Chereads / Assalamu'alaikum, Ya Aini. / Chapter 22 - Bertemu Dokter

Chapter 22 - Bertemu Dokter

"Pak." Aku memanggilnya, yang memang sedari tadi hanya diam memandangi kearahku tapi sorot matanya sedikit di miringkan kearah samping. "Apa Bapak mengenal saya?"

"Kenal," jawabnya cepat membuat jantungku mulai berdetak tak karuan. "Nama kamu Syahza, gadis yang sedikit menyebalkan yang pernah saya temui." Beliau menatap lurus kearahku sekilas, membuatku meringis kecil.

"Dan kamu adalah orang kedua yang berhasil membuat saya tertarik sejak pertama kali kita tak sengaja hampir bertabrakan di pintu kelas. Sejak saat itu, setiap pertemuan yang kebetulan terjadi ini, saya gunakan untuk mengenali kamu lebih jauh."

"Kebetulan?" Aku berkata tak terima, menatapnya yang hanya diam di tempat duduknya. "Bapak yakin sekali kalau ini hanyalah sebuah kebetulan." Aku mencibir, membuatnya Pak Mursal tersenyum lalu bangkit dari duduknya.

"Itu kebetulan menurut kita, tapi mungkin tidak menurut Allah. Karena saya yakin, setiap kali kita yang selalu bertemu dengan tak sengaja, itu adalah garis kehidupan yang berguna untuk mendekatkan dua insan yang saling berjodoh," ucapnya pelan, sedikit menunduk karena aku masih duduk.

"Jiah, Bapak yakin sekali," ungkapku malas. "Belum tentu kita berjodoh, Pak. Di tambah orang tua saya saja entah ada dimana. Kalau seperti yang Bapak bilang tadi, Bapak bersedia menikahi saya. Maka ada banyak penghalang untuk sampai di sana," lanjutku tapi beliau malah tersenyum.

"Allah akan membantu saya, karena niat yang baik akan berjalan dan berakhir dengan baik pula." Pak Mursal berkata yakin, membuat mulutku terkatup. "Ayo, kita pergi sekarang."

Mau tak mau aku langsung bangkit, mengikutinya keluar dari kantin. Seperti anak ayam, aku berjalan di belakangnya menuju mobil putih yang terparkir di depan kantor. Sepertinya beliau tadi langsung melaju kemari saat meninggalkanku di apotek. Makanya aku tidak mendapati jejaknya.

"Masuk," ucapnya seraya membuka pintu sebelah kemudi untukku, padahal aku bisa sendiri.

"Kalau menjadi fitnah bagaimana?" Pak Mursal menatapku seakan lelah. "Bantu saya untuk lebih mudah membawa kamu di dalam mobil agar tidak menjadi fitnah kalau begitu."

Aku mengernyit bingung. "Caranya?"

"Masuk, kita akan menuju ke caranya." Melihat wajahnya yang seperti sudah kesal, aku memutuskan untuk mengalah.

Memasuki mobilnya, aku langsung meraih seatbelt dan memakainya. Duduk tegak dengan pandangan lurus kearah depan, tak menoleh sedikitpun padanya yang sudah ikut masuk.

"Eh, Pak!" Aku berseru tiba-tiba, teringat sesuatu.

Tangan beliau yang baru saja akan menarik parseneling, langsung terhenti dan menoleh padaku. "Apalagi?"

"Pengumumannya bagaimana?" tanyaku membuatnya tersenyum tipis.

Ya Allah, masih bisa beliau tersenyum padahal aku sudah hampir membuatnya jantungan mungkin.

"Nanti saya yang akan mengabari kamu, kapan lagi kamu masuk kerja. Sudah?" tanyanya sabar membuatku tersenyum lebar bahkan sampai menunjukkan deretan gigi.

"Bapak sudah membayar makanan yang saya makan tadi?" Aku sengaja bertanya hal-hal aneh, ingin melihat sampai dimana batas kesabarannya.

"Sudah," jawabnya, lalu memundurkan mobil dan memutar kemudi untuk berbelok kearah gerbang. "Adalagi yang akan kamu tanya?"

Gerbang terbuka membuatnya langsung melajukannya keluar dari pekarangan pabrik. Aku diam berpikir, apalagi yang harus kutanyakan.

"Kamu sering ke desa?" Malah beliau yang bertanya membuatku menoleh. "Desa mana, Pak?"

"Bukankah kamu tinggal di desa? Lalu merantau kemari?" Beliau balik bertanya, fokusnya tertuju kearah depan. "Atau saya salah?" lanjutnya kemudian.

