Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 37 - Cuman Rindu

Chapter 37 - Cuman Rindu

"Di atas awan, aku melihat seberkas bayangan tentang dia," gumam Khadijah dalam hati. "Kenangan bersamamu, tapi aku ingin kita akan bertemu hingga menuju ke akad. Biarkan doa-doa ku cara Allah menjagamu, agar Allah menakdirkan aku sebagai tulang rusukku. Wahai Adam yang sungguh ku rindukan dalam tiap detik yang bergulir."

Khadijah menatap langit, seolah awan membentuk guratan wajah Rumi. Lelaki yang selalu ia rapal dalam setiap sujudnya.

Kenangan kemarin malam membuat Khadijah sebenarnya senyum-senyum sendiri. Ia masih ingat tentang lagu yang dibawakan oleh Rumi. Sungguh indah dan syahdu menghiasi malam itu.

Flashback On

Mengingat kebersamaan kemarin malam,

"Ehem, suara kamu ternyata bagus banget, Mas," puji Khadijah.

"Ya, cuman hobi aja, Jah."

"Tapi, sumpah keren banget! Terus aku kok baru denger lagu itu?" Khadijah memincingkan matanya.

Rumi hanya meringis menatap Khadijah malam itu, tatapan begitu menenangkan seolah membuat aroma surga yang tersembunyi.

"Kenapa segitunya kamu ngelihatin aku, Mas?"

"Ya, enggak apa-apa," jawab Rumi dengan begitu santai.

"Eh, kamu suka latte dari kapan?" tanya Rumi.

"Aku?" ulang Khadijah menunjuk dirinya.

Rumi menganggukkan kepalanya,"Iya, kamu. Emang ada yang lain?"

Khadijah menyengir,"Suka latte dari dulu banget. Semua itu, karena daddy yang pecandu kopi."

"Oh," respon singkat Rumi.

"Kalau kamu, Mas?"

"Sejak aku stay di Seoul," balas Rumi. "Lebih tepatnya sejak aku kerja jadi barista di Art Cafe."

"Sumpah kamu keren banget, kapan-kapan aku boleh donk cobain latte buatan kamu," cetus Khadijah sambil tersenyum.

"Ya, pastilah. Aku akan bikin kamu ketagihan sama latte buatanku," ucap Rumi.

"Iya, siap."

Obrolan malam itu membuat Khadijah makin enggan pergi, tapi ia harus pergi demi impiannya. Sejauh apapun itu.

Flashback Off

"Rasanya, aku nggak pengen ninggalin Seoul, tapi sayangnya aku harus pergi, tanpa kata pamit sekalipun itu," gumam Khadijah menatap awan.

***

Suara ketukan pintu kontrakan Rumi.

"Assalamualaikum," salam seseorang pria dari luar.

"Walaikumsalam,"sahut Adnan.

Rumi masih belum pulang dari Art Cafe, lalu Adnan membuka pintu kontrakannya. Ia melihat dua orang pria.

"Nak, sebaiknya kita pulang," ucap pria paruh baya seumuran Adnan kepada pria muda yang dipanggil nak, mungkin anaknya.

Lalu, kedua pria itu pergi begitu saja tanpa permisi saat Adnan membuka pintu kontrakannya. Ia merasa bingung dengan semua itu.

***

"Dad, kenapa kita harus balik?"

"Daddy, akan jelasin di rumah. Ingat kamu jangan balik lagi ke sana, atau berurusan dengan lelaki itu!"

Hasan hanya diam, ia bingung kenapa harus terjadi. Sungguh ia tidak mengerti.

"Dad?"

"Kamu sebaiknya nyalakan mobilnya, kita harus segera balik ke rumah," perintah Ayass.

"Itu sushi buat ayah."

"Loh, pasti ini mahal."

"Ya, ampun, Yah. Semahal apapun makanan, tak ada yang bisa membeli sebuah kasih sayang ayah dan anak."

Adnan menghela napas, ia seolah bersyukur bisa memiliki seorang anak seperti Rumi.

Rumi tumbuh dalam keluarga Kiai Abdullah. Keluarga yang memiliki latar belakang agama yang baik, bahkan pendidikan agama selalu nomer satu. Ia juga termasuk jajaran hafiz muda.

