektasi jauh tentang hubungan kami ke depannya.

"Wah, kue!" Kuambil sepotong dadar gulung dari atas piring di meja dapur, lalu mulai memakannya sambil berbalik kearah Azizah yang sedang tersenyum. "Darimana kue ini? Kamu beli, ya?"

"Tidak," balasnya cepat, mengangkat piring kue itu dan membawanya ke atas tikar tempat kami biasa duduk sambil mengerjakan tugas. "Ini tadi dari Ustadz Ahmad. Ibunya suka masakanku, jadi balas mengirimiku dengan kue-kue ini di dalam rantang yang kuberikan," ungkapnya sambil tersenyum lebar.

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Alhamdulillah kalau begitu, misi pendekatan lancar, ya, Az!"

Azizah tertawa, mengangguk beberapa kali. "Jadi tadi kamu tidak bekerja?" tanyanya dengan mulut di tutupi tangan, pasalnya dia sedang mengunyah.

"Tidak, tadi aku hanya menemani Pak Mursal ke suatu tempat. Az!" Aku memanggil namanya pelan, membuatnya menoleh dari piring kue. "Kalau aku mengatakan bahwa Pak Mursal mengantarku periksa, kamu percaya tidak?"

Azizah terdiam, menelan kue yang ada di mulutnya dengan cepat. "Benarkah? Beliau mengantarmu periksa?"

Aku mengangguk. "Aku ketahuan, Az. Beliau entah sengaja atau tidak, ada di apotek tempatku membeli obat. Mendengar penjelasan dari apoteker bahwa aku harus periksa lagi, beliau berinisiatif untuk membantuku dalam biaya. Tidak hanya itu, beliau juga membawaku pada salah seorang Dokter yang spesial menangani kasus seperti penyakitku."

Kulihat Azizah terdiam, mengamati wajahku. "Hasilnya bagaimana? Apakah ada kemajuan?"

Aku berdecak pelan, bahkan Azizah tak dapat mendengarnya. Kuhela napas sebelum akhirnya mengingat ucapan Dokter Zaky tadi.

"Kata Dokter, aku masih ada kemungkinan sembuh total. Tapi, itulah, aku harus menjalani pengobatan kombinasi dan juga metode relaksasi. Aku tidak tahu, mampu atau tidak. Cuma, penyakitku bertambah kuat karena adanya rasa trauma dan stres yang kualami dulu. Kamu tahu 'kan, jika aku mengingat tentang orang tuaku, aku akan langsung pusing."

Azizah mengangguk. "Jadi lebih tepatnya, kamu mengidap trauma? Trauma ini yang memicu penyakitmu?"

Aku gantian mengangguk. "Begitulah, Az. Karena menurut artikel yang kubaca tadi di rumah sakit. TTH kronis biasa menyerang seseorang yang terlalu lelah, stres berlebih dan juga masalah pribadi. Itu semua ada dalam diriku dulu sebelum aku di vonis memiliki penyakit ini," jelasku membuatnya terdiam.

"Lalu, apa yang dikatakan oleh Pak Mursal? Beliau ikut saat kamu periksa bukan?" tanyanya tapi aku hanya tersenyum, masih gamang untuk menjawab sesuai apa yang terjadi di rumah sakit tadi.

"Beliau hanya mengatakan bahwa aku pasti sembuh. Beliau bahkan bersedia mencari ayah dan ibuku untuk membuat aku bisa menghilangkan rasa trauma. Tapi, sepertinya tidak akan semudah itu. Traumaku karena perceraian, bukan pada kedua orang tua." Aku menghela napas, mengalihkan pandangan kearah bawah. "Itulah sebabnya, aku belum bisa menikah sekarang, Az. Aku takut, entah bagaimana aku bisa mengungkapkan rasa takut ini. Cuma bagiku, menjadi istri kedua adalah hal yang tak bisa aku lakukan untuk memenuhi permintaanmu," ucapku kembali menghela napas.

Pundakku seakan di sentuh olehnya, membuatku mendongak. "Aku tidak akan memaksa kalau begitu, bagiku apa yang terbaik untuk kamu dan kesehatanmu saja sudah cukup. Aku tidak akan meminta hal lain. Sembuhlah, biar aku bisa tenang melepasmu ingin melakukan apa saja dalam hidupmu."