Aku memutuskan diam tak menjawab. Rasanya, mengingat tentang desa ataupun rumahku yang dulu, hanya akan menambah beban di kepalaku. Ini saja rasa pusingnya mulai terasa, padahal baru mendengar kata desa.

"Kamu tidak mau menjawab?" tanyanya lagi membuatku menggeleng. "Kenapa?"

"Saya tidak mau mengingat apapun tentang hal itu. Bapak mau melihat saya menderita karena rasa pusing?" Aku mengalihkan pandangan, menatapnya yang justru menatap lurus kearah depan.

"Jadi, saya mohon jangan bertanya tentang masa lalu saya, ya, Pak. Saya tidak bisa menjawabnya," ungkapku lirih, tapi beliau masih diam dengan tatapan tak beralih sedikitpun dari arah depan.

Mobil terus bergerak menuju entah kemana, tapi saat melewati lorong, aku sempat melihatnya sejurus. Lorong itu sunyi, tidak ada tanda-tanda Azizah yang kulihat. Sesaat aku menyandarkan tubuh di sandaran kursi, mencoba untuk rileks dan tak berpikir akan di bawa kemana aku oleh guru bahasa Arab yang mungkin takkan melakukan hal-hal yang buruk padaku. Bukankah beliau adalah tipikal orang yang baik? Bahkan dulu beliau selalu membelaku, jadi aku tidak perlu takut.

"Pak," panggilku saat kami tercegat lampu merah untuk yang ketiga kalinya.

"Ma 'al amru, Ya Syahza?" Pak Mursal bertanya, tanpa mengalihkan pandangan.

Dadaku bergetar mendengarnya, suaranya itu terdengar seperti lima tahun lalu, saat beliau mengajari kami bahasa Arab.

"Saya mau bertanya, biasanya ta'aruf berapa lama sih?" Kulihat beliau yang langsung mengalihkan pandangan, menatapku seakan penuh tanya.

"Tergantung, ada yang satu bulan, dua bulan dan paling lama itu sekitar tiga sampai lima bulan. Namun, ada yang lebih lama juga dari pada itu." Pak Mursal mengalihkan pandangan lagi dariku, mulai menginjak gas karena lampu yang sudah berganti.

"Oh," balasku sambil mengangguk. "Bapak bersedia tidak menjadi wali untuk proses ta'aruf-"

"Dengan siapa kamu akan ta'aruf?" potongnya, beliau bahkan menatapku tak terima. "Kamu serius mau menjadi istri kedua?" lanjutnya masih dengan raut wajah yang tak terima itu.

"Bukan saya," balasku cepat. "Lagipula belum tentu dia bersedia menikahi saya menjadi istri kedua. Karena dia hanya mencintai Azizah."

Keningnya berkerut, perlahan mobil memasuki area rumah sakit kota. Aku mengedarkan pandangan, menatap sekeliling yang ramai oleh para pengunjung dan pasien rumah sakit yang berkeliaran. Mobil-mobil mewah bersusun di kanan kiri mobil Pak Mursal yang baru terparkir, hingga akhirnya beliau mematikan mesin mobil dan melepas seatbelt.

"Turun," ucapnya membuatku menurut, langsung melepas seatbelt dan memegang handle pintu.

"Mau apa kita kemari?" tanyaku, saat sudah berdiri di belakang mobilnya.

Pak Mursal menekan tombol di kontak mobilnya, lalu berjalan lebih dulu kearah pintu masuk. "Kamu akan tahu nanti," balasnya membuatku memutuskan diam.

Sampai di meja resepsionis, Pak Mursal terdengar bicara beberapa hal pada suster cantik yang berjaga. Tapi aku tak terlalu memperhatikan, mengalihkan pandangan kearah para manusia yang semuanya tampak sibuk dengan urusannya.

"Ayo," ajaknya tiba-tiba membuatku menoleh dan kembali berjalan mengikuti.

Sampai di sebuah ruangan, beliau mengetuknya sambil mengucap salam.

"Assalamu'alaikum, Dokter," ucapnya sambil tersenyum, saat kami sudah masuk kedalam ruangan itu.

Aku sejenak hanya diam di sampingnya, melihat Pak Mursal yang tengah bersalaman dan bicara beberapa hal pada dokter lelaki muda itu. Name tag yang kubaca bertuliskan Zaky Maulana M. Entah apa M-nya itu, aku pun tak tahu.

"Ini orangnya? Wah masih muda sekali, berapa usiamu?" tanyanya, menatapku intens.

Ingin rasanya aku lari dari sini, pasalnya aku hanya sendiri yang berjenis berbeda dari mereka. Rasanya, ada ngeri dan tak nyaman yang kurasakan.

"Saya masih umur dua puluh dua, Dokter. Kenapa, ya?"

Bersambung!