"Ayah, ngerasa orang tua yang sangat bodoh telah menyia-nyiakan anak sepertimu. Terlalu munafik ayahmu ini, tapi pantaskah ayahmu ini mendapatkan panggilan ayah darimu?" lamunan Adnan dalam menatap putranya yang tumbuh menjadi pria baik dan penuh kasih sayang.

"Ayah?!" tegur Rumi melihat Adnan sadari dari tadi menatapnya dalam lamunan.

"Oh,"

"Sushinya ya, cepet dimakan. Ini sushi terenak yang lagi viral, dan ini sebagian gajiku untuk ayah," ucap Rumi memberikan sebuah amplop untuk Adnan.

"Nak, kamu simpan aja. Ayah masih ada uang kok," tolak Adnan.

"Ayah, ini untukmu. Rumi sudah membaginya. Terimalah, yah," paksa Rumi, agar Adnan menerima amplop itu.

"Baiklah. Ayah akan menyimpannya, kalau kamu membutuhkannya, kamu bisa meminta ke ayah."

"Ayah, itu sudah jadi hak milikmu. Terserah ayah mau digunakan untuk apa."

Adnan tersenyum menatap putranya yang memiliki hati baiknya keterlaluan.

"Terima kasih, Nak. Ayah sangat beruntung bisa mempunyai putra sepertimu."

"Sama-sama, Ayah. Rumi juga bersyukur ternyata masih punya ayah."

"Baiklah, ayah akan makan sushi yang kamu belikan."

"Selamat makan,"seru Rumi sambil mengambil sushi dengan sumpit.

***

Istanbul, Turki adalah awal cerita baru kehidupan Khadijah. Ia merasa memulai kembali hidupnya. Bahkan, ia berharap kota ini membuat sejuta harapan untuknya.

Hai negeri 1001 malam...

Semoga awal ceritaku dimulai dari sini...

Sebuah usaha dalam impian besarku...

Dear Adamku...

Apa kabarmu di sana?

Kamu tahu di sini aku sedang menatap langit, berharap kau juga menatap langit yang sama...

Kamu tau, apa hal terberat meninggalkan Seoul?

Hal terbaratnya adalah kamu....

Kenapa?

Karena, aku pasti merindukanmu...

Rindu akan lantunan ayat-ayat sucimu

Rindu akan candu bersama secangkir kopi bersamamu...

Kau tau apa harapan terbesarku?

Harapanku, agar Allah selalu memberikan sebuah skenario berupa titik temu....

Semoga aja Allah memberikan jalan dalam titik temu melalui takdir menuju akad bersamamu....

Karena, aku menunggumu untuk menjadi calon imam di masa depanku...

Aku ingin kau mencintaiku seperti Rasullah mencintai Khadijah dengan apa adanya, bahkan cintanya tak pernah tergantikan oleh sembilan bidadari....

Sungguh, aku ingin kau mencintaiku dalam akad dan restu Allah nanti...

Semoga doa-doaku dapat mengikat hati dan cintamu untukku...

-Teruntuk Adam yang ku rindukan dalam doaku.-

Istanbul, 11-04-2020

Hari pertama di Istanbul, Khadijah meluangkan waktu untuk menulis puisi kerinduannya dalam sebuah catatan. Ia menuangkan perasaannya, karena hanya diary tempat keluh kesahnya.

Ponsel Khadijah berbunyi, terlihat sebuah pangillan VC dari dua sahabatnya yang sudah kembali ke Indonesia. Ia mulai mengeser tombol penjawabnya.

Terlihat dua orang sahabatnya, siapa lagi kalau bukan Fabian, dan Sera.

"Assalamualaikum,"salam penuh semangat dan kompak antara dua sahabatnya.

"Walaikumsalam, Fab, Ser."

"Widih, si sambal mercon udah nyampai aja Istanbul," cetus Fabian sambil senyam-senyum tidak jelas.

Khadijah hanya tersenyum.

"Eh, salamin donk buat cowok ganteng di sana! kalau perlu bungkusin dan paketin buat aku donk, Jah."

