Satu minggu sudah rencana keberangkatan Erina ke Yaman untuk menyusul adik iparnya serta menghindari terror dan kehadiran Kevin yang sangat mengganggu. Dia menerima usulan putra dan keponakannya, perempuan paruh baya namun kecantikannya tidak luntur dimakan usia itu merasa lebih baik dari pada tetap bertahan di Jakarta. Setelah Arvi dan Ansel memintanya untuk pergi ke Yaman, Erina sedikit berat karena meninggalkan Alara. Entah apa alasannya sepertinya dia merasa tidak akan pernah bertemu lagi dengan menantu kesayangan itu selamanya. Ada firasat jika hari ini adalah hari terakhir dimana dia bersama Alara.
"Sayang. Mama pergi, ya! Kamu hati-hati di rumah! Jika ada apa-apa segera hubungi kami, nanti kami akan langsung mengambil penerbangan dan kembali ke Indonesia." Erina menggenggam erat tangan menantunya. Alara pun sudah berakca-kaca, ingin sekali dia ikut mengantar Erina ke Yaman namun Arvin melarangnya.
"Ansel. Tante titip Alara, ya! Tolong jaga dia demi Arvin!"
"Siap Tante, Tante tenang saja. Dia akan aman bersama Ansel, Tan! Salam buat Mama ya, Tan. Salam peluk cium dan juga rindu dariku buat Mama." Erina tersenyum lalu mengangguk. Pandangannya kembali pada Alara.
"Sayang! Sebisa mungkin kamu sering menghubungi Ansel, ya! Tidak perlu sungkan, dia pria baik dan bisa diandalkan. Jadi jika butuh apa-apa, minta tolong saja sama dia."
"Iya, Ma! Mama hati-hati ya di jalan. Jika sudah sampai segera hubungi Alara," ucap Alara.
"Iya sayang." Erina memeluk erat gadis kesayangannya untuk terakhir kali sebelum masuk kedalam pesawat.
Arvin sedari tadi pun cuek. Tidak ada acara berpamitan kepada istrinya hingga setelah berpelukan dengan Ibu mertuanya, dia menghampiri suaminya yang enggan menatapnya. Sempat curiga atas sikap suaminya, dia menerka-nerka kesalahan apa yang sudah dia lakukan. Kenapa pagi ini Arvin enggan bersikap manis padanya tanpa ia tahu penyebabnya. Bahkan bertolak belakangan dengan kejadian seminggu yang lalu dimana Arvin menciumnya penuh kelembutan. Hari ini sangat dingin melebihi kutub selatan.
"Mas! Jika sudah sampai, jangan lupa hubungi aku, ya!" seru Alara setelah berhadapan dengan Arvin. Pria itu bergeming, namun Alara ingin melihat senyum dari suaminya sebelum dia pergi. Alara ingin sang suami meninggalkannya dengan senyuman bukan tatapan dingin dan datar.
"Mas! Kamu kenapa? Kenapa sedari tadi kamu diam saja tanpa mengucap satu kata pun untukku?" Tanya Alara lagi, sedangkan Arvin sangat malas menjawab pertanyaan wanita di depannya ini. Akan tetapi matanya bersirobok dengan Erina, mau tidak mau dia perlu melakukan apa yang para actor lakukan. Kini sandiwara di mulai lagi.
"Maaf, aku memikirkan Kevin." Tidak salah memang, saat ini Arvin tengah memikirkan pria tua itu. Bukan tidak mungkin jika Kevin nanti akan mengetahui keberadaan Erina di Yaman. Lagi, sepertinya Arvin harus membuang jauh-jauh pikiran buruk. Sesudah di Yaman nanti, dia akan menyewa bodyguard professional untuk melindungi sang Mama di sana. Ya, itu harus dia lakukan agar hatinya bisa tenang meninggalkan sang Mama. Apa lagi di sana nanti dia tidak sendirian, ada Dina serta suaminya.
"Mas Arvin berdoa saja, semoga penjahat itu tidak mengejar Mama sampai sana." Alara memberanikan diri menghapus jarak pada keduanya. Tanpa dikomando, Alara lancang memeluk tubuh suaminya. Hingga beberapa menit berlalu, ternyata pria yang didekapnya pun tidak mau membalas pelukannya. Menyadari hal itu, buru-buru Alara melepaskan lingkaran tangannya dari tubuh lelaki halalnya.
