Mau tidak mau, Alara hanya bisa pasrah dengan keputusan Arvin. Memang dia begitu mengagumi pria itu, tapi dia sadar diri siapa dirinya. Lantas, apa mau dikata jika Arvin sendiri telah menerima keputusan untuk menikahinya. Bahagia? Tidak perlu dipertanyakan lagi. Sedih? Pasti.
Alara tidak ingin ada udang dibalik batu atas persetujuannya menikah dengan gadis tidak sederajat di lihat dari segi mana pun.
Setelah mengungkapkan niatnya Arvin mengantar Alara pulang ke kos yang hanya cukup untuk satu orang. Tepat disebuah rumah bertingkat dengan banyak pintu berhadapan, Arvin menghentikan deru mobilnya. "Te...terima kasih Tuan!" Tidak ada sahutan, akan tetapi gadis itu tidak mau ambil pusing. Tangannya segera meraih handle pintu mobil, namun terhenti kala mendengar sebuah suara.
"Nanti sore kamu bersiap karena kita harus ke butik untuk memilih gaun pengantin!" Mata bening Alara langsung melotot ke arah Arvin, mungkinkah akan secepat itu persiapannya? Tanpa banyak bicara lagi Alara hanya mengangguk lalu segera keluar dari mobil. Rasanya panas dingin berada dalam radius dekat dengan lelaki berjenggot tipis itu. Hatinya serasa ingin lompat keluar dari tempatnya.
Arvin masih setia melihat punggung calon istrinya hingga menghilang. Kedua sudut bibirnya tanpa sadar terangkat, sangat manis dan tampan. "Sepertinya kamu masih takut denganku," gumamnya. "Baiklah, mungkin aku harus memperbaiki citraku di matamu lebih dulu. Setelah kamu berada dalam genggamanku, kamu akan tahu siapa diriku sebenarnya. Entahlah, apa sebenarnya tujuanmu! Jika tidak karena kamu sudah menolong mamaku, aku tidak akan pernah sudi menikahi perempuan sepertimu. Mungkin hanya itu yang bisa aku balas untuk kebaikanmu. Menikah tanpa hati hanya raga saja," gumamnya.
Arvin memutar balik mobilnya lalu melaju cukup kencang ke kantornya. Di Loby Ansel sudah menanti kedatangan sang bos yang parlente dan sok jaim itu. Melihat tubuh jangkung Arvin, Ansel pun segera mendatangi sepupunya. "Kenapa kamu? Ada yang aneh dengan wajahku?" Ansel masih memberi tatapan tidak percaya, dia baru saja menerima panggilan dari Erina memberitahu jika Arvin sudah setuju atas perjodohan itu.
"Apa aku tidak salah dengar dengan info pagi ini?" Arvin menautkan keningnya tidak mengerti.
"Maksud kamu?"
"Iya, apa kamu memiliki rencana tersendiri sehingga mau menerima perjodohan itu?" Netra Arvin semakin tajam menatapnya, merasa ada yang salah dengan perkataannya, Ansel mencoba mengulangi kalimatnya.
"Eh em maksudku bagaimana bisa kamu tiba-tiba mau menerima Alara, bukankah kemarin kamu menolaknya?"
"Di depan kamu memang aku tidak setuju, tapi aku belum pernah bilang tidak dihadapan mama." Lelaki itu menarik nafas lalu menghembuskannya secara kasar.
"Setelah memikirkannya, mungkin inilah yang membuat mama harus balas budi dengan gadis itu. Kamu boleh menyebutnya pernikahan tanda jasa." Masih dengan kebingungannya sendiri, tanpa sadar Arvin sudah berjalan mendahuluinya masuk ke dalam lift.
"Eh tunggu, apa maksudmu?" Ansel mengejar, namun sayang pintu lift sudah tertutup rapat.
"Ah, sial. Apa maksudnya coba? Pernikahan tanda jasa? Apa yang dimaksud adalah pernikahan balas budi? Ya Tuhan jangan sampai Arvin berniat mempermainkan Alara saja, apakah aku harus mencegahnya?" Ansel bermonolog sendiri dengan pikiran kacau, antara kasian tapi dia juga bingung harus melakukan apa jika Arvin sendiri sudah memutuskan.
Alara masih duduk termenung di kasur lantai dalam kamarnya, "Kenapa begini? Bukankah seharusnya putra ibu Erina menolaknya? Tapi kenapa dia menerimanya? Haduh aku jadi pusing sekali dari tadi memikirkan semua ini, ya Allah bantu Alara semoga hal baik selalu Engkau beri buat Alara amin."
