"Ayo sini tanda tangan," perintah Benny sembari menyerahkan kertas itu.
"Um, baik, Pak," Bianca langsung menyetujuinya.
Duh ... Kalau cuma jadi Ibu sambung dalam waktu lama begini bisa-bisa mati berdiri aku apalagi ketampanan Pak Benny akhir-akhir ini mengganggu pikiranku. Gimana kalau sampai nanti aku jatuh cinta? Semoga saja nanti aku bisa mengendalikan kegilaan ini, batin Bianca sembari menandatangani perjanjian itu.
Bianca masih mencari jawaban dari pemikirannya sendiri hingga ia tidak menyadari bahwa Benny sedang menatap kearahnya lalu tiba-tiba tung! Dengan sengaja Benny menjatuhkan buku agar lamunan gadis itu buyar. Hingga benar sampai membuat Bianca tersentak lalu mendadak berpaling kearahnya.
"Udah selesaikan perjanjiannya. Jadi kalau tidak ada pertanyaan silahkan keluar," ketus Benny.
"Um, sebentar. Apa artinya saya akan menjadi istri sahnya, Bapak?" tanya Bianca dengan kepolosannya.
"Iya benar kita akan menikah, tapi setiap bulannya aku menyewa jasamu untuk anakku. Bedanya jika saya menjadikanmu baby sitter hanya menjaganya sejak bayi. Namun, kita berbeda. Kamu akan menjadi Ibu dari anakku dan nantinya kita akan melakukan perceraian setelah semuanya selesai. Kalau begitu silahkan keluar kurasa semuanya sudah jelas," cakap Benny dengan tegas.
Bianca pun menganggukkan kepalanya sembari menunduk untuk permisi keluar. Tiba di luar langkahnya begitu pelan. Ia masih memikirkan apa yang baru saja ia lewatkan.
"Aku akan menjadi istrinya bos. Tapi, hanya istri bayaran. Kupikir aku akan dijadikan Ibu sambung dan melakukan tugasnya sebagai suami. Eh tunggu, harusnya aku yang melakukan tugas sebagai istri karena bagaimanapun juga aku akan tetap menjadi istri sahnya. Ya benar, sebaiknya memang benar," gumam Bianca dengan sangat pelan. Namun, beberapa kata sempat di dengar oleh orang lain yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Rey tiba-tiba duduk disampingnya lalu ia kebingungan. "Menjadi istri sahnya? Memangnya siapa yang akan menikah, Bianca?"
Ya ampun sejak kapan Rey di sini? Apa mungkin dia hanya mendengar ucapan itu? Duh ... sebaiknya aku merahasiakan dari semua orang daripada nanti bos malu ada istri seorang office girl sepertiku, batinnya Bianca.
"Ti-tidak ada, Rey. Aku hanya sedang berpikir kalau temanku akan menikah dan menjadi istri sah dari atasannya. Oh ya, kamu sendiri ngapain di sini? Kerja sana," sahut Bianca sembari menyuruhnya pergi.
"Memangnya kenapa dengan temanmu? Hey! Apa kamu lupa ini sudah waktunya makan siang? Ayo kita makan, aku akan mentraktir mu siang ini," ucap Rey sembari tersenyum manis.
Bianca menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Maaf, Rey. Bukannya aku tidak bersedia tapi, alangkah baiknya kalau Vivian yang makan siang denganmu. Dia pacarmu dan sudah seharusnya. Kalau begitu aku pergi makan siang sendirian ya."
Dengan cepat Bianca berlari meskipun Rey belum menjawab ucapannya. Saat itu dia Rey berpikir.
"Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bianca padaku tapi, sebenarnya apa? Haruskah aku bertanya langsung? Ah sial! Asti Bianca tidak akan memberitahu ku. Hanya ada satu orang yang bisa mencari tahu. Aku harus menghubungi Nick," gumam Rey sembari mengeluarkan ponselnya.
Belum selesai dia mengambil ponselnya di saku celana tiba-tiba Vivian datang langsung mengejutkan Rey dengan menepuk bahunya hingga ponsel itu jatuh ke lantai. Betapa tidak terduga Vivian justru akan membuat suasana hati pacarnya itu tidak baik. Tatapan Rey justru melotot kearahnya.
"Kamu kebiasaan ya datang-datang main kagetin orang! Kalau ponselku rusak gimana? Emang kamu mau tanggung jawab semua data-data yang ada di ponselku ini hilang? Siang-siang udah bikin mood orang berantakan!" kesal Rey sembari mengambil ponselnya yang jatuh.
