Seminggu sudah semenjak acara makan-makan, Alara dan Arvin tidak pernah lagi membahas Kevin maupun soal anak. Dan Arvin berbohong jika dirinya sudah mulai melakukan pengobatan, Alara hanya mengatakan iya saja saat dia berpamitan. Memangnya apa yang bisa dia lakukan selain berkata "iya"? memaksa ingin ikut pun percuma karena setiap mengutarakan niatnya, dirinya malah mendapat bentakkan dari sang suami.
Kadang kala memang Arvin tidak bisa mengontrol emosinya, tak jarang kelepasan berbicara kasar saat Alara membuatnya jengkel walau itu tidak seberapa besar kesalahannya. Namun kembali pada niat awal, akhirnya membuat Arvin menekan kebencian dan bersikap manis kembali. Meyakinkan istrinya jika dia adalah suami yang baik.
"Assalamualaikum, Ma!" jawab Alara mengangkat panggilan dari mertuanya.
"Walaikum salam, sayang! Apa Arvin ada di rumah? Dari tadi Mama hubungi tidak bisa!" terdengar nada panik dari seberang.
"Ma! Mama kenapa? Kenapa panik, begitu?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Erina, Alara malah ikutan panik.
"Ada yang meneror Mama, sayang! Tolong segera beritahu Arvin untuk datang kerumah ya, Mama sangat takut."
"Baik, Ma! Alara akan mencari mas Arvin dan segera kerumah Mama." tak lama panggilan pun berakhir. Tidak ingin membuang waktu, Alara langsung menekan tombol salah satu nama dikontak gawainya.
Panggilan pertama tidak ada jawaban, diulang lagi namun tetap tidak di angkat. "Ya Allah, Mas! Cepat angkat teleponnya!" jemarinya masih mengotak atik benda pipih di tangannya.
"Iya hallo! Ada apa menghubungiku?" setelah sekian menit panggilan pun terhubung.
"Hallo kak Ansel! Apa kakak bersama dengan mas Arvin?" setelah berkali-kali tidak mendapat jawaban dari Arvin, Alara memutuskan untuk menghubungi kepercayaan suaminya. Sudah tentu dia akan berada di dekat Arvin, jabatan dia sebagai sekretaris sekaligus asisten pribadi membuat lelaki itu tetap menempel sama Arvin kecuali diluar jam kerja.
"Iya, dia sedang di toilet. Kami baru saja selesai rapat! Ada apa?"
"Kak! Tadi Mama telepon, kita harus segera ke rumah Mama sekarang. Mama seperti sedang panik dan ketakutan, Kak!" terang Alara kepada Ansel.
"Apa? Kenapa? Ketakutan kenapa?"
"Aku tidak tahu Kak, lebih baik ajak mas Arvin kerumah Mama sekarang! Aku juga sudah melaju kesana."
"Baiklah." Bersamaan dengan menutup gawainya, Ansel melihat Arvin baru keluar dari toilet pria.
Arvin menangkap ada yang tidak beres setelah melihat Ansel tampak khawatir akan sesuatu. "Ada apa? Kenapa kamu terlihat khawatir begitu?" Tanya Arvin setelah berada di depan sepupunya.
"Kita harus segera ke rumah Tante Erina, sepertinya terjadi sesuatu dengannya!" ajak Ansel tanpa banyak basa basi langsung menarik tangan Arvin, gegas menuju parkiran mobil. Arvin masih bertanya-tanya selama perjalanan namun Ansel hanya menjawab seperti apa yang dikatakan oleh Alara. Arvin menghela nafas karena tidak mendapatkan jawaban sesuai keinginannya. Dia akan diam dan sebentar lagi pasti akan mengetahui apa yang terjadi dengan sang Mama.
Mobil sport bermerk salah satu brand ternama, kini sudah memasuki carport di sebuah rumah elit yang tentunya sudah tidak asing. Arvin segera turun dan melangkah lebar memasuki rumah. Arvin melihat pemandangan pilu, sang Mama menangis dalam pelukan menantu kesayangannya. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Ma!" seru Arvin setelah jaraknya tinggal beberapa jengkal saja. Erina yang mendengar namanya dipanggil langsung menoleh dan melepaskan diri dari pelukan Alara lalu beralih ke putranya.
