Chereads / Takdir Istri Bayaran / Chapter 6 - Saya mau jadi istri, Bapak

Chapter 6 - Saya mau jadi istri, Bapak

"Ehem, ehem!" Benny pura-pura serak.

"Um, Pak. Maaf, kenapa Anda tidak lanjut jalan?" tanya Bianca mencoba memberanikan dirinya.

"Ah! Tentu saja saya akan lanjut jalan tapi, sebelumnya apa kamu juga ingin bekerja? Jika ya maka mari kita sekalian. Oh ya tolong jangan anggap apapun karena saya hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu." Dengan begitu serius Benny menyahutnya.

"Oh baiklah kalau begitu, Pak," sahut Bianca dengan cepat.

"Ya sudah kalau begitu apa kamu bisa nyetir mobil? Kalau bisa bawakan mobil untuk saya," perintah Benny sembari mengeluarkan kunci mobilnya.

Bianca menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, lalu ia menjawab. "Anu, Pak. Saya tidak bisa bawa mobil soalnya saya belum pernah punya mobil."

"Ya sudahlah kalau begitu, saya yang nyetir."

Tiba di dalam mobil.

Benny sudah merasa aman karena anaknya sedang tertidur di kursi belakang. Ia sesekali melirik kearah Bianca. Ingin bicara namun, ia melihat gerak-gerik Bianca yang mulai terlihat aneh. Ia duduk dengan tidak tenang. Berkali-kali wanita itu terlihat gelisah bahkan ia terus memegangi rambutnya seperti sedang ketakutan.

"Anda kenapa?" tanya Benny dengan ketus.

"Oh enggak apa-apa, Pak. Saya hanya baru ini naik mobil bareng bos. Jadi sedikit grogi," sahut Bianca dengan jujur sembari menatap kearah lain.

Duh ... bukan karena itu. Makin lama kalau dilihat-lihat Bapak makin tampan, manis, penyayang anak kecil lagi. Jadinya enak gitu kalau dipandang terus. Mana satu deretan lagi duduknya. Berasa jadi nyonya besar. Astaga! Haluan ku kayaknya harus di obati nih, batin Bianca yang sudah semakin merasa resah.

Tanpa menjawab ucapan Bianca. Benny mendekatinya hingga membuat jantungnya Bianca ingin jatuh dari dasar jurang. Ia menahan nafasnya sembari menatap Benny dengan penuh kebingungan.

Aduh ... kenapa Bapak Benny mau dekat-dekat ya? Jangan-jangan mau cium saya lagi. Ya udahlah tutup mata ajalah daripada malu, batin Bianca yang langsung menutup matanya.

Saat itu juga Benny melirik kearah gadis itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan. Ia hanya ingin mendekati gadis itu karena pintu mobil yang tidak kuat ditutup. Melihat kelakuan aneh sampai membuat Benny menggelengkan kepalanya lalu ia menutup pintu mobil tanpa memikirkan apapun dan langsung kembali fokus menyetir.

Beda halnya dengan Bianca yang sedari tadi menutup matanya tapi, belum ada tanda-tanda bibir orang bersentuhan dengannya. Lalu perlahan-lahan ia membuka mata dan menatap bosnya sedang menyetir tanpa melirik kearahnya.

Dengan cepat ia memalingkan wajahnya sembari menepuk jidatnya sendiri tanpa mengeluarkan suara. Duh malu banget lagi. Mau di taruh di mana ini muka. Sadar Bianca, jangan terlalu berharap dan ngehalu. Mana ada bos setampan dan sekaya Pak Benny mau sama aku. Sebaiknya sok-sokan main ponsel ajalah, batin.

Benny tidak terlalu memusingkan apa yang dilakukan oleh gadis itu. Ia pun tiba-tiba memanggil Bianca. Sampai membuat Bianca berpaling seratus delapan puluh derajat dengan cepat.

"Begini, Bianca. Sebenarnya aku mengajakmu ikut ke kantor bareng karena ada hal yang mau aku katakan," ucap Benny tanpa menatap wajah gadis itu sambil memarkirkan mobilnya sembarang tempat.

Mendengar hal itu membuat hati Bianca dag-dig-dug. Ya ampun apa aku salah denger? Pak Benny bilang mau katakan sesuatu. Astaga! Apa jangan-jangan dia mau ngelamar aku jadi istrinya? Duh .... Kalau beneran aku jadi malu nih. Mana aku enggak pakai make up lagi. Kalau misalnya nanti aku di cium kaya di sinetron terus di peluk gimana dong?! Batin.