Puas dengan segala pemikiran yang ada, Alara menuju kamar mandi. Dia harus pergi ke butik sekarang, biarlah nanti sore Arvin menjemputnya di butik tidak di kosan. Beberapa menit Alara sudah terlihat cantik dengan sedikit polesan tampil sempurna walau memakai pakaian biasa, namun itu tidak mengubah pahatan sang pencipta yang tampak mempesona.
Tepat pukul 16.30 dari balik kaca ternyata mobil Range Rover sudah standbye. Akan tetapi bukan pria yang sama seperti tadi pagi melainkan pria paruh baya dengan seragam hitam sesuai pekerjaannya yaitu sopir pribadi. Alara keluar dan segera sopir suruhan Arvin mendekat, menyampaikan pesan sesuai yang diperintahkan oleh atasannya.
Tidak perlu waktu lama, Alara menuruti ucapan si bapak yang ditebak sekitar umur 40 tahunan untuk memasuki mobil. Butuh waktu kurang dari satu jam, kini mobil sudah memasuki area parkir butik yang tak kalah bagus dengan milik Erina. "Kenapa memilih tempat ini? Kenapa tidak mengambil butik milik ibunya sendiri, sudah terjamin juga kualitasnya. Cuma beda produk lokal sama luar negeri sajakan?" Sungguh Alara tidak habis pikir dengan isi dalam kepala para orang kaya. Bagi mereka mungkin menghamburkan uang ratusan juta itu bukan apa-apa. Tanpa mereka tahu jika diluaran sana banyak orang yang demi menghasilkan uang seribu rupiah pun butuh pengorbanan yang menguras keringat.
Selesai fitting baju Alara kembali diantar oleh sang sopir menuju tempat ternyamannya tanpa ada gangguan ketika istirahat. Semua sesuai arahan dari Arvin, rencana pernikahan akan digelar semeriah mungkin seperti keinginan Erina. Hingga tepat hari ini, acara sakral itu terjadi, sebuah keputusan yang nantinya pasti merubah kehidupan Alara 180 derajat sudah ada di depan mata.
"Saya terima nikahnya Alara Fredela dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta uang sebesar 500juta dibayar tunai." Dengan satu tarikan nafas, Arvin lancar mengucapkan ijab Qobul.
"Gimana saksi, sah?"
"Sah."
"Alhamdulillah." Arvin menengadahkan pandangannya ke samping, sosok cantik berbalut kebaya putih dengan jilbab yang begitu rapi dan menambah keindahan gadis yang baru saja sah menjadi istrinya. Pria itu cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya, dia tidak menyangka jika gadis sederhana yang selalu dicela olehnya mampu membuat hatinya berdesir, jantungnya berdetak tidak karuan.
"Cantik." Satu kata yang membuat sang gadis menunduk malu.
Erina mendudukkan Alara disebelah Arvin, "Ayo cium tangan suamimu dulu, nak!" Alara mengulurkan tangan ragu, sedangkan Arvin segera meraih tangan Alara kemudian adegan wajib untuk seorang istri mencium punggung tangan suaminya pun terjadi. Begitu pun Arvin, segera mencium kening sang istri.
Wajah semua orang begitu bahagia, bahkan beberapa teman dekat Alara turut berbahagia. Hanya Ansel sedari tadi menunjukkan wajah masam, dia menyadari jika Arvin tidaklah tulus. Sangat jelas di raut mukanya ada rencana yang tidak dia ketahui.
"Semoga kamu selalu membuatnya tersenyum Arvin. Jika tidak, mungkin aku akan menggantikan dirimu sebagai posisi suami dan aku tidak perduli hubungan saudara diantara kita," lirih Ansel bicara sendiri sembari menatap indahnya pesona kecantikan Alara saat ini.
"Selamat ya Ra, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah," seru Kerin dan Novi yang menghadiri pernikahan anak bosnya.
"Terima kasih Rin, terima kasih Nov. Semoga kalian segera menyusul ya!"
"Amin...." Setelah kepergian kedua teman Alara, Arvin tiba-tiba meraih tangan Alara yang sudah dingin karena gugup.
"Tuan," pekik Alara merasa tangannya ada yang menggenggam.
Dengan senyumnya yang khas Arvin tunjukkan dan berkata lembut, "Kenapa tanganmu sangat dingin? Apa kamu sedang grogi? Grogi karena apa? karena sudah sah menjadi istriku atau karena tidak terbiasa dengan pesta dari kalangan orang kaya?" Pertanyaan menohok sukses membuat tubuh gadis itu membeku. Salah, ternyata sentuhan itu bukan membuatnya merasa tenang. Namun sebaliknya, pria itu hanya ingin membuatnya sadar jika dirinya memang berbeda dengan mereka semua.