Kuambil ponsel itu sambil berdecak, menatap layarnya yang tak di kunci oleh password atau sandi lainnya. Sesekali, ku lirik Pak Mursal yang diam tak menjawab, wajahnya masih belum berubah sama seperti tadi.
Mencoba mengingat-ingat, sepertinya aku tidak pernah tahu berapa nomor Azizah. Ditambah aku memang malas sekali berpikir sesuatu, membuatku memutuskan untuk menyerahkan ponsel itu tanpa menghubungi siapapun.
"Saya tidak ingat nomor Azizah, Pak," ucapku dengan tangan masih menggantung di udara.
"Coba kamu ingat-ingat lagi, soalnya saya tidak yakin jam berapa akan mengantarmu pulang," katanya sambil mengalihkan pandangan.
Aku menghela napas malas, lalu diam berpikir sejenak. "Saya tidak ingat, Pak. Saya malas berpikir karena takut pusing itu datang lagi. Saya juga belum minum obat pagi ini. Seharusnya saya minum saat di apotek tadi, tapi kedatangan Bapak membuat saya melupakan hal yang penting itu."
Aku menyerah, lelah sekali rasanya jika terus berpura-pura. Jika aku jujur seperti ini tentang penyakitku, aku akan mempunyai alasan untuk membuat Pak Mursal menjauh dariku. Entah mengapa, aku yakin sekali pertemuan-pertemuan kami selama ini adalah ulahnya yang di sengaja. Rasa-rasanya, terlalu naif kalau aku berpikir bahwa ini semua hanyalah kebetulan.
"Kamu mau kemana?" tanyanya saat melihatku mulai melangkah, bahkan kakinya mulai mengikuti kemana arah yang ku tuju.
"Kantin, saya mau membeli air minum. Mau minum obat," balasku, membiarkan Pak Mursal mensejajarkan langkahnya denganku tapi tetap berjarak beberapa meter.
Beliau tinggi sekali, saat berjalan beriringan begini aku dapat mengukur tinggiku yang hanya sebahunya.
"Kamu sudah sarapan?" tanyanya, menatap lurus kearah depan.
"Bapak bertanya pada saya?" Aku balas bertanya, membuatnya melirikku dengan ujung mata.
"Masih sakit begini pun kamu bisa menyebalkan, Ain. Entah apa yang mengubah dirimu menjadi sesosok yang berbeda seperti ini." Kami memasuki kantin yang ramai di isi oleh anak-anak yang menganggur, masih sama denganku yang menunggu pengumuman.
"Duduk di sana, saya yang akan membelikannya untuk kamu," ucapnya tegas, tapi aku langsung menggeleng.
"Tidak sepantasnya Bapak melakukan hal itu pada saya. Atas dasar apa?" Aku bertanya heran, tapi Pak Mursal hanya tersenyum tipis.
Senyum pertamanya setelah dari tadi memasang wajah dingin dan datarnya padaku.
"Kemanusiaan. Sudah, saya tidak ingin di bantah."
Aku memandanginya yang melangkah menjauh. Senyuman tak bisa lagi kusembunyikan. Sosoknya sama seperti kak Haikal, kakak lelakiku yang sudah lima tahun terpisah denganku. Dia perhatian, penuh kasih sayang, walaupun terkadang cuek. Sama seperti karakter Pak Mursal.
Melangkah menuju sebuah kursi, aku melihat ponsel beliau yang masih ada di tanganku. Dari dulu aku ingin sekali memilikinya satu, karena terkadang pekerjaan ataupun tugas kuliahku bisa melalui jurusan online. Laptop yang ada di rumah lah yang kami pakai bergantian, hingga terkadang aku yang sering terlambat mengirim tugas melalui email.
Kuletakkan ponsel itu di atas meja, kedua tanganku menangkup pipiku karena bosan. Dari jauh, aku melihat Pak Mursal yang sudah melangkah dengan membawa nampan. Bukan aku yang meminta beliau melakukan hal itu, 'kan beliau sendiri yang mau.
"Makanlah," ucapnya sambil meletakkan nampan berisi bubur ayam dengan potongan daun bawang dan juga dua gelas air.
"Sejak kapan ada menu ini?" tanyaku sambil mendongak, beliau masih berdiri dengan wajah datar. "Bukankah selama ini hanya ada bubur kacang hijau, ya, Pak?"
"Tinggal makan, Ain. Banyak sekali pertanyaan yang kamu ajukan dari tadi. Cepatlah, saya masih ada urusan setelah ini," balasnya sambil duduk, meraih ponsel yang ada di dekat tanganku.
Aku terdiam, mulai mengambil mangkuk putih porselen dengan uap yang harum bawang goreng yang menyeruak. Kusuap bubur itu ke dalam mulut, mulai menikmatinya tanpa memperhatikan Pak Mursal sudah tenggelam di balik layar ponselnya. Sambil makan, aku hanya diam. Sesekali teman satu divisiku yang lama datang menyapa, lalu pergi begitu saja setelah bicara beberapa kalimat.
Pak Mursal masih diam dengan gaya cool di tempatnya. Mengabaikanku dan juga para pekerja wanita yang mulai berbisik-bisik di belakang kami. Entah membicarakan apa, yang pasti aku juga tak begitu peduli.