Lamunannya buyar ketika Benny tiba-tiba menjentikkan jarinya tepat di keningnya Bianca. Hingga membuat Bianca terkejut.

"Hey! Sedang mikir apa kamu?" tanya Benny sembari memicingkan matanya menatap kearah Bianca.

"T-tidak ada, Pak. Lalu Bapak tadi mau katakan apa?"

Apa sih Pak Benny suka banget bikin orang jantungan, batin Bianca.

"Jadi begini, Bianca. Aku tidak mungkin bisa menjaga anakku selama dua puluh empat jam apalagi kalau harus setiap saat membawanya ke kantor. Jadi aku mau kalau kamu jadi baby sitter untuknya. Bagaimana apa kamu bersedia untuk menjaganya? Masalah gaji jangan khawatir dua kali lipat dari gaji kamu bekerja menjadi office girl akan saya berikan."

Dua kali lipat?! Wah ... lumayan tuh bisa buat bertahan hidup selama sebulan. Tapi, jangan deh. Sebaiknya aku mengatakan sesuatu terlebih dahulu, batin Bianca.

"Um, Pak. Saya mau, tapi apa tidak sebaiknya Bapak mencarikan seorang Ibu sambung untuknya? Yah walau bagaimanapun juga dia pasti membutuhkan seorang Ibu sambung. Apa tidak sebaiknya Bapak lebih membutuhkan seorang istri? Em, saya mau kok jadi Istri, Bapak!"

Pengakuan Bianca benar-benar membuat Benny terkejut sampai menatap Bianca dengan tatapan tajam. Sebaiknya Bianca, dia justru menutupi wajahnya sembari memalingkan wajahnya karena malu.

Dengan cepat Benny menarik tubuh Bianca untuk menatap wajahnya, lalu ia berkata. "Apa maksudmu dengan menjadi istriku?"

Bianca menggelengkan kepalanya saat mendengar pertanyaan itu, sontak membuatnya terkejut. "M-maaf, Pak. Aku tidak bermaksud apa-apa, sungguh!"

Gadis ini sangat berani berbicara apapun. Apa sebaiknya memang aku harus menjadikan dia Ibu sambung untuk anakku? Duh .... kenapa ucapannya sama dengan ucapan Lena? Batin Benny sembari menatap Bianca dari atas sampai kebawah.

"Baiklah kalau begitu aku mau menjadikanmu Ibu sambung untuk anakku tapi, kita harus membuat perjanjian. Ya sudah sebaiknya kita harus pergi ke kantor segera. Nanti aku akan mengabari mu jika perjanjian itu sudah ku buat," ucap Benny sembari menghidupkan kembali mobilnya.

Dengan cepat Bianca menelan ludahnya sendiri. Astaga! Jadi Pak Benny setuju. Ya ampun! Aku akan jadi istrinya bos. Duh ... mimpi apa aku semalam, batin Bianca begitu bahagia sampai rasanya ia ingin melompat-lompat bahkan mendadak ia mengigit bibir bawahnya sendiri sembari menahan senyumnya.

Tiba di kantor.

Bianca turun dari mobil bersamaan dengan Benny. Namun, saat itu juga tidak jauh dari tempat mereka Vivian menatap dua orang itu hingga membuatnya kebingungan.

"Loh? Kok bisa Bianca turun dari mobil Pak Ben? Apa mereka memiliki hubungan khusus? Tapi, sepertinya tidak. Mana mungkin seorang bos mau dengan office girl apalagi Pak Ben belum bisa melupakan istrinya. Memang gadis itu tidak tahu malu sudah mendekati pacarku sekarang malah mendekati bosku, harus diapain ya biar jera itu orang?" kesal Vivian sambil mengepalkan tangannya bahkan dengan tatapan tajam.

Bianca yang tahu diri karena tidak pantas berjalan masuk bersamaan dengan bos. Ia akhirnya perlahan mundur dan berjalan dengan sangat pelan sambil melirik kesana-kemari untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya. Merasa lega hingga ia mengusapkan dadanya lalu melangkah normal untuk menuju kebelakang untuk bekerja. Tapi, langkahnya terhenti saat tiba-tiba seseorang mencekal lengannya hingga membuatnya berpaling.