BAB 11 PERTAMA KALI MEMAKAN MASAKAN ALARA
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Alara menghidangkan segala jenis masakan yang sudah dia masak. Dengan senyum selalu mengembang, Alara berharap penuh jika semua makanan ini mampu membuat perut sang suami merasa puas. "Selesai…," teriaknya semangat. Arvin hanya menyunggingkan senyuman mautnya, yang pasti setiap melihat hal itu akan membuat Alara mati kutu karena terpesona.
"Mas, aku ambilkan makanannya ya!" Tanpa menunggu jawaban dari Arvin, Alara sibuk mengambil piring, memasukkan nasi dan sayur, tak lupa ayam goreng juga sambal. Tempe dan tahu pun tidak ketinggalan. Ya! Menu semacam ini bagi Alara sudah termasuk menu istimewa. Pria di depannya bergidik melihat bagaimana Alara terlihat kampungan dari cara dia menyiapkan makanan untuk Arvin yang notabennya hanya makan seperempat dari takaran yang ada di piring Arvin saat ini.
"Benar-benar kampungan sekali cewek ini. Apa setiap hari dia makan dengan porsi sebesar itu? Dasar maruk!" umpatnya dalam hati.
"Alara, maaf ya! Tapi nasi yang ada di piring itu kebanyakan bagiku!" Alara melihat kearah yang disebutkan oleh Arvin. Mata Alara terbelalak, ternyata tempat nasi yang dia ambil untuk lelaki di depannya ini hampir penuh saking antusiasnya karena hari ini adalah pertama kalinya memasak untuk orang yang special.
"Astagfirullah Mas, maaf Mas! Tadi aku terlalu bersemangat untuk melayani kamu Mas, sekali lagi maaf. Aku akan ambilkan yang baru, ya!" ucapnya penuh sesal. Tanpa membuang waktu, Alara segera mengambil piring kosong dan mengisinya dengan porsi sesuai arahan Arvin.
"Silahkan, Mas! Semoga suka." Dua sudut bibir gadis itu masih setia terkembang. "Ish, kenapa ini orang memperlihatkan deretan giginya terus menerus sih? Apa dia gak takut kering itu gigi?" gerutu Arvin lirih agar tidak terdengar oleh Alara.
"Terima kasih." Pria itu menyuapkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Sejenak dia tertegun merasakan lezatnya hidangan di depannya ini. Sekali lagi dia memasukan sendok ke dalam lagi, sedangkan Alara memandang dengan harap-harap cemas. Takut jika masakannya tidak sesuai dengan lidah Arvin.
"Bagaimana Mas? Ehm itu… enak gak, Mas?" Arvin mengangkat kepala menatap sebentar kearah Alara, dia hanya mengangguk lalu melanjutkan kegiatan makannya.
Alara puas dengan jawaban suaminya meski pun hanya anggukan saja, tapi itu sudah membuatnya bahagia. Tak lama, Alara pun turut mengambil piring dan mengisinya dengan menu yang ada. Kini mereka sama-sama menikmatinya dalam suasana hening, karena Arvin sepertinya enggan untuk berbicara saat sedang makan.
Arvin berada di ruang televisi, dirinya sibuk membalas pesan dari sang kekasih hati. Alara yang sudah selesai membereskan meja makan memilih menyusul Arvin. Tiba-tiba duduk di samping lelaki itu dan seketika Arvin menghembuskan nafas malas. Namun tak lama dia pasang senyum palsunya. "Mas! Jadi kapan kita akan mengunjungi Mama?" Tanya Alara. "Nanti saja, kita pergi setelah tiga atau empat hari lagi. Biar Mama tidak curiga dengan apa yang terjadi pada kita. Dan ingat! Tolong jangan bicara apa pun tentang penyakitku kepada Mama, karena aku sudah berusaha untuk berobat." Alara menganggukkan kepala mengerti.
Setelah bicara panjang lebar, pandangan Arvin kembali pada gawai yang sedari tadi berbunyi. Melihat nama yang tertera di layar, Arvin pun beranjak bangkit dari duduknya dan menjauh. "Hallo sayang," sapa Arvin pada seseorang diseberang sana.