"Kita mau kemana sih, Pak?" tanyaku, menyuapkan sendokan terakhir.
Wajahnya yang tengah menoleh kearah kiri, melihatku sekilas. "Nanti kamu juga akan tahu." Ditegakkannya tubuh saat melihatku meletakkan sendok, tangannya terulur menyerahkan air putih yang sudah ingin kugapai.
"Terima kasih," ujarku sambil tersenyum, sementara Pak Mursal hanya diam. "Bapak tidak makan? Sudah sarapan dari rumah, ya?" Aku bertanya, mengambil bungkusan obat dari dalam tas selempang yang kupakai.
"Saya sedang berpuasa," balasnya membuat gerakan tanganku terhenti.
"Ya Allah, maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau Bapak puasa, bisa-bisanya saya makan di depan Bapak."
Kulihat wajahnya tersenyum, lalu menggeleng sesaat. "Tidak apa, saya tidak akan tergoda walaupun kamu makan sebanyak-banyaknya di hadapan saya." Beliau memalingkan wajahnya, menatap kearah halaman samping. "Minumlah obatmu, kita akan pergi setelah ini."
Aku melihat perubahan sikapnya dari tadi. Sosoknya sudah kembali seperti guru SMA-ku dulu yang sulit di sentuh dan tak tersentuh. Walaupun hatiku sedikit sesak menyadarinya, tapi entah mengapa separuh hatiku yang lainnya tersenyum. Setidaknya aku masih berharap Pak Mursal mulai menjauhiku. Aku tak ingin, guruku yang baik dan penuh kasih sayang ini menyesal karena salah memilih pasangan hidup.
"Saya sudah selesai, Pak." Aku meletakkan air putih yang hampir habis. Obat itu pahit sekali, entah kenapa aku tak pernah terbiasa meminumnya walaupun sudah hampir empat tahun mengonsumsinya. "Pahitnya," lirihku menutup mulut seperti menahan muntah.
Kenapa obatnya bisa aneh begini? Sepertinya dulu tidak.
"Minum lagi, atau perlu saya pesankan teh?" tanyanya, memperhatikan raut wajahku yang berubah.
"Tidak perlu, Pak. Ini hanya sebentar saja," balasku cepat, lalu mengambil air putih dan meneguknya hingga habis.
"Kamu, selalu seperti ini kalau minum obat?" Pak Mursal bertanya, jari tangannya terketuk-ketuk di atas meja, seperti ekspresi orang yang sedang khawatir.
Aku mengangguk. "Jika obat yang ini iya, tapi saya jarang meminumnya karena mahal. Satu tablet bisa sampai lima puluh ribu. Karena saya gajian kemarin makanya saya mencoba untuk membelinya lagi. Saya tidak mau terlalu bergantung pada Aspirin."
Pak Mursal menghela napasnya dalam, masih melihatku sejurus. "Kamu mau sembuh, Ain? Atau, terakhir kali kamu periksa yang dua bulan lalu itu. Kata dokter yang memeriksamu masih ada harapan untuk sembuh tidak?" tanyanya membuatku mengangkat bahu.
"Saya tidak tahu kalau saat ini, Pak. Terakhir saya periksa, ada kemungkinan kecil untuk sembuh. Tapi, banyak sekali yang harus di lakukan." Aku berkata, melemaskan tubuh untuk bersandar.
"Termasuk?"
Aku menggelembung pipi, lalu menghela napas pelan. "Berhenti kuliah, jangan terlalu banyak berpikir, rajin olahraga, selalu melakukan rileksasi, sering cek-up, jangan terlalu lelah dan satu lagi mengikuti pengobatan kombinasi yang biayanya sangat besar. Sepertinya, bagi saya sendiri yang notebenenya hanya seorang pekerja pabrik. Hal itu tidak bisa saya lakukan dan juga kemungkinan saya untuk sembuh tidak akan bisa saya gapai."
Pak Mursal terdiam di kursinya, masih menatapku lurus. "Jika ada yang memintamu melakukan semua itu, apakah kamu bersedia?" tanyanya membuatku tak langsung menjawab.
"Saya bersedia menemanimu untuk melakukan semua metode itu, Ain. Bahkan saya akan menjadi penanggungjawab atas semua kebutuhan kamu. Saya bersedia menikahi kamu untuk membuat kamu sembuh. Kamu mau 'kan?" lanjutnya membuatku langsung tersedak ludah sendiri.
Menatap wajahnya yang tengah melihatku serius itu, rasa-rasanya aku tak percaya akan ucapannya. "Bapak serius? Saya belum tentu sembuh lho, kalau di dalam pernikahan nanti saya di panggil Allah, bagaimana?" pancingku membuatnya tersenyum tipis.
"Setidaknya saya dan kamu sudah berusaha, Ain. Apapun hasilnya, serahkan semuanya pada Allah. Saya sudah lelah dalam penantian, saya ingin segera mengakhiri amanah saya yang sudah kamu pegang selama bertahun-tahun ini."
Aku terhenyak mendengarnya. Apakah Pak Mursal memang masih mengenalku?
Bersambung!