"Duh ... Maaf, Sayang. Aku enggak sengaja. Lagian kamu sih di sini ngapain sendirian? Aku cariin di ruang kamu enggak ada. Harusnya itu kamu tungguin aku keluar biar kita bisa makan siangnya bareng," sahut Vivian tanpa ada rasa bersalah.
"Enggak usah manja deh! Kamu kan punya kaki bisa jalan sendiri makan siangnya. Udah ah males aku sama kamu. Mendingan kita temuin orang tua kita supaya batalin acara perjodohan ini. Dah aku mau pergi," ketus Rey sembari melangkah pergi tanpa menunggu Vivian menjawab ucapannya.
Menghentakkan kaki dengan keras hingga rasa marah membuat nafas Vivian naik turun tidak karuan. Ia pun bergumam. "Dasar! Pasti semua ini gara-gara wanita sialan itu. Rey sampai enggak pernah mau baik sama aku. Padahal kurangnya aku apa coba? Udah cantik, kaya, seorang sekretaris lagi. Idaman semua laki-laki tapi, justru pacarku lebih milih buat dekat-dekat sama wanita itu! Aku enggak akan pernah mau batalin perjodohan kita ini."
Vivian pun pergi melangkah dengan amarah yang masih ia pendam. Ia mencari di mana keberadaan pacarnya hingga ia menemukan Rey sedang berdiri di sudut ruangan seorang diri sampai membuatnya curiga.
"Enggak biasanya dia berdiri di situ sambil mau nelepon orang lagi. Apa dia mau selingkuh? Sebaiknya ngintip ah," gumam Vivian dengan pelan sembari mencari posisi agar tidak ketahuan.
Rey yang sedari tadi ingin mencari tempat untuk menghubungi adiknya. Dia pun sudah menemukan posisi yang tepat lalu menghubungi Nick. Tapi, Rey tidak tahu jika ada Vivian yang sedang berusaha mengintip pembicaraannya.
Panggilan pun terjawab. "Kenapa, Kak? Baru aja tadi ketemu di kantor terus udah nelepon gua," sahut Nick dari sebelah ponsel.
"Begini tadi aku sempet denger kalau Bianca bahas istri sah-sah gitu jadi aku penasaran dari cara jawabnya sih dia gelagapan. Jadi aku mau supaya kamu tanya langsung ke dia. Soalnya diakan lebih terbuka kalau bahas apapun itu ke kamu," ucap Rey memberikan perintah.
"Oh ... begitu. Mudah kok ya sudahlah, Kak. Gua lagi dijalan pulang nih. Gua tutup telponnya ya," sahut Nicky sembari mematikan ponselnya sebelah pihak.
Rey yang sedari tadi merasa tenang sudah memberitahukan kepada adiknya. Ia pun berjalan untuk menemui Bianca untuk makan siang bersama.
Beda halnya dengan Vivian. Dia yang sedari tadi menguping masih juga belum menemukan jawaban dari hasil yang ia dengar justru membuatnya bertambah kebingungan. "Aneh, kenapa sampai Rey utus adiknya buat nanya ke Bianca? Sepertinya memang ada sesuatu."
(Malam tiba, rumah Bianca)
Bianca sedari tadi hanya menatap keluar jendela. Ia dengan sengaja duduk di tepian meskipun udara malam itu begitu sejuk. Namun, rasa segar yang ia dapatkan meskipun harus menghirup udara malam. Saat itu pula dirinya tiba-tiba terbayang sosok wajah atasannya. Wajah Benny yang begitu dingin terlintas di dalam benaknya bahkan saat sedang memandang bintang-bintang di langit malam justru wajah Benny terlihat di sana sedang menatap kejam kearahnya. Dengan cepat Bianca mengusap-usap matanya sembari sesekali melihat keatas langit.
"Duh ... aku udah gila kali ya masa lagi malam begini lihat langit malah wajah dia yang nampak. Mungkin aku terlalu kepikiran kali ya apalagi bentar lagi aku bakalan jadi istrinya. Tapi, kalau diperhatiin dia tampan banget apalagi senyumannya. Andai aku bisa mengusap wajah tampannya itu. Ihh ... apaan sih aku mikir kejauhan!" ucap Bianca seorang diri yang seperti orang gila.
Saat dirinya sedang senang-senangnya memikirkan wajahnya Benny. saat itu pula tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya hingga membuat haluannya pudar.
"Siapa sih malam-malam malah bertamu ke rumah gadis," omel Bianca sembari melangkah untuk keluar dari kamarnya.