"Tentu saja sayang! Ya Allah, rasanya ingin sekali aku segera terbang ke Australi dan bertemu denganmu. Ku pastikan akan ku cubit pipi gembulmu itu. Aku terbayang bagaimana menggemaskannya dirimu saat ini karena amarahmu seperti ini."
"Ish, dasar kamu ya! Aku ini serius tapi kenapa kamu malah bercanda melulu, sih!" kesal Zemira.
"Habisnya kamu lucu dan ngangenin sih, membuat aku semakin rindu dan ingin segera memelukmu," Timpal Arvin.
"Ya…ya nanti kalau kita sudah ketemu kamu bisa melakukan itu kepadaku."
"Pastinya!!" Jawab Arvin semangat.
Masih dengan chat rianya, gendang telinga Arvin mendengar adanya deru mobil memasuki halaman rumah. Mau tidak mau, dia harus mengakhiri perbincangan menyenangkannya terhadap sang kekasih. Tanpa membuka pintu utama ruang tamu, Arvin melihat kedatangan dua insan manusia lawan jenis yang dia kenal sangat baik melalui jendela ruang keluarga. Kebetulan jarak antara ruang tamu dengan keluarga memang hanya terhalang oleh tembok penyekat ruangan saja.
Tak lama pintu terbuka setelah terdengar bunyi khas kunci rumah, berati Alara membukanya dari luar. Arvin keluar dari persembunyiannya dan mendekati keduanya. "Dari mana saja kamu? Kenapa pergi tanpa pamitan terlebih dahulu padaku?" cecar Arvin tanpa melirik ke arah sepupunya sama sekali.
"Maaf, Mas!" lirih Alara. "Aku tadi dari rumah Ibu," jelasnya kemudian.
"Kenapa tidak memberitahuku?"
"A…aku belum punya nomor mas Arvin," jawab Alara menunduk.
"Ini!" Arvin menyodorkan gawainya dihadapan sang istri.
"Cepat tulis nomormu dan panggil!" perintahnya setelahnya.
"Baik," ucap Alara sembari menerima gawai yang sudah ada di depan matanya.
"Ini mas, sudah!" Arvin mengambil gawainya lalu beralih mata menatap Ansel.
"Ngapain kamu pergi bersama dia?" telunjuk jari Arvin hampir saja mengenai bola mata Alara. hanya tinggal satu centimeter saja, kuku Arvin bisa dipastikan menusuk lingkaran bulat yang berada di kelopak mata Alara. Gadis itu meneguk ludah berat kala melihat jari suaminya yang menurut dirinya cukup besar karena itu jari laki-laki.
Ansel melihat ada ketegangan sekaligus rasa takut di tubuh istri sepupunya itu. Untuk mencairkan suasana, Ansel membuat sebuah candaan yang menurut ketiganya memang garing. "Hai bro! Gak perlu pakai urat juga kali Vin! Aku enggak pergi berdua kok sama istri cantikmu ini. Aku tadi ketemu di jalan, makanya aku seret dia untuk masuk ke mobil dan sekalian aku antar pulang karena aku ada perlu sama kamu. Jadi… kamu tidak perlu melotot seperti itu ke aku! Takutnya nanti matamu lepas dan kamu menjadi buta. Apa kamu mau terlihat cacat meskipun ketampanan paripurna?" Arvin mendengus kesal mendengar ucapan sepupunya yang memang sedikit aneh.
Kembali Arvin menatap lekat netra wanita di depannya. "Kenapa kamu pergi tanpa memberitahu sopir? Bukankah di rumah ada beberapa mobil yang bisa kamu pilih untuk mengunjungi Ibumu? Jangan membuat orang memandang seolah saya suami yang tidak becus menjaga istrinya?" ucapnya dengan suara datar dan dingin.
Di saat tengah serius, Ansel kembali mendekat dan berbisik. "Apa kamu tidak merasa kasihan? Anak orang kamu buat ketakutan seperti itu? Lihat dengan seksama bagaimana dia gemeteran karena volume suaramu yang begitu tinggi." Menyadari memang benar adanya jika Alara sudah mulai ketakutan, Arvin pun menurunkan intonasi suaranya.
"Ya sudahlah, tidak apa-apa. Aku hanya khawatir jika sampai kamu kenapa-kenapa? Aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri." Alara yang melihat ada kecemasan di wajah suaminya pun percaya bahwa apa yang keluar dari mulut manis pria dengan keahliannya bersandiwara, langsung membuat Alara kagum. Tidak seperti sebelumnya, ketakutan tiba-tiba hinggap di dada namun sekarang sepertinya sudah kembali normal.
