Chereads / Takdir Istri Bayaran / Chapter 5 - Bunga tidur

Chapter 5 - Bunga tidur

"Baby, sekian lama aku menunggumu. Kenapa baru sekarang kamu kembali? Pulanglah, Baby. Pulanglah. Aku dan anak kita membutuhkanmu," ucap Benny sembari mendekati sang istri dengan perlahan

Arabella membalas dengan senyuman lalu ia juga mendekati suaminya hingga ia memberikan pelukan.

"Aku sangat merindukanmu, Baby." Benny membalas pelukan dengan begitu erat tapi, tiba-tiba Arabella melepaskan pelukan itu bahkan ia sudah berdiri sedikit menjauh.

"Baby, kenapa kamu menjauh? Tolong bawa aku bersamamu, ku mohon ...," rengek Benny sembari terduduk dengan lemas sampai meneteskan air matanya.

Arabella tersenyum melihat suaminya menangis, lalu ia berkata. "Tersenyumlah untukku juga untuk anak kita, Sayang. Jangan menangis karena aku selalu ada di sisimu di sini, di hatimu."

"Tapi, Baby. Aku tidak bisa tersenyum jika tidak ada kamu di sisiku. Bawa aku bersamamu, Baby. Aku tidak sanggup lagi untuk berdiri sendirian tanpamu." Benny menundukkan kepalanya sambil terus menangis.

"Sayang, aku tahu kamu suami yang begitu mencintaiku. Jadi tersenyumlah jangan terus bersedih, dan berikan kebahagiaan untuk Berlyn. Sayang, aku pamit pulang," ucap Arabella yang tiada hentinya melukiskan senyuman meskipun ia merasakan kesedihan jika melihat suaminya menangis.

Benny terkejut saat mendengar istrinya pamit. Ia mencoba memanggil namun, sosok Arabella telah hilang bahkan danau indah itu juga hilang. Hingga akhirnya dirinya terbangun dan sampai-sampai wajahnya basah karena tangisan dari dalam mimpinya.

Ia lalu bangkit dari tidurnya sembari melirik kearah anaknya lalu mengambil photo kenangan bersama dengan Arabella. Hingga ia menatapnya penuh kasih sayang bahkan membawa kedalam pelukannya. Seakan ia merasakan jika sedang memeluk istrinya.

"Baby, aku selalu berharap jika kamu bisa membawaku ikut denganmu. Tapi, mustahil Tuhan lebih mencintaimu. Dan apa maksudmu dengan kebahagiaan Berlyn? Bukankah jelas anak kita hanya akan bahagia jika ada kamu di sini. Huuf rasanya sangat berat hidupku seperti sudah tidak tahu lagi arah. Besok aku harus mengunjungi makam mu sebelum aku berangkat ke kantor," gumam Benny yang terus memeluk bingkisan itu tanpa hentinya.

Ia lalu membawa bingkisan itu untuk tidur di sampingnya sambil memeluk sang anak juga benda itu. Hingga akhirnya ia kembali tertidur pulas.

Khuwaa ... Khuwaa .... Suara tangisan bayi hingga membuat tidur Benny terganggu. Rasa kantuk masih menghantuinya namun, ia terpaksa bangkit dari rasa ternyaman demi si buah hati.

Benny mencoba untuk mendiamkan anaknya namun, sayang bayi kecil itu masih terus menangis. Ia kesusahan menemukan sebab anaknya menangis. Hingga akhirnya Benny menggendong Berlyn untuk dibawa ke kamar pelayan.

"Lena, tolong buka pintunya sebentar!" Teriak Benny berusaha membangunkan Lena di tengah malam.

Tak berapa lama pelayan itupun keluar lalu terkejut menatap Tuan Putri sedang menangis di dalam gendongan papanya.

"Tuan, sini biarkan saya yang melihat kenapa Tuan Putri bisa menangis," ucap Lena.

"Tidak perlu, biarkan aku yang menggendong anakku. Kamu cukup periksa dari sana kenapa anakku menangis tiba-tiba," perintah Benny yang begitu posesif terhadap sang anak.

Lena menepuk jidatnya sendiri menatap tuannya yang begitu aneh, lalu ia berkata. "Tuan, jika aku hanya melihat dari sini bagaimana caranya aku tahu? Mungkin popoknya sudah penuh. Coba saja Tuan periksa."

Benny langsung mendengar ucapan dari pelayan. Ia pun bergegas menidurkan anaknya lalu melihat kebawah. "Duh ... ternyata benar sudah basah."

Dengan sangat hati-hati Benny melepaskan popok anaknya. Meskipun ia sedikit kesusahan namun, ia tetap mencobanya. Tapi, Benny akhirnya terpaksa meminta pelayan itu membuang sisa kotoran.

