Angin sepoi memberikan ketenangan terhadap seorang gadis yang tengah dilanda resah, penawaran dari Erina membuatnya bingung antara menerima atau tidak. Jujur saja layaknya kebanyakan orang mengenai definisi cinta pada pandangan pertama, saat ini terjadilah pada Alara. Gadis sederhana sepertinya mana boleh berharap memiliki nasib seperti Cinderella, tapi Allah pun maha mengetahui isi hati setiap insan. Tidak akan ada yang tahu bagaimana endingnya bukan?
"Hai!" Sapaan dari seseorang yang baru saja mengisi pikirannya membuat Alara bertanya-tanya, rasa gugup tidak mampu dia sembunyikan.
"Ha...hai, Tuan! Kenapa Tuan ada di sini?"
"Aku ingin menyakan sesuatu?"
Deg
Apa yang ingin ditanyakan? Apakah dia mengetahui apa yang gadis itu lakukan kepada ibunya? Atau mungkin masalah perjodohan atau bagaimana? Pertanyaan demi pertanyaan berputar bak Rotasi bumi tanpa henti.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Mama begitu menyukaimu hingga membuatku harus menikah denganmu?" To the point. Tanpa embel-embel kesopanan, Arvin lantang menanyakan apa yang baru saja diminta oleh sang Mama.
"Sa...saya tidak melakukan apa-apa, Tuan! Saya juga tidak tahu." Melihat tatapan yang menusuk, Alara menunduk menghindari lebih baik dari pada menambah aura dingin pada pria tampan di sampingnya.
"Aku harap kamu bisa jujur dengan ucapanmu." Tidak ingin berlama-lama dalam radius dekat dengan gadis yang membuat dunianya runtuh, Arvin beranjak menjauh.
***
"Ma! Beri satu alasan yang membuatku harus menikah dan melindungi dia. Tolong kasih Arvin alasan yang logis," seru Arvin kala membuka pintu ruang rawat inap yang masih setia ditempati oleh Erina.
"Tidak perlu kamu tahu hal besar apa yang dilakukan Alara untuk Mama. Satu hal yang pasti, SAMPAI KAPAN PUN MAMA HANYA INGIN ALARA YANG MENJADI MENANTU MAMA," tekan Erina. "Bahkan jika Mama harus mati, di surga sekali pun hanya Alara yang Mama inginkan tidak ada yang lain," Lanjutnya. Arvin mengacak rambutnya kasar.
"Kenapa Mama menjadi egois seperti ini? Mana Mama yang selalu mendukungku di setiap langkah Arvin Ma?"
"Justru karena Mama sangat mencintai kamu, oleh sebab itu Mama mau memberikan istri yang baik seperti Alara. Satu kali saja, tolong kamu menerima Alara dengan hati yang tulus. Cintai dan lindungi dia disisa umurmu." Erina membuang nafas panjang, dia tahu pasti akan sulit meyakinkan putranya. Ingin sekali dia memberi tahu fakta sebenarnya, namun janji mengikatnya untuk bungkam.
Tak habis pikir, Arvin pun meninggalkan perempuan yang sudah melahirkannya dengan tatapan sendu dan penuh harap yang tentunya akan membuat Arvin cepat luluh karena bola mata indah tersebut. Bukannya ingin melawan tapi Arvin sudah memiliki calon tersendiri.
Senja sudah terlihat di ufuk barat. Arvin duduk di sebuah cafe ternama, menikmati setiap alunan musik. Akan tetapi lagu yang didengarnya masih tidak mampu mengurangi beban pikiran yang tengah dia pikul saat ini. "Sorry bro, gue telat," sebuah tepukan di pundak belum juga menyadarkan lamunan Arvin.
"Arvin," sedikit menaikkan oktaf suara, akhirnya Arvin sadar akan kedatangan sepupu sekaligus partner kerja di perusahaan yang ada di Jakarta.
"Eh. Maaf...maaf aku tidak mendengar kedatanganmu," sesal Arvin.
"Yah! Bagaimana kamu bisa tahu jika otak kamu berkelana kemana-kemana." Ansel menarik nafas sejenak. "Ada apa? apa kamu sedang ada masalah?" Ragu namun harus dikeluarkan unek-unek yang tengah membelenggunya, setidaknya dengan berbagi akan bisa mengurangi sedikit beban yang ada.