"Arvin, Mama takut Vin. Mama tidak ingin kejadian masa lalu kembali terulang. Tolong Mama Vin, tolong Mama!" rintihnya pilu, tubuhnya bergetar hebat akibat menangis dan ketakutan yang berlebih.
"Ma! Mama kenapa?"
"Dia sayang! Dia kembali dan meneror Mama lagi. Mama takut." Ketiga muda mudi itu tentu bisa menebak siapa yang dimaksud dengan "Dia", tidak lain tidak bukan adalah Kevin. Sudah bukan menjadi rahasia lagi, seluruh keluarga Rasyid mengetahui apa yang pernah terjadi di masa lalu Erina. Dan tentu saja Ansel serta orang tuanya juga mengetatuhi kejadian kelam yang pernah dialami oleh orang tua Arvin. Alara meluruhkan air matanya saat menyaksikan bagaimana rapuh dan takutnya dia akan trauma di waktu dulu.
"Bukankah di rumah ini aku sudah mengirimkan pengamanan yang ketat? Bagaimana mungkin dia bisa meneror Mama?" Arvin benar-benar tidak habis pikir, begitu besarnya orang tersebut berambisi untuk memiliki Mamanya, meskipun mereka sudah tidak muda lagi. Sebegitu besarnya cinta yang dimiliki oleh Kevin untuk Mamanya. Tapi entah itu cinta, balas dendam atau hanya sekedar obsesi semata.
"Mama tenang dulu ya, ceritakan pelan-pelan Ma! Kita duduk dulu ya." Arvin membawa Erina kembali duduk di sofa, tempat dimana tadi sang Ibu memeluk menantunya erat.
"Minum dulu, Ma!" putranya menyodorkan segelas air putih yang sudah tersedia di meja.
"Sekarang Mama ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi dan bagaimana Kevin bisa meneror Mama." Tanya Arvin setelah dirasa Erina sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
Erina menghela nafas berat sebelum menjawab. Dia butuh energy untuk melawan rasa takut dalam diri. "Dia mengirim Mama bunga serta boneka yang kepala nyaris terputus dengan noda merah hampir menyelimuti seluruh bagian boneka itu. Disana juga tertulis, jika saja Mama tidak menikah dengan Papamu, maka Mama tidak akan mengalami hal buruk itu. Dan di surat terakhir dia ingin Mama menjadi istrinya, kalau sampai Mama menolak dia tidak akan segan-segan menghancurkan mu Arvin. Mama takut, dia akan terus mendatangi Mama. Mama membencinya, Mama sangat membencinya." Tangisnya kembali pecah kala terbayang wajah pria kejam yang sudah membuat hidupnya dipenuhi bayangan kelam.
"Mama tenang, ya! Tidak aka nada yang bisa dia lakukan untuk menghancurkan Arvin, Ma!" punggung Erina diusap lembut oleh putranya, menyalurkan kasih sayang serta kekuatan agar tidak terlalu larut dengan segala pikiran buruk.
"Tolong antar Mama ke kamar untuk istirahat!" Alara diam, dia tidak tahu jika dirinya lah yang disuruh. Arvin tidak menyebutkan namanya, tapi sorot mata Elang itu menghadap ke arahnya. Kecewa, namun dalam situasi ini mungkin Arvin juga bingung. Untuk itu dia harus bisa memahami keadaan sekarang.
"Mari, Ma! Alara antar ke kamar!" Erina menurut, dengan digandeng oleh menantunya mereka berdua memasuki kamar yang cukup besar dan nyaman bak kamar seorang permaisuri. Alara yang baru memasuki kamar tersebut di buat kagum. Gadis tersebut masih setia mendampingi mertuanya yang sudah dianggap seperti orang tua kandung sendiri. Dia merebahkan tubuh wanita lemah itu, kemudian mengambil selimut dan menutup tubuh renta mertuanya hingga batas dada.
"Mama ingin makan?"
"Tidak, sayang. Terima kasih," tolak Erina.
"Mama sudah baikan?" Erina tidak menjawab tapi mengangguk saja.
"Kalau begitu, Alara keluar dulu ya, Ma! Jika perlu apa-apa Mama bisa memanggil Alara." Erina tersenyum serta mengangguk kembali.
