Hai bintang paling terang,
Ku ingin bercerita tentang dia,
Dia yang selalu ada dalam mimpiku,
Dia yang selalu ada dalam doa ku,
Dia adalah Hawaku,
Hawa yang ku rindukan,
Dia perempuan yang begitu berbeda pandangannya.
Tatapannya membuatku rindu suatu saat nanti,
Kini waktu tak berpihak,
Pamit...
Kata yang ku benci dari awal perpisahan ..
Atau dia benar-benar selamanya pergi...
Kau tau apa harapanku selama ini?
Ya, aku harap dia adalah calon makmum dalam keluargaku,
Aku mencintai dia bak Adam yang mencintai Hawa...
Tapi, percayalah cintaku tak akan melemahkan imanku,
Karena, aku ingin menyempurnakan imanku hanya bersamanya,
Assalamualaikum Hawa yang ku rindukan...
Semoga, kita bertemu dalam sebuah akad....
Teruntuk Hawa yang Ku rindukan dalam doa-doa ku.
-Rumi-
Rumi menulis sebuah pesan puisi cinta untuk perempuan yang ia beri nama Hawa. Ia sungguh mengagumi perempuan itu. Cantik dan cerdas, serta berakhlak baik. Dia juga unik, bukan hanya sekedar cantik rupanya, tapi hatinya.
Semenjak dekat dengan perempuan itu, ia selalu menuliskan beberapa puisi yang ia rangkai kata-katanya. Ia ingin suatu saat puisi-puisi itu bisa dibaca ulang oleh Hawanya, kalau memang jodoh. Jika tidak, mungkin ia akan mengirimnya ke penerbit, agar lebih banyak orang membaca puisi-puisinya, siapa tahu Hawa yang ia rindukan juga membacanya.
Rumi hanya mampu menulis dan merangkai kata-kata indah, meskipun tak pernah terucap langsung ke Hawa yang dirindukan.
"Rum, ayo makan!" ajak Adnan.
"Iya, Yah," Rumi keluar dari kamar, lalu duduk di tikar untuk makan malam bersama Adnan.
Adnan membuatkan mie instan dan telur ceplok dua mangkok yang sama. Karena hanya telur ceplok dibagi dua dan mie instan dua bungkus.
Kondisi seperti ini adalah ujian. Rumi bersyukur masih mendapatkan ujian dari Allah, karena ia masih mendapatkan perhatian dari Allah. Ujian hanya menguji dan menguatkan imannya.
Mereka pun makan bersama di atas tikar, sederhana adalah sebuah bahagia bersama orang-orang yang dicintai.
***
Khadijah merasa mengingat kejadian beberapa hari lalu, ia belum sempat mengucapkan kata 'Selamat Tinggal' bibirnya terasa kaku di hadapan Rumi.
Resto Gelato sebagai saksi mereka berdua bersama, namun tanpa suara. Hanya diam dan membisu dalam suasana. Saling memandang, namun tak bisa menatap satu sama lain. Jika Khadijah menatap, maka Rumi menunduk, begitu juga sebaliknya.
Tiga puluh menit terbuang sudah, tanpa kata, tanpa tema yang dibicarakan. Mereka hanya sibuk menyuap es cream gelato masing-masing. Lucu berdua, tapi tak saling bicara.
Mengingat semua itu, Khadijah merasa bodoh merutuki nasibnya. Sedekat itu, namun hanya kaku di bibirnya. Tenggorokan juga terasa gatal, ingin rasanya ia berkata dan mengenal Rumi lebih dekat.
Tatapan di langit-langit kamarnya sambil merebahkan tubuhnya yang lelah, karena harus seharian merawat Husein yang mulai aktif. Ya, setelah lulus kuliah, Khadijah hanya seharian rebahan, nonton drakor atau melakukan yoga ala kadarnya.
Bosan? sudah pasti Khadijah bosan, karena Fabian dan Sera udah balik ke Indonesia. Tinggal dia yang mempersiapkan visa kepergiannya ke Istanbul, Turki. Ia juga menyiapkan beberapa hadiah untuk lelaki idamannya.
