Pov Alara
Aku terkejut akan pengakuan dari mas Arvin, ternyata selama ini dia menderita impoten. Jujur saja, aku kecewa sekaligus sedih. Kenapa tidak sedari awal dia memberitahu padaku, setidaknya sebelum pernikahan ini terjadi.
Bukan, bukan maksud hati untuk tidak menerimanya gara-gara penyakitnya itu! Hanya saja aku kehilangan harapan besarku untuk bisa merasakan menjadi wanita seutuhnya. Tidak munafik jika aku ingin memiliki keluarga yang sempurna dengan cinta dari suami serta beberapa anak-anak lucu yang tentunya akan menjadi teman dikeseharianku kala mas Arvin bekerja, tapi semua itu hanya menjadi sebatas asa.
Selepas kepergian mas Arvin, kutitikkan air mata ini yang sudah kutahan lajunya sedari tadi. "Ya Allah cobaan apa lagi ini? Apa yang harus aku lakukan? Bisakah mas Arvin sembuh dan kami bisa meraih surga di dalam pernikahan kami?" kupeluk erat kakiku yang menjadi tumpuan kepalaku.
Kulirik tas punggung yang kubawa dari tempat kos, sudah pasti tidak ada banyak pakaian di dalamnya karena memang bajuku bisa dihitung dengan jari saja. Sebuah buku kotak dengan alat tulis bolpoin di dalamnya ku raih, dan mulai mencoret kertas itu dengan tulisan jelekku. Ku ungkapkan risau yang tengah melanda hatiku. Puas dengan segala cuitan di buku diaryku, membaringkan tubuh yang lelah adalah salah satu keinginan untuk segera mencapai alam mimpi, berharap bisa menemukan keindahan didalamnya.
Pagi menyongsong, mataku siluet akibat pancaran sinar mentari yang masuk langsung ke bilik kamar. "Astagfirullah ya Allah, aku bangun kesiangan!" tanpa ba-bi-bu tubuh ini berlonjak turun dari ranjang menuju kamar mandi. Ku sambar alat sholat yang sudah tersedia karena memang dari semalam aku sudah meminta petugas hotel untuk menyiapkan pakaian utamaku ketika menghadap Tuhan.
Ku keluhkan semua yang terjadi pada-Nya, hanya Tuhan yang bisa membuatku lebih tenang dan menjalani hidup dengan baik. Seusai melipat mukenah dan sajadah, terdengar suara pintu terbuka. Ternyata mas Arvin yang datang, oya semalam kemana dia? Mungkinkah dia tidur di bar karena menemani koleganya? Ingin sekali bertanya namun takut. Cepat-cepat aku pun memakai kerudungku, biarlah mas Arvin melihatnya sekilas toh dia sudah halal bagiku syukur-syukur bisa menarik syahwatnya.
Ku tepuk jidatku saat pikiran aneh melayang bebas di kepalaku, "mikir apa kamu Lara, jangan ngaco." Mas Arvin ternyata melihat tingkahku. "Kamu kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Seolah mengerti apa yang berputar diisi kepalaku dia langsung meminta maaf untuk kesekian kali.
"Maafkan aku," ucapnya sambil menunduk, tergambar jelas kesedihan di wajahnya karena tidak bisa menjadi suami seutuhnya. "Mas, jangan meminta maaf lagi! Sungguh aku tidak apa-apa kok!" Sebuah sentuhan di punggung kuberikan berharap dia tidak merasa bersalah lagi sehingga tidak mengulang permintaan maaf lagi dan lagi, rasanya panas sekali di kuping.
"Mau sarapan dibawah atau di sini?" karena malas sekali untuk jalan keluar, aku memilih sarapan di kamar. "Sebaiknya di sini saja, Mas! Aku malas sekali bertemu banyak orang, apa lagi dengan para kolegamu. Aku masih malu."
Mas Arvin memegang gagang telefon dan menyampaikan menu kami pada pihak Restauran di hotel ini. Selesai dengan pesanan, kami menunggu dalam suasana hening. Bukan hanya aku yang canggung namun sepertinya mas Arvin enggan mengajakku bicara lebih dulu.
Tiga puluh menit kemudian hidangan sudah tersaji di meja, aku dengan telaten menyiapkan makanan di piring mas Arvin dan juga milikku. Makan pun juga dalam keadaan hening, hingga makanan kami tandas barulah pria dihadapan aku ini mengeluarkan sebuah suara. "Bersiaplah! Kita hari ini akan segera kembali kerumah kita."