Di ruang keluarga, ada perbincangan serius antara Arvin dengan Ansel. "Kita tidak bisa membiarkan keadaan semakin parah, aku tidak tega melihat Mama yang kembali terpuruk setelah kebebasan pria itu," ujar Arvin.
"Untuk menghindari pria tak beradab itu, bagaimana kalau tante Erina kita kirim ke Yaman. Beberapa hari yang lalu Tante bilang jika rindu dengan Mamaku," usul Ansel tidak buruk.
"Siapa tahu dengan begitu kejiwaan Tante bisa lebih tenang tanpa rasa ketakutan berlebih seperti ini," lanjut pria tampan bermata Elang keturunan Yaman.
"Tidak buruk, itu lebih baik dari pada harus tinggal satu kota dengan penjahat itu." Ansel manggut-manggut. "Mas!" panggil Alara. "Bolehkah malam ini aku ijin menginap di sini untuk menemani Mama! aku tidak tega meninggalkan Mama sendirian. Atau bagaimana kalau Mama kita ajak menginap dirumah kita saja sementara waktu sampai keberangkatan Mama." Arvin menimbang-nimbang ucapan istrinya.
Mungkin lebih baik Alara lah yang menginap di rumah ini dari pada Erina dibawa kerumahnya, yang ada nanti akan ketahuan jika dia pisah kamar dengan menantu kesayangannya. Arvin tidak ingin semua cepat terbongkar, dia pastikan semua tetap aman terkendali.
Bisa jadi setelah kepergian Erina, rencana dia untuk meminang Zemira menjadi istri keduanya akan semakin lancar. "Aku mengijinkanmu tinggal di sini sementara waktu sampai Mama berangkat ke Yaman. Tidak perlu menginap di rumah karena Mama bukan tipe orang yang mudah tinggal di tempat baru," kilah Arvin agar semua orang tidak curiga dengannya.
"Memangnya selama ini Mama belum pernah menginap dirumah mas Arvin?" Tanya Alara penasaran.
"Belum, karena aku beli rumah itu seminggu sebelum menikah denganmu. Dan Mama juga baru sekali berkunjung saat besoknya kita menikah. Mama hanya menyurveinya saja."
"Ooo baiklah, Mas! Kalau begitu aku pulang dulu untuk mengambil sebagian bajuku." Arvin menghentikan pergerakan Alara saat akan berdiri.
"Tidak perlu. Kamu di sini saja biar nanti aku kirim kan pakaianmu. Mama sedang butuh dampingan dari orang sekitar. Sebaiknya kamu tidak meninggalkan Mama sendiri." Alara membenarkan ucapan suaminya.
"Baik, Mas! Ya sudah, aku akan kekamar Mama dulu. Sepertinya Mama belum makan." Alara kembali berdiri meninggalkan dua pemuda tampan di ruang keluarga.
"Kapan kita mengurus kepindahan Tante? Apa sebaiknya kita meminta persetujuan dari Tante? Aku hanya ingin yang terbaik buat Mamamu."
"Baiklah nanti setelah Alara selesai menyuapi Mama, kita akan tanya apakah setuju dengan usulanmu atau tidak." Ansel mengangguk beberapa kali.
Di kamar, sedikit memaksa Alara meminta Erina agar mau mengisi perutnya. Dia takut jika sampai Erina tidak kemasukan asupan gizi sama sekali, bisa berakibat fatal dan Alara tidak mau itu sampai terjadi.
"Mama makan, ya! Jangan sampai Mama menyakiti diri sendiri dengan menahan lapar. Lara tahu semua ini akan sulit, tapi Mama tidak boleh lemah. Mama harus tetap kuat, dulu Mama bisa melawannya sekarang pun begitu. Aku yakin mas Arvin akan bertindak untuk melindungi Mama. Jadi sekarang, Mama harus makan dahulu agar Mama bisa melawan penjahat itu. Yakin lah Allah akan selalu bersama orang yang benar, Ma!" bagai mendapat angin segar, Erina pun melirik piring yang tengah di bawa menantunya. "Kamu benar sayang, terima kasih banyak. Mama beruntung bisa memilikimu sebagai menantu." Alara hanya tersenyum lalu menyuapkan makanan ke dalam mulut ibu mertuanya.