"Bungkusin? ngawur aja kamu, Ser. Ngapain cari yang interlokal? lokal kayak aku kan juga ganteng dan mempesona?"

"Halu banget kamu, Fab. Huek! sorry, aku nggak suka yang lokal, apalagi tipe kayak kamu! pengen aku karungin, terus aku hempasin ke Mars biar ketemu sebangsamu!"

"Anjay, kamu kira aku alien?"

"Ya, kamu itu alien! jadi maaf, aku nggak tertarik sama alien."

"Wussh, bacot kamu, Ser! awas kamu ntar jatuh cinta dari yang enek jadi klepek-klepek ama pesonaku yang mirip kayak pangeran William."

"Eh, halu amat, Pak. Muka kamu aja kusut, lecek, dan bikin sepet mataku. Ngaku-ngaku mirip pangeran William."

Khadijah hanya ketawa melihat dua sahabatnya beradu mulut.

"Kamu jangan ngomong kayak gitu, katanya Suzy kamu suka stalking IG aku ya?"

"Mana aku stalkingin makhluk alien kayak kamu. Ya Allah, amit-amit!"

"Jah, ngomong donk. Ketawa mulu kamu, ntar gigi kamu masuk angin!" cetus Fabian.

"Iya loch," cetus Sera.

"Mana ada bego!" balas Khadijah. "Eh, kalian berdua enak ya masih bisa deket, dan jalan barengan."

Sera nyengir,"Tanyain tuch Fabian, Jah. Tiap aku ngajak ngeteh, dia itu sok sibuk mulu."

"Ya, emang aku sibuk banget, dia aja yang hobinya molor mulu!"

"Sialan, kamu Fab. Aku juga sibuk tau, kerjaan lagi mengunung," ucap Sera mencari pembelaan dirinya.

"Eh, Ser. Kamu disana tinggal sama siapa?"

"Aku tinggal sendiri disini, Jah. Kenapa?"

"Terus papa kamu tau?"

"Tau, tapi dia biasa aja. Ngelarang pun enggak. Rasanya aku yang jadi anak tiri, bukan Naina."

"Sabar ya, Ser."

"Ya ampun, kenapa kamu rahasiain dari aku. Kan, kamu bisa tinggal di Apartemen keluargaku," sambung Fabian. "Terus kamu tinggal dimana sekarang?"

"Aku tinggal di kos an. Maklum ini sisa uang tabunganku mepet banget."

"Ser, aku juga sahabatmu. Kalau kamu butuh bisa bilang ke aku. Terus kamu udah dapat kerjaan?"

"Iya, Ser. Kamu udah dapat kerjaan belum?" timpal Khadijah.

Sera mengelengkan kepalanya.

"Jangan bilang kamu balik ke Indonesia cuman mau melarikan diri aja?" selidik Khadijah.

Sera mengangguk.

"Ya, ampun, Ser. Kenapa kamu nekat gitu? Otak kamu itu ditaruh dimana sich?" omel Fabian. "Kok nggak mikir sich! okay, kamu sekarang dimana? kamu kerja ama aku aja. Di Perusahaan bokapku lagi butuhin karyawan, dan aku butuh sekertaris. Kamu jangan nolak, atau aku akan memaksamu!"

"Tuch, dengerin Fabian, beb."

"Iya, ntar aku share lok lewat wa."

"Gitu, donk, Ser. Kita itu sahabat, bahkan ikatan darah kita lebih kuat dari saudara."

"Iya, bawel."

"Ya, ampun. Kamu dibilangin malah ngatain, awas kamu aku jitak online habis ini."

"Eh, udah dulu donk, kuota aku mau abis! aku pamit dulu yaa, maklum harus irit, bukan pelit. Kalian kan enak ada wifi, sedangkan aku pakai kuota sendiri. Kos an ku cuman kalangan elit alias ekonomi sulit,"ujar Sera.

"Iya, kita paham kok, Ser. Jaga dirimu, jangan sampai kamu sakit."

"Siap!"

"Okay, bye bye," kata Khadijah.

"Assalamualaikum," salam Sera.

"Walaikumsalam," balas mereka berdua.

Lalu, sambungan  VC terputus.

***