"Rumah kita?"
"Kenapa? Bukankah benar, rumahku menjadi rumah kita?" tanyanya balik.
"Eh... iya maaf, Mas." Ku putar pandanganku pada setumpuk piring kotor dan mengambilnya menyisihkan di tempat yang sudah tersedia.
"Sudahlah jangan kamu beresin yang tidak perlu kamu beresin, lebih baik kamu persiapkan semua barang-barangmu dan juga milikku. Kita pulang!" Tegas, tentu membuatku sedikit menciut mendengar ucapannya.
"I...iya Mas." tanpa diperintah dua kali, segera ku laksanakan seperti kemauannya.
Sampai di parkiran mas Arvin menata ransel juga koper yang kami bawa, tak berapa lama mobil melaju memecah keramaian kota. Aku fokus dengan gawaiku sesekali melihat motor, mobil yang berlalu lalang berebut jalan. Hingga pada lampu merah, aku melihat sepasang suami istri yang renta menjual mainan anak dan dagangannya pun hanya berapa biji saja. Pakaiannya terlihat sangat lusuh, sang istri membawa sebungkus nasi dimakan berdua dengan suaminya. Romantis bukan? Semoga saja pernikahanku dengan mas Arvin juga bisa seperti pasangan lanjut usia dihadapan aku.
Saat terhanyut oleh drama yang membuatku trenyuh, tiba-tiba segerombolan preman kampung merampas paksa uang di saku sang bapak. Semua yang melihat hanya menjadikan tontonan tanpa mau membantu. Tanpa memperdulikan pria di sebelahku yang tengah kesal menanti lampu hijau, aku segera turun menghampiri orang tua tersebut.
"Ibu, Bapak, kalian tidak apa-apa?" tangisan pilu kentara di wajah keduanya, sungguh aku pun tidak tega melihatnya. Buliran bening turut jatuh dari pelupuk mataku.
"Ibu jangan sedih ya," hiburku berharap bisa mengurangi penderitaannya, masih saja mereka bungkam dan akhirnya aku mengeluarkan pecahan seratus ribu 20 lembar, biarlah aku keluarkan semua gajiku bulan ini asal Bapak dan Ibu itu bisa tersenyum kembali.
Aku tidak khawatir lagi soal, uang toh mas Arvin telah memberi kartu ATM khusus untukku.
Sesuai dugaanku, sang istri tersenyum disusul oleh suaminya dan segala ucapan terima kasih terlontar berulang kali. Aku bahagia akhirnya mereka bisa tertawa kembali, aku iri dengan kehidupan mereka walau pun kekurangan dalam hal ekonomi tapi dua insan tersebut begitu kaya akan cinta dan kasih sayang.
. Mulai hari ini aku berjanji akan belajar menjadi istri yang baik bagi mas Arvin, akan melayani dan merawatnya setulus hati. Akan ku buat hanya air mata kebahagiaan yang nanti tercetak di wajahnya bukan kesedihan. Itu janjiku padamu suamiku.
Usai berpamitan kepalaku celingak celinguk mencari mobil mas Arvin, kemana dia pergi? Tegakah dia meninggalkanku sendiri di sini? Aku harus naik apa? uang sudah ludes sedangkan alamat rumah juga belum tahu. Hanphone? Ketinggalan karena tadi setelah main aku letakkan asal di dalam mobil, lupa menaruhnya lagi ke dalam tas.
Ya Allah malang sekali nasibku, apa aku harus jalan kaki untuk sampai rumah? Tapi mau rumah mana yang harus aku tuju. Akhirnya ku putuskan untuk berjalan kaki, alangkah lebih baik mungkin aku akan tidur di tempat kos ku lebih dulu dari pada harus menjadi gelandangan malam ini.
Bunyi klakson sangat nyaring dari belakang, saat ku toleh ternyata itu mas Arvin. Dari mana saja dia? Kenapa tega sekali meninggalkanku di tengah jalan seperti ini? "Ayo masuk!" pintanya setelah mobil berada tepat di sampingku. Memasang wajah cemberut, aku terpaksa masuk kedalam mobilnya. Sebenarnya malas sekali bertemu dengan dia, rasa kesal karena merasa diabaikan.
hai kakak mohon bantuannya donk, untuk menambahkan ke Rak Buku. beri aku stone review agar aku semakin semangat buat nulisnya. jangan lupa ya ya ya terima kasih sebelumnya