Nafasnya memburu saat menatap sang anak sudah terdiam lalu kembali tertidur. Rasanya benar-benar melelahkan menggantikan tugasnya wanita, batinnya.

Saat itupun Lena datang menghampirinya. "Sudah saya katakan, Tuan. Sebaiknya carikan saja Ibu sambung untuknya."

Mendengar hal itu membuat Benny kesal. Ia membalas dengan tatapan tajam sampai membuat Lena berlari menjauh. Merasa sudah tenang Benny akhirnya memutuskan kembali tertidur.

Berhembus bersama mentari, waktu kembali berganti. Jendela pagi perlahan terbuka menyingkap tirai matahari berkaca. Benny menatap keluar jendela. Lalu ia bergegas untuk bersiap-siap berangkat sembari membangunkan anaknya tidur.

Seperti janjinya untuk membawa sang anak bertemu dengan Ibunya. Mereka berdua berjalan menyusuri pemakaman hingga berhenti tepat di makamnya Arabella.

Entah kenapa hari itu Berlyn tidak mau turun untuk mendekati makam ibunya. Dia terus berada di dalam gendongan Benny. Sampai membuat Benny kebingungan padahal ia sudah berkali-kali mencoba menurunkan sang anak.

"Mungkin Berlyn kelelahan, sebaiknya aku membawanya kesini lain kali," gumam Benny.

Benny pun memutuskan untuk kembali. Saat ia berjalan tidak jauh dari tempatnya berdiri ia menatap seorang wanita yang juga sedang duduk didepan. Merasa kebingungan hingga akhirnya ia berjalan lebih mendekat.

"Sepertinya itu Bianca. Makam siapa yang dia kunjungi? Ah sudahlah sebaiknya aku tidak perlu memperdulikan wanita itu," gumam Benny seraya melangkah pergi.

Namun, saat dia sedang melangkah pergi tiba-tiba Berlyn menangis hingga membuat Bianca menoleh kearah mereka. Bianca menatap bos bersama anaknya dengan mengerutkan keningnya.

Ngapain bos galak itu ke makam? Bawa anak kecil lagi. Apa sebaiknya aku langsung pergi? Atau aku harus menyapanya? Duh ... sapa ajalah daripada nanti dimarahin lagi pas di kantor, batin Bianca.

Bianca berjalan pelan-pelan kearah bosnya. Lalu ia menyapanya. "Um, Pak. Kenapa Bapak berada di sini?"

"Lalu kamu kenapa ada di sini?" jawab Benny dengan memberikan pertanyaan kembali. Sampai membuat Bianca menelan ludahnya sendiri.

Apa sih di tanya baik-baik bukannya jawab malah tanya ulang. Coba kalau bukan atasan ogah banget ku sapa, kesal Bianca di dalam hatinya.

"Maaf, Pak. Saya kesini hanya untuk bertemu dengan orang tua saya yang sudah di langit. Lantas Bapak sendiri kenapa?"

"Mau ketemu istri saya, ya sudah kalau begitu saya duluan ya," pamit Benny yang langsung melangkah pergi.

Bianca menatap keheranan kearah Benny. Ia pun ikut berjalan pergi di belakang meskipun tidak terlalu dekat. Saat itu juga Benny teringat akan satu hal.

Apa sebaiknya aku ajak barengan aja ke kantor sekalian aku mau omongin masalah baby sitter? Ya sudahlah daripada di tunda lagi. Sebaiknya memang harus aku mencarikan pengasuh untuk anakku, batin Benny yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan.

Benny menoleh ke belakang tepat saat itu pula Bianca yang tidak terlalu memperhatikan jalannya hingga membuat mereka berdua hampir saling bersentuhan. Keduanya sama-sama terkejut sembari menatap satu sama lain. Tatapan mereka bertemu dengan begitu lama.

Pak bos tampan sekali. Tapi, sayang orangnya galak banget. Coba aja kalau aku bisa jadi istrinya bos pasti hidupku enggak akan sengsara, batin Bianca di saat mereka masih bertatapan.

Sama halnya dengan Benny. Ia juga tidak menjauhkan pandangan matanya sampai batinnya berkata. Mata Bianca persis seperti istriku. Rasanya mereka memiliki kemiripan. Ah mana mungkin. Istriku tidak mirip dengan siapapun. Istriku adalah wanita paling cantik jadi tidak ada yang bisa menggantikan kecantikan istriku.

Keduanya sadar setelah mereka telah saling berkompromi dengan hatinya. Benny pun memalingkan wajahnya begitupun dengan Bianca yang mulai salah tingkah sampai ia mengusap rambutnya berkali-kali.

"Ehem, ehem!" Benny pura-pura serak.