Aku tersenyum, lalu memeluknya erat. Bagiku, dengan kehadiran Azizah saja sudah cukup untuk mengobati rasa sakit yang kualami. Tapi, sebagai manusia, aku sadar kelak kami akan berpisah dan ikut dengan suami masing-masing.

Dalam pelukannya, aku mendongak menatap langit-langit, berharap saat Azizah menikah, aku sudah bisa mengendalikan hidup dan penyakitku sendiri. Aku ingin dia bahagia, bukan hanya memikirkan diriku saja.

***

Ku geser mouse yang menyatu di dalam keyboard, mencari beberapa bacaan yang cocok untuk menjadi teman di waktu lenggang. Malam hari ini cukup membosankan, padahal aku sudah mengkhatamkan satu juz Al-Quran, tapi rasanya masih ada saja yang kurang.

Azizah masih ada di luar, aku tak perlu mencemaskannya. Azizah adalah wanita yang lumayan bisa bela diri, dia juga pemberani, tidak perlu aku khawatir akan keselamatannya. Preman seperti Zikri saja dia lawan demi menolongku, apalagi demi dirinya sendiri.

Klunting!

Sebuah pesan dari si aplikasi hijau masuk, membuatku mengalihkan tanda jempol yang ada dilayar untuk membukanya. Keningku berkerut, nomor ini belum ada di dalam daftar kontak.

Karena iseng, kubuka pesan itu dan membacanya.

[𝙒𝙝𝙖𝙩𝙨𝙖𝙥𝙥]

Nomor tak di kenal?

'Assalamu'alaikum, Ini nomor saya, Mursal.'

Ku gelembungkan pipi lalu tersenyum lebar. Ternyata Pak Mursal, kukira siapa.

'Wa'alaikumussalam, na'am, Pak. Saya save, ya!'

Baru saja aku akan mengetikkan namanya di dalam urutan kontak, pesannya masuk lagi.

'Ain, ya? Baguslah, soalnya saya mau mengabarkan tentang pengumuman pabrik. Kamu dan Azizah masuk tanggal dua puluh bulan ini. Liburnya di ubah menjadi dua minggu dari sekarang, jadwal masuk kamu pagi, begitu juga dengan Azizah. Kabari dia, ya, Ain.'

'Baik, Pak. Ada lagi?'

Ku utak-atik beberapa pesan dari grup, sebelum akhirnya pesannya masuk lagi.

'Sudah minum obat?'

Wah, horor sekali pertanyaan ini. Tapi, ya, demi basa-basi aku akhirnya membalas.

'Sudah, Pak. Eh, saya boleh bertanya?'

'Toko cemilan Bapak buka lowongan tidak? Soalnya Azizah keluar untuk mencari pekerjaan. Karena, tabungan kami kritis'

Aku menyelipkan emot tawa di samping pesan itu, setelahnya mengirimkannya sambil mengucap bismillah. Barangkali ada, setidaknya dua minggu ini kami tidak menganggur.

'Yakin mau bekerja dengan saya?'

Bah, Pak Mursal ini. Sepertinya beliau sengaja mengulur waktu.

Aku tertawa dalam pikiranku sendiri sebelum akhirnya membalas pesannya dengan empat kata pertama.

'Azizah, Pak? Pasti yakin!'

'Dia tipikal wanita pekerja keras, Bapak tidak akan kecewa pada kinerjanya'

'Baiklah, kita bicarakan besok. Saya tunggu kamu di kelas bahasa Arab, bagaimana?'

Aku tersenyum lebar. 'Baik, Pak. Terima kasih sebelumnya, maaf merepotkan.'

'Tidak masalah, saya juga ingin membicarakan tentang pembukaan cabang baru. Siapa tahu kamu mau ikut andil mengelolanya. Baiklah, saya tunggu besok, ya, Ain. 𝘈𝘴𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘬𝘶𝘮.'

Keningku berkerut dalam. "Mengelola cabang baru? Ada-ada saja Pak Mursal ini, memangnya beliau percaya padaku? Jiah, seperti Pak Mursal mulai to the point!" cibirku sedikit kesal, hingga lupa membalas pesan terakhirnya.

Klunting! Pesannya masuk lagi, membuatku langsung tersentak dan membukanya.

'Mengucapkan salam sunnah, menjawabnya wajib. Kamu tidak mau mendapatkan doa dari saya?'

Bersambung!