"Ma…maaf, Mas!" Cuma itu yang bisa Alara ungkapkan sebagai bentuk rasa penyesalan.
"Hem." Cukup deheman saja yang diberikan oleh Arvin meskipun Alara berharap lebih. Saat ini memang Arvin mencoba menutup kebahagiaannya karena setelah mengantar Erina di Yaman, dia akan menjemput kekasih hati dan membawanya ke Indonesia. Pikirannya sedari tadi sudah melayang ke Australia, membayangkan betapa bahagianya sang kekasih melihat dirinya kembali setelah berbulan-bulan di tinggal ke Indonesia.
"Arvin! Kenapa dengan dirimu? Apa ada masalah atau apa? Kenapa kamu berubah tidak sehangat kemarin-kemarin?" kini berganti Erina yang mempertanyakan tingkah lakunya.
"Ah tida Ma, Arvin tidak apa-apa. Yuk kita masuk, lima menit lagi pesawat akan berangkat!" pinta Arvin mengalihkan pembicaraan.
"Yakin?"
"Iya, Ma! Sudah lah, ayo!" menarik tangan Erina lembut menuju ruang tunggu untuk keberangkatan.
"Ansel! Tolong jaga baik-baik Alara, ya! Aku titip menantuku, jangan sampai dia kenapa-kenapa? Lihat saja kalau sampai dia lecet sedikit saja, Tante pastikan kamu akan di sunat untuk kedua kalinya." Ansel juga Arvin bergidik ngeri. Bagaimana nasibnya jika sampai itu terjadi. Oh Tuhan, dia akan kehilangan masa-masa surge dunia yang kata orang sangat nikmat.
"Tante jangan khawatir. Aku termasuk lima dari golongan orang yang memegang teguh janji dan tanggung jawab yang sudah dibebankan untukku. Tante tentu juga tahu bukan kalau aku orang yang bisa di percaya?" Erina mengangguk. "Kalau begitu please, Tante tidak perlu mencemaskan hal buruk dari ke Alara, karena aku pastikan akan melindunginya melebihi nyawaku sendiri.
"Terima kasih Ansel, Tante percaya padamu," puji Erina sembari menepuk-nepuk pundaknya.
"Ya sudah, kami pergi dulu ya! Kalian hati-hati." Kedua pasang mata masih setia mengantar kepergian dua orang yang begitu mereka sayangi, hingga dua tubuh ibu dan anak itu pun menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Ansel menoleh dan mendapati gadis ayu sudah terlihat sendu, matanya berkabut seolah berat sekali melepas kepergian suami dan ibu mertuanya. "Hei!" Alara bergeming. "Sudahlah, kamu jangan sedih seperti itu! Nanti orang berpikir aku ngapain kamu lagi!" Ansel masih menatap istri sepupunya itu, cukup lama. Sepertinya memang Alara tidak ingin meninggalkan bandara. Jengah sama kediaman Alara, Ansel menarik paksa tangan Alara.
"Auw, lepas…!" gadis itu menghentakkan tangannya keras. Ansel yang memang kurang kencang memegang langsung terlepas dalam sekali hentakan.
"Bisa gak sih jangan pegang-pegang?"
"Siapa juga yang mau megang tanganmu! Lagian dari tadi bengong melulu, kenapa? Pengen ikut? Sana susul jangan meratapi nasib doing di sini?" cetus Ansel sedikit jengkel.
"Kenapa kamu jadi marah?"
"Ya kamu, orang pergi Cuma seminggu tapi kenapa seperti akan ditinggal pergi selamanya saja," timpal Ansel sengit.
"Bukan urusanmu!"
"Ck, begitu saja ngambek." Tanpa menddengarkan ocehan pria menyebalkan dibelakangnya, Alara berlalu menuju tempat parkir.
"Woy, aku tidak akan menjadi sopirmu jika kamu berjalan seperti atlit lari." setengah berteriak Ansel menggoda Alara. Nada suaranya sudah di atur sesuai jarak mereka.
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Tidak usah mengkhawatirkan aku. Aku bukan anak kecil lagi yang harus dikawal orang dewasa!" bukannya memperlambat kecepatan langkahnya, Alara malah menambah kecepatan sedikit berlari agar bisa menjauh dari sepupu suaminya.
Hup. Lagi, tangan Alara berhasil di tangkap oleh Ansel. Alara mengernyit tidak suka. "Kak, tolong lepaskan tanganku! Jangan pernah sentuh-sentuh aku karena aku tidak suka!" bentak Alara.