"Hai sayang, aku ingin datang ke Indonesia menyusulmu. Boleh tidak?" Arvin terkejut dibuatnya. Antara bingung karena dia belum memiliki alasan mengenai dirinya yang sudah menikah dengan wanita yang tidak dia inginkan.
"Kapan sayang? Jangan sekarang deh, kalau bisa nanti saja aku yang akan kembali kesana?"
"Kenapa sayang? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" Tanya wanita dengan suara manjanya.
"Tidak, tidak ada sayang. Hanya saja, di sini aku sedang sibuk-sibuknya karena banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Aku takut kalau sampai kamu datang dan aku tidak bisa menemanimu jalan-jalan, bagaimana? Apa kamu tidak jenuh jika tidak bertemu denganku?" Arvin beralibi berharap sang kekasih mau menuruti perkataannya.
"Apa yang kamu bilang ini jujurkan? Jangan sampai aku mendapati kamu bermain api dibelakangku loh sayang, jika tidak ingin aku pergi jauh darimu!" Arvin kalut, membayangkan dirinya akan kehilangan wanita tersebut saja bisa dipastikan dia akan gila. Dan tentunya akan membuat dia semakin membenci Alara, gadis yang sudah sah menjadi istrinya.
"Kurang ajar kamu Alara! Semua gara-gara kamu perempuan munafik itu." Geram Arvin menatap tajam istrinya dari jauh. Sedangkan Alara tidak menyadari ada sorot kebencian yang ditujukan untuknya.
***
Ansel membeli beberapa bunga yang dia tahu itu adalah kesukaan dari sang Tante yang sudah dianggap sebagai ibu kedua baginya, karena memang sang Mama tidak tinggal di Indonesia. "Semoga Tante Erina menyukai bunga Lily ini, warna yang cocok dan sangat pas dengan karakter dirinya." Sembari mencium-cium wangi bunga yang baru saja dia beli.
Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata, hingga beberapa menit kemudian mobil sport berwarna merah sudah memasuki area carport salah satu rumah elit di komplek tersebut yang mana semua rumah terlihat mewah karena memang Erina berada di kawasan salah satu perumahan kalangan atas yang ada di Jakarta.
Setelah menutup pintu mobil, Ansel menyembunyikan bunga tadi di belakang punggungnya.
Tok tok tok
Masih belum ada jawaban, Ansel pun mengulangi gerakan tangannya mengetuk pintu. Tak lama muncul seseorang yang ditunggu-tunggu sedari tadi. "Assalamualaikum tante," ucapnya girang.
"Walaikum salam Ansel," balas Erina mengukir senyum. "Apa kabar, Nak?" lanjutnya.
"Alhamdulillah, kabar baik Tan! Dan ini, bunga cantik untuk wanita yang cantik pula," ujarnya mengeluarkan benda dari balik persembunyiannya.
"Wah, cantik sekali bunganya Ansel! Terima kasih banyak." Erina menerima dengan senang hati.
"Tante? Boleh saya masuk ke dalam?" Tanya Ansel melihat perempuan paruh baya tapi masih terlihat awet aura beautynya.
"Saya capek Tan kalau harus berdiri terus di sini!" keluhnya menampilkan mimik wajah nelangsa.
"Astagfirullah, maafkan Tante ya sayang! Tante jadi lupa mempersilahkan kamu untuk duduk." Ansel hanya terkekeh melihat rasa bersalah pada Erina untuknya. Beginilah Erina selalu merasa bersalah walau itu hanya masalah kecil, sungguh terlalu naif.
"Hehehe tidak ada apa-apa Tan, aku tadi hanya bercanda." Erina segera meraih tangan keponakannya tersebut dan memasuki ruang keluarga. "Tante buatkan minuman dulu ya! Sekalian meletakkan bunga ini ke dalam pot. Ansel hanya mengangguk.
"Arvin belum mengunjungi Tante?" Tanya Ansel setelah Erina kembali ke ruang keluarga.
"Belum sayang. Mungkin nanti setelah dia menghabiskan malam pertama mereka." Pria itu langsung mencebik paham. Tidak mungkin Ansel membeberkan rencana Arvin. Walaupun dia sendiri ingin memberitahu bahwa gadis malang tersebut mungkin akan mengalami hal-hal yang menyakitkan bila selalu berada di dekat Arvin.