"Aku kecewa dengan Mama!" Ansel menautkan kedua alisnya belum mengerti. "Dengan seenaknya sendiri Mama mengambil keputusan soal kehidupanku." Arvin berusaha mengontrol emosinya. Setiap teringat niat sang ibu yang begitu dicintainya, selalu menimbulkan emosi yang rasanya ingin segera dilampiaskan tapi dengan siapa dan apa? Ansel masih setia mendengar kelanjutan sesi curahan hati Arvin tanpa mau mencela terlebih dahulu.
"Mama ingin, aku menikahi gadis salah satu karyawannya. Jelas aku pasti menolak karena aku sudah memiliki kekasih hati dan kami akan menikah dua bulan lagi setelah aku menyelesaikan tender yang sudah ku menangkan seminggu yang lalu."
"Benarkah?" Raut wajah Ansel berubah serius. Mencoba berpikir segala kemungkinan yang membuat wanita panutannya menjodohkan sang adik sepupu dengan gadis dari kalangan biasa.
Memang sih, Erina terkenal akan kebaikan, lemah lembut, sifat dermawan, dan tentunya akan menjadikan dirinya obyek bagi orang yang suka memanfaatkan karakter Erina yang bisa di bilang naif.
"Apa kamu sudah menanyakan alasan kenapa kamu harus menikahi wanita itu?"
"Ya, tapi jawaban tidak memuaskan yang harus ku telan."
"Sebaiknya kamu selidiki dulu latar belakang wanita itu, selanjutnya terserah padamu." Paham akan maksud Ansel, Arvin mengangguk.
"Aku akan mencari tahu besok."
Gelas berisi jus pesenannya telah datang. Karena haus melanda, Ansel segera meraih dan meminumnya hingga setengah dari gelas berwarna putih bening itu.
"Aku ingin memberikan laporan tentang rapat kemarin dengan perusahaan dari Jepang, masih sanggup untuk mengerjakan hari ini atau...?"
"Hari ini saja kita selesaikan semua, besok aku ingin fokus pada penyelidikanku." Pria di depannya terkekeh.
"Gak perlu seserius itu juga kali bro! Ingat waktumu masih panjang. Aku yakin dalam sehari saja kamu akan segera memperoleh apa yang kamu mau."
"Pasti, aku tidak suka kegagalan, apa lagi masa depanku menjadi taruhannya." Mengangguk cepat, lelaki bak dewa Yunani itu setuju dengan apa yang diucapkan Arvin
"Gue dukung selalu dirimu bro."
"Terima kasih, tapi aku meminta bantuanmu ya untuk menyelidiki gadis tersebu!" Kali ini rasa dukungan sedari tadi berubah jadi rasa malas.
"Huft kamu ini, ujung-ujungnya kenapa harus gue lagi sih yang susah? Tahu begini tadi gak perlu deh ngasih pencerahan ke otakmu yang dangkal itu," geramnya sedikit kesal.
"Gak mau nih?" Mata Ansel memutar malas, pasti di ending akan ada ancaman sehingga membuatnya mau tidak mau menuruti keinginan sahabat, sepupu, sekaligus rekan kerjanya.
"Ciihhh, dasar merepotkan." Arvin cekikikan sembari menyeruput jusnya.
***
Di Rumah Sakit, kembali Alara mencoba berbicara lagi kepada Erina agar mau mengurungkan niatnya yang menurut Alara itu hal mustahil.
Tok tok tok
"Masuklah!" Perlahan Alara mendekati brankar yang ditempati Erina, tak terlihat gurat wajah kesakitan seperti sebelumnya. Semakin hari semakin membaik pula keadaan wanita setengah abad itu.
"Assalamualaikum, bu Erina."
"Waliakum salam, masuklah nak!"
"Bu, apakah ibu sudah makan dan meminum obatnya?" Tanya Alara sebelum mengatakan tujuan utama mendatangi sang bos.
"Sudah, Alara sudah makan nak," Ucap Erina lembut.
"Sudah, bu."
"Bagus, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Jika itu sampai terjadi, maka akulah manusia pertama
dengan rasa bersalah yang menjulang tinggi." Alara pun tersenyum simpul.
"Ibu jangan berlebihan, saya baik-baik saja kok bu! Yang terpenting sekarang adalah kesehatan ibu, ibu harus segera pulih dan kembali ke butik. Barusan Ara telefon jika dia keteteran menangani butik sendiri. Apa lagi sebagian besar pelanggan ibu yang dari kalangan pemerintah mintanya hanya ibu sendirilah untuk membuat pesanan mereka. Erina mengukir senyum terindahnya.