"Aku ingin menjadi cinta terbaikmu, seperti kisah cinta Rasullah yang mencintai Khadijah, bahkan sembilan bidadari pengganti takkan bisa mengantikannya."
-Khadijah-
***
Sebuah kabar baik, Rumi akan bekerja di Belia Group. Ia sebagai manager pemasaran atas rekomendasi dari Mr. Lee.
"Ayah!"
"Ada apa, Nak?"
"Rumi akan bekerja di Belia Group."
Adnan langsung memeluk putranya,"Selamat ya, nak."
"Yah, kita akan pindah ke Istanbul!"seru Rumi.
"Istanbul? Turki?"
Rumi mengangguk,"Iya, kita berdua akan pindah ke sana, lalu memulai hidup baru."
"Ayah setuju, nak,"seru Adnan. "Kapan?"
"Bulan depan, Yah. Setelah dokumen-dokumen kita selesai."
"Sumpah demi Allah, Nak. Ayah sungguh bangga kepadamu."
"Iya, Yah. Semua ini berkat campur tangannya Allah SWT semata, tanpa ada campur tangannya, kita sebagai manusia bisa apa?"
"Iya, Nak. Allah memang maha baik, selalu berprasangka baik, maka Allah akan memberimu kebaikan, nak."
"Iya, Yah."
***
"Selamat pagi, Istanbul! Apa kabar Seoul?"
Khadijah membuka jendela kamarnya, tatapannya melihat langit. Ia menarik napas panjang, lalu ia hembuskan perlahan-lahan.
"Halo mentari yang selalu menyinari dunia, apa kau di sana juga menyinari dia? Seminggu sudah aku tak melihatnya, sungguh aku rindu akan dia."
Khadijah berjalan menuju balkon apartemennya. Ia sudah seminggu meninggalkan Seoul. Ia menikmati mentari pagi sambil tersenyum.
"Mentari kau begitu hangat, tapi kau tak bisa menghangatkan perasaanku, sungguh aku rindu dia dan keluargaku."
Khadijah melentangkan kedua tangannya, ia tersenyum untuk dunia. Ia ingin seperti langit yang mampu menyinari dunia tanpa lelah.
"Dunia itu begitu indah, karena sinar yang kau berikan. Bahkan, kau mampu menumbuhkan banyak tanaman, karena kekuatan sinarmu. Tapi, kau tak mampu menyinari hatiku saat aku mulai membutuhkan cinta."
Tatapan Khadijah kepada langit, cuaca kota Instabul begitu cerah. Ia menatap dunia dimulai dari pagi. Ia merasa begitu bersyukur Allah masih memberikannya kenikmatan yang tak pernah ada kata dusta.
Khadijah kembali masuk ke kamarnya, ia melangkahkan kakinya perlahan-lahan sambil sedikit menguap. Lalu, ia menutup kembali jendela kamarnya.
"Sungguh pagi ini adalah pagi yang terindah, karena aku terbangun akan mimpiku tentang dia."
Khadijah mulai berjalan, lalu mengambil handuk. Setelah itu, ia mulai mengambil sebuah karet dan mengikat dengan mencemol rambut.
Langkah kakinya menuju ke kamar mandi, lalu ia membuka pintu kamar mandi dan menutupnya kembali.
"Heeem," Khadijah mulai pemanasan tiap pagi, ia mengerak-gerakan seluruh tubuh, agar otot-ototnya tidak tegang.
Khadijah mulai mengambil sikat gigi, lalu mengoleskannya dengan pasta gigi. Kran air ia mulai nyalakan, lalu ia basahi sedikit sikat giginya. Ia mulai mengossok giginya.
Sebuah gelas, ia ambil. Lalu, mengisinya dengan air kran. Ia pun berkumur untuk membersihkan sisa busa pasta gigi.
Sabun cuci muka mulai Khadijah ambil dari skin care langgananya. Ia pun membuka tutupnya, lalu ia menuangkan ke telapak tangannya. Ia pun mengoles ke wajahnya hingga busa merata, lalu membilasnya kembali.
Khadijah mulai menyalakan kran pada bathup hingga penuh dengan suhu air hangat. Lalu, ia menuangkan sabun dan antiseptik ke dalamnya.
Baju yang melekat pada tubuhnya mulai ia lucuti, setelah itu ia masuk ke dalam bathup.