"Berhasil, syukurlah! Semoga saja dia percaya jika aku mencemaskannya! Dengan begitu, aku akan semakin mudah membuatnya jatuh cinta padaku lalu terbanting oleh rasa sakit di kemudian hari," batin Arvin. Sejujurnya dia sungguh muak melihat tampang polos yang menurutnya dibuat-buat oleh Alara. Jika bukan karena Erina yang mendadak meminta untuknya dan Alara datang kekediaman sang Mama, mungkin juga saat ini dia masih berada di cafe menikmati sajian music di dalamnya.
"Oya, tadi Mama menghubungiku! Malam ini kita diundang Mama untuk makan malam bersama karena hari ini Mama berulang tahun." Alara mendelik. Dia lupa jika hari ini merupakan hari lahir ibu mertuanya. Biasanya Erina merayakan ulang tahunnya setiap tahun bersama anak-anak yatim dari yayasan yang sama dengan yang selama ini membesarkannya.
"Ya Allah, Mas! Iya aku lupa jika hari ini adalah tanggal lahir Mama." Wanita itu diam sejenak. "Mas! Aku belum beli kado untuk Mama!" Arvin terpaksa senyum semanis mungkin.
"Maka dari itu, sedari tadi aku menunggu kamu pulang karena ingin mengajakmu mencari hadiah buat Mama." Alara mengangguk mantap. "Ayu mas, aku siap-siap dulu ya!" seperginya Alara, Arvin menatap Ansel penuh selidik.
"Bagaimana kamu bisa pergi bersama Alara?" Tanyanya.
"Kenapa? Apa kamu takut aku mendekatinya?" Bukannya menjawab, Ansel memberikan pertanyaan yang terkesan menantang.
"Sama sekali tidak. Aku hanya tidak ingin kamu menggagalkan rencanaku?" benar praduganya selama ini, Arvin memang memiliki rencana buruk untuk Alara.
"Jangan lakukan itu! Atau aku akan mengambilnya darimu! Apa kamu tidak bisa melihat kebaikan dalam diri gadis itu? Kejujuran dan kepolosannya serta ketulusan yang ia miliki, semua orang pasti akan berpikir dua kali untuk menyakitinya. Tetapi, kenapa kamu bukan salah satu dari para lelaki yang bisa melihat itu semua?"
"Karena aku memang tidak ingin melihatnya di bagian sisi itu. Bagiku, dia adalah benalu. Dan aku harap kamu bisa menjaga masalah ini dari siapa pun. Karena kamu tidak pernah tahu apa yang aku rasakan saat ini. Jadi tolong, jangan ikut campur dalam hal ini. Biarkan aku sendiri yang bermain permainan ini, kamu paham!" Ansel mendengus kesal.
"Terserah." Dengan menahan emosi, Ansel melangkahkan kakinya menuju mobil. Tak lama, mobil Ansel sudah menghilang dari pekarangan rumah Arvin. "Kurang ajar kau Arvin! Aku tidak akan membiarkan kamu menyakiti hati Alara terlalu dalam. Aku akan mendekati Alara agar aku bisa menjadi tameng dirinya." Monolog Ansel. Bayangan dimana senyum Alara ketika keluar dari Panti Asuhan Suhada mengisi seluruh pikirannya. Senyum yang indah, membuat Ansel tidak bisa melupakannya. Dan anehnya, senyum itu mampu menghilangkan rasa amarah yang tengah melanda dirinya.
"Jika aku memintamu untuk meninggalkan suamimu, apa kamu akan setuju, Alara?" pria itu memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali. "Tidak! Jika aku melakukan apa yang ada dipikiranku saat ini, pasti dia menolak dan jujur aku takut tante Erina merasa bersalah dan pasti akan mempengaruhi kesehatannya." Ansel menggelengkan kepala cepat, "Tidak-tidak, aku tidak boleh gegabah. Aku harus memantau keadaan Alara selalu. Yah, benar. Untuk sementara hanya itu yang bisa aku lakukan untukmu Ra."
Hai kakak kakak semua, maafkan aku yang terlambat update ya! Maaf karena suamiku sedang sakit, jadi sementara kemarin fokus dengan dunia nyata dulu. Insya Allah akan selalu update setiap hari dua bab. semoga saya dan keluarga selalu diberi kesehatan agar saya bisa menepati janji saya.
terima kasih banyak atas dukungannya, yuk jangan lupa komentarnya dan masukkan ke rak buku kalian ya.
salam sayang buat semua.