Malam semakin larut, ia sudah mulai mengerjap-kerjapkan matanya. Lalu, ia putar lagu instrument Yiruma-Kiss on the rain. Ia mulai masuk ke alam mimpinya hingga terlelap sambil mendengkur tanpa ia sadari.
Ketika, memasuki alam mimpi. Khadijah melihat lelaki idamannya sedang duduk di bawah pohon sambil membaca AL-Qur'an. Ia pun mendengar suara lantunan yang begitu menyejukkan hatinya.
"Alangkah, indahnya suara itu," puji Khadijah, ia pun memperhatikan dari jauh.
Samar-samar wajahnya milik lelaki idamannya. Namun, saat langkah kakinya mendekat, tiba-tiba ia tersedot sebuah cahaya terang.
Pukul 03.00 sepertiga malam, Khadijah terbangun, ia langsung berjalan menuju ke tempat wudhu. Lalu, ia nyalakan kran hingga mengeluarkan air.
Khadijah mulai membaca niat berwudhu, lalu ia basuh sesuai urutan mulai telapak tangan hingga bagian kedua kakinya. Setelah itu, ia melangkah kedua kakinya kembali ke kamarnya, ia ambil sajadah dan mukena.
Sebuah sajadah mulai Khadijah gelar, ia mulai memakai mukenah. Ia mulai melakukan sholat sunnah tahajud dua rakaat, lalu ditutup oleh sholat witir tiga rakaat.
"Ya Allah, jangan sampai aku mengantuk," gumam Khadijah yang beberapa kali menguap seperti ada yang meniupnya.
Khadijah pun membaca surah AL-Hadid dengan begitu khusyuk, dilanjutkan membaca sholawat Nariyah, lalu ia berdzikir.
Suara adzan subuh pun berkumandang, namun saat ingin melanjutkan Khadijah kentut.
"Ya ampun kenapa harus si kentut datang!" gumam kesal Khadijah.
Khadijah kembali melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi, lalu melakukan wudhu kembali.
***
"Ya Allah, aku ingin bertobat, dan melanjutkan hidupku yang benar-benar ku jalani sia-sia," ucap Fabian setelah menunaikan shalat taubat nasu'ahnya. Ia menyesal dengan apa yang dilakukan dalam beberapa tahun ini.
Kehidupan Fabian, setelah kematian Ilham sungguh berantakan. Ia selalu tak pernah absen dari club. Tapi, ia melakukan itu sebagai pengusir rasa bersalahnya dari beberapa waktu itu.
Tahun 2010 kematian Ilham,
Pertengkaran antara Fabian dan Ilham, karena Ilham selalu dinomer satukan oleh kedua orang tuanya. Sikap ababil Fabian yang suka marah-marah tidak jelas ala-ala abg.
"Fab, lihat abangmu itu, contoh dia juga!"
Fabian kesal dengan pujian ayahnya yang terlalu berlebihan, apalagi melihat Ilham selalu mempunyai prestasi. Sedangkan, Fabian adalah anak yang lemah selalu dapat peringkat terakhir nomer satu di kelasnya.
"Fab?!"
"Apaan sich, kak!"
"Kamu kenapa sich, Fab?"
"Aku bingung, kenapa yang di mata ayah dan ibu, selalu kakak dan kakak! apa aku ini anak pungut?"
"Dek, kamu itu ngomong apa sich? ayah dan ibu sayang kamu!"
"Hah?" ejek Fabian. "Sayangnya mereka cuman ke kakak! ingat waktu aku minta mainan pesawat-pesawatan, ayah selalu bilang nanti dan nanti. Tapi, kalau kakak minta apapun, contohnya aja mobil-mobilan ayah selalu berikan tanpa bilang nanti!"
"Dek, kamu itu bilang apa sich, mungkin ayah belum punya uang?"
"Kalau aku lebih milih, lebih baik aku nggak punya kakak, atau nggak pernah terlahir dalam keluarga ini yang selalu jadi nomer dua, bahkan selalu mendapatkan sebelah mata!"
"Dek? mengertilah mereka sayang kamu juga!"
"Tauk, ya anaknya ibu dan ayah itu cuman kakak doank! mungkin aku terpaksa dilahirkan di dunia ini! jadi, mereka tak pernah menganggapku penting!"
Fabian pun langsung naik ke atas.