"Jika kamu tidak suka, makanya menurut itu lebih baik dari pada membantah. Aku tidak mau nanti sampai disalahkan oleh suami dan juga Tante kesayanganku kalau sampai mereka tahu kamu ingin kabur dari pengawasanku. Ingat! Sementara Arvin tidak ada, kamu tanggung jawabku. Apa pun ayang ingin kamu lakukan, harus sepengetahuanku. Ingin pergi kemana pun, aku siap mengantarmu! Jadi, patuhi semuanya sesuai apa yang aku katakan. Jika tidak, sama saja kamu membantah perintah mertuamu juga suamimu. Ngerti!" Alara masih menatap sengit, dia tidak suka diatur-atur oleh orang yang bukan suaminya. Tapi benar apa yang dikatakan oleh Ansel, semua memang atas perintah Erina mertuanya.
"Baiklah, tapi bisa tidak kamu lepaskan tanganku terlebih dahulu?" Akhirnya tangan Alara dilepas perlahan.
"Ok, kita sepakat ya! Sekarang cepat naik ke mobilku! Tidak ada perlawanan dan perdebatan. Cepat naik!" alara dengan kesal terpaksa menaiki mobil Ansel. Di mata Ansel, Alara semakin cantik dan menggemaskan kala dia marah seperti itu. Tingkahnya tak hayal sama seperti adiknya yang sudah meninggal lima tahun lalu akibat kecelakaan yang merenggut nyawa.
"Seatbeltnya jangan lupa dipasang! Jangan seperti orang kampong yang tidak pernah naik mobil bagus makanya tidak paham cara memakai sabuk pengaman." Lirikan tajam langsung tertuju untuk pria yang sedari tadi banyak bicara ini. Ingin rasanya ditelan saja hidup-hidup pria disampingnya itu. Atau paling tidak segera diberi obat tidur agar tidak cerewet dan banyak mengatur.
Sedangkan dalam hati terdalam Ansel begitu bahagia, jarang-jarangkan dia punya kesempatan hanya berdua saja dengan gadis yang dikaguminya. Tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan peluang yang ada. "Apa kamu sudah makan?"
"Sudah." Jelas singkat dan padat. Ansel menghembuskan nafas, mengatur egonya agar tidak sampai terpancing emosi.
"Kita makan dulu, aku tahu kamu pasti sudah lapar lagi," tuturnya.
"Aku tidak mau! Dan jangan coba-coba seperti kejadian lalu, kamu menculikku hanya untuk menemanimu makan!" tegas Alara.
"Hahahaha, astaga! Sumpah ya, dari tadi aku sudah berusaha menahan tawa melihat kelakuanmu yang kekanak-kanakan itu. Tapi tidak! Aku ingin melampiaskan kegelianku, hahahahaha." Alara malah semakin bingung dibuatnya. Apanya yang lucu coba? Bahkan sejak masih di bandara dia begitu sedih. Lalu seperti tidak tahu malu, pria yang duduk bersebalahan dengannya membuat kesal setengah mati. Dia butuh ketenangan, dia ingin segera pulang.
Menarik selimut, memejamkan mata di atas ranjang empuknya pasti bisa membuat hatinya lebih baik dari pada harus bertemu dan bertatap muka pada makhluk super nyebelin seperti sepupu suaminya itu. "Aku ingin segera pulang dan istirahat." Tidak ingin ada bantahan, Alara berbicara layaknya perintah seorang majikan kepada bawahannya.
Ansel memilih tidak menyahut, tanpa memperdulikan kekesalan yang semakin besar di diri Alara. Ansel tetap melajukan mobilnya seolah-olah tidak terjadi sesuatu atau mendengar permintaan dari seseorang. Alara celingak celinguk menatap jalanan yang salah. Bukan lewat sini untuk bisa sampai di rumah Arvin, tetapi kenapa lelaki itu membawanya kejalur yang salah?
"Kamu mau mengajakku kemana? Aku ingin pulang! Apa kau tidak dengar?" habis sudah kesabaran Alara, pria ini benar-benar membuatnya menarik urat.
Kakak-kakak tersayang, mohon maaf jika untuk sementara ini hingga dua minggu ke depan saya akan jarang up. saya sekeluarga sedang melakukan isoman. Mohon doanya agar kami semua bisa sehat seperti sedia kala. Terima kasih kakak