Khadijah menenggelamkan tubuhnya hingga batas lehernya sambil rileksasi, ia mengambil minyak aroma terapi di pinggir bathup. Lalu, ia menuangkan ke dalamnya dengan aroma vanilla kesukaannya.
***
Rumi sudah mempersiapkan semua dokumen-dokumennya, ia siap terbang ke Istanbul, Turki. Namun, ada rindu yang masih tertinggal di hatinya. Rindu akan hawa yang dirindukan.
Sudah hampir seminggu tak ada kabar dari Khadijah. Ia sungguh rindu kebawelannya. Ia mulai memikirkan perempuan cantik bertubuh mungil bak Hawa yang dirindukannya.
"Kamu, sekarang kok ngilang? Apa aku coba ya hubungin kamu?"
Rumi mengotak-atik ponselnya, ia mencari kontak line Khadijah.
"Apa aku coba hubungin dia?"
Rumi mulai mencoba mengechat Khadijah via line.
Anda 👨 : Assalamualaikum.
Pesan chat mulai terkirim ke ruang obrolan. Sudah menunggu hampir dua jam tidak ada notif pesan dibaca.
Rumi hampir aja dibikin stress akibat belum dibaca pesannya.
"Ya Allah kamu kemana sich, Dijah?"
Rumi pun penasaran mengecek lagi pesan chatnya. Tidak ada balasan sama sekali hingga ia tertidur di tikar depan televisi.
***
Khadijah dengan santai berjalan di Pantai, ia melihat birunya lautan dan coklatnya tanah. Ia akan memanfaatkan waktunya untuk sejenak menikmati indahnya kota Istanbul.
"Jika melihat ombak, ku merasakan perasaan rindu cukup kuat. Kau tau rindu ini bak deburan ombak begitu kuat hingga menghantam karang."
Khadijah menyempatkan dirinya untuk keliling seluruh kota Istanbul sebelum besok ia harus masuk kerja. Pekerjaan impian menjadi sebuah copy writer .
Khadijah membuka tas kecilnya, ia mencari ponselnya siapa tau ada pesan masuk.
"Ya ampun, ponselku pasti ketinggalan di Apartemen!" Khadijah menepuk kepalanya, ia memang ratu pikun sejagat. Suka lupaan kalau sama sesuatu, tapi ia tidak lupa akan perasaannya kepada Adamnya.
Karena sudah tanggung, Khadijah pun tidak berusaha kembali ke Apartemen. Ia melanjutkan perjalanannya ke sebuah kedai kopi yang cukup viral di kota Istanbul.
Khadijah memang maniak dalam urusan kopi, ia pun memiliki kebiasaan selalu mencari kuliner kopi.
Langkah kaki Khadijah menuju ke kedai tua, ia pun merasa sudah tak sabar mencicipi segelas kopi tubruk ala turki.
Aroma kopi di kedai tua itu begitu mengoda, Khadijah makin penasaran dibuatnya.
"Masyaallah, ganteng amat mas baristanya," batin Khadijah dalam hati.
Khadijah pun memesan kopi, ia menunggu sambil menikmati ciptaan Allah terindah.
"Ya Allah sumpah, barista itu bikin aku candu bak kopi. Rasanya seperti ngelihat pemeran utama film turki. Ah, pengen aku bungkus tuch barista. Tapi, aku tetap setia sama perasaanku ke Rumi."
Khadijah melamun, ia membayangkan kalau barista itu Rumi. Lelaki idamannya selama ini.
Secangkir kopi hangat sudah tersaji di atas mejaku. Ku menatap di dalam cangkir ada sebuah senyuman Rumi.
"Ya, ampun masa masih siang bolong gini, aku jadi ngelamunin kamu. Apa kamu di sana juga?"
Khadijah mengambil secangkir kopi yang tersaji di atas meja, ia mulai menghirup aromanya. Ia merasa aroma begitu memikat.
"Kenapa aku jadi rindu kemarin? di mana aku bisa menghabiskan kopi bersamamu. Ku ingat nyanyianmu membuatku ingin selalu bersamamu. Tapi, aku lebih suka saat kau melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang begitu syahdu. Sungguh kau aroma surga yang ku rindukan."
Khadijah merasa sangat lapar, ia memesan roti gandum bakar dengan selai coklat. Beberapa menit kemudia hidangan datang, lalu ia melahapnya. Tapi, satu hal ia rindu makan kimchi pedas di kedai langganannya di Seoul.
"Ah, aku pengen kimchi. Di sini ada nggak ya?"
****