Malam itu adalah malam terakhir Fabian, 11 januari 2010. Ternyata, malam percekcokan itu membawa Ilham dalam sebuah kecelakaan tunggal.
Mengingat semua itu hanya penyesalan dan ingin adanya kesempatan kedua. Tanpa Fabian sadari kepergian kakaknya tanpa pamit, dan duka mendalam dalam keluarga Fabian. Kenyataannya lagi kalau Ilham adalah ternyata anak yang diambil di Panti Asuhan oleh keluarganya.
Fabian merasakan penyesalan mengingat masa lalunya selalu iri terhadap Ilham kakak tirinya. Ia merasa berdosa, ia merasa sangatlah bodoh.
Ilham selalu menjadi kebanggaan keluarga, apalagi ibunya sangat menyayangi Ilham dibandingkan dirinya yang anak kandungnya.
***
Khadijah melakukan pertemuan terakhirnya kembali dengan Rumi. Ia sudah menyiapkan satu selip surat dalam amplop. Ia merasa akan gugup, jika langsung berbicara.
Rumi sudah menunggu Khadijah, ia merasa penasaran, karena terlihat Khadijah memaksa sekali melakukan pertemuan itu. Ia pun datang sepuluh menit lebih awal. Ia juga ingin menyatakan perasaannya yang makin mengembang seperti adonan kue yang sudah diberi baking powder.
Coffee latte sudah tersaji di depan meja. Ia menunggu sambil menatap langit cerah dari dalam jendela cafe.
Pukul tujuh malam, pandangan Rumi tertuju pada pintu keluar masuk. Terlihat perempuan berkerudung biru dengan tunic warna pink dipadukan legging hitam. Sedang berjalan ke arahnya menggunakan sepatu kets putih. Serta, memakai tas ransel kecil berwarna hitam. Dia adalah Khadijah. Bagi Rumi perempuan itu bak Hawa yang dirindukan dalam setiap malam-malam panjangnya.
Rumi memperhatikan perempuan bernama Khadijah yang terlihat anggun dan natural tanpa polesan make up tebal. Perempuan itu hanya memakai bedak tipis dan lip tint ala korea.
"Assalamualaikum, maaf menunggu," sapa Khadijah sambil menaikah senyum di bibirnya.
"Walaikumsalam, tidak masalah. Karena, aku saja yang datangnya terlalu awal," balas Rumi mengukir senyuman di bibirnya. "Silahkan, duduk."
"Terima kasih," balas Khadijah.
Kedua manik mata mereka tidak sengaja bertemu satu sama lain. Lalu, tumbuh perasaan canggung diantara mereka. Mulut mereka sama-sama ingin terkunci seketika.
Pandangan Khadijah mengedarkan ke seisi cafe.
Suara deheman Rumi membuat Khadijah mulai mengalihkan pandangannya ke satu titik temu yaitu ke Rumi.
Jantung Khadijah tak henti-hentinya berdebar-debar. Ia sungguh merasakan bak lompat dari ketinggian, lalu ke kolam renang. Sensasinya sungguh luar biasa.
"Selamat malam, kakak. Mau pesan apa?" tanya pelayan perempuan.
"Eh, iya. Ternyata kita belum pesan ya?" cetus Khadijah.
Rumi tersenyum,"Iya," singkatnya.
"Coffee latte!" kompak Rumi dan Khadijah.
"Kalian pasangan yang serasi, dan kompak!" seru pelayan cafe.
Mereka berdua saling bertatapan. Lalu, melempar senyuman.
"Sumpah, ternyata aku dan dia punya varian rasa yang sama!" seru batin Khadijah.
"Masyaallah, apa jangan-jangan dia adalah Hawa yang akan menjadi jodohku?" tanya batin Rumi.
Mereka saling melamunkan apa yang dipikirkan, sedangkan sang pelayan berusaha untuk menyadarkan mereka dalam lamunan.
"Kak?"
"Masyaallah!" seru mereka kompak.
"Kalian ini jodoh pasti!" cetus pelayan cafe.
Mereka hanya tersipu malu ala meong.
"Okay, dua coffee latte," ulang pelayan cafe. "Apa ada tambahan lagi?"
"Double shoot espresso, jangan lupa," tambah Khadijah. "Hot dan less sugar."
"Sama," tambah Rumi.
"Oh, ya mbak sama Fish and chips yaaa,"sela Khadijah.
"Terus?"
"Heem, sama makroni schootel," tambah Khadijah. "Kamu mau tambah apa, Mas Rum?"
"Aku cuman kopi aja," balas Rumi.
Rumi hanya pesan kopi, karena ia dari kontrakan sudah makan. Ia sudah kenyang.
"Baiklah, saya akan ulang pesanan kakak. Dua hot coffee latte extra double shoot espresso, satu fish and chips dan satu makroni schootel, apa masih ada tambahan lagi?"
Mereka hanya mengelengkan kepala.
"Baiklah, silahkan ditunggu dan kakak bisa santai dulu menikmati suasana cafe kami. Terima kasih," ucap pelayan cafe.
Pandangan Rumi tertuju pada sebuah piano di ujung. Ia merasa pernah bermain terakhir di Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Kiai Abdullah. Sebuah kerinduan akan suasana kota Magelang. Kota tempat ia dibesarkan dan bisa seperti ini.
"Mas Rumi? kok ngelihatin piano? kenapa nggak dimainin aja?"
Rumi tersenyum,"Emang boleh? bukankah hanya pajangan?"
"Pajangan?" ulang Khadijah.
Rumi mengangguk.
"Ya, enggaklah, Mas," ucap Khadijah. "Di sini itu kadang ada live musik, cuman sekarang aja nggak tahu ada apa tidak," Khadijah mengangkat kedua bahunya.
Sepuluh menit pesanan telah sampai diantar pelayan. Lalu, menyajikan di depan meja mereka.
"Pesanan sudah lengkap, apa ada bantuan lagi, Kak?" tanya pelayan laki-laki.
"Ada, Mas," cetus Khadijah.
"Apa, kak?" tanya pelayan laki-laki itu sambil membawa nampan kosong.
"Apa boleh teman saya memainkan pianonya?" tanya Khadijah. "Kalau enggak boleh ya enggak apa-apa mas. Kan saya cuman tanya aja," cerocos Khadijah.
"Boleh banget, kak. Biasanya tiap malam ada live musik, kebetulan penyanyinya dan bandnya lagi cuti hari ini. Kalau kakak mau mengisi live musik, kita senang sekali. Karena bisa menghibur pengunjung," ujar pelayan laki-laki.
"Heem, saya pinjam gitar aja, mas. Karena saya lupa cara main pianonya," ucap Rumi.
"Baiklah, silahkan," kata pelayan laki-laki itu memberikan izin.
Rumi pun berjalan ke tempat dimana terletak beberapa alat musik ditemani oleh pelayan laki-laki itu. Sedangkan, Khadijah hanya bisa duduk sambil menunggu Rumi bermain gitar dan bernyanyi.
Rumi mencoba check sound dulu, lalu ia duduk sambil memegang sebuah gitar. Tatapan Khadijah tertuju padanya.
Instrument gitar mulai dipetik.
"Selamat malam semuanya pengunjung di Cafe Hola," sapa Rumi. "Saya akan membawakan lagu ciptaan saya, yang saya persembahkan untuk perempuan cantik di meja no 17. Semoga hati siapa saya yang dilanda duka akan terobati, dan yang bahagia akan selamanya bahagia. Semoga kalian senang dan suka mendengarnya."
Khadijah mendengarkan suara Rumi. Ia merasa kaku dan membisu. Ia pun duduk sambil menikmati suasana itu.
"Ya Allah, apa ini akan jadi lagu perpisahan antara aku dan dia?" batin Khadijah.
Setelah selesai menyanyikan lagu itu, beberapa pengunjung memberikan standing applouse termasuk Khadijah.
Rumi kembali melangkah menuju ke mejanya, ia melihat perempuan cantik itu. Dia adalah Khadijah perempuan yang selalu ada dalam doanya.
"Wow, kamu keren!" puji Khadijah sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Biasa aja, Jah. Cuma hobi aja," balas Rumi.
"Aku nggak nyangka kamu bisa sekeren itu tampil di depan! suara sungguh syahdu!"
Mereka pun mulai larut dalam obrolan hingga waktu memisahkannya.
***