Alara sudah berdiam diri di bandara sejak empat jam yang lalu, dia mengikuti kata hatinya untuk menjemput suami yang sudah Ia rindukan selama seminggu ini. Jadi benar kalau Arvin hanya tinggal seminggu saja di sana? Jantung yang sempat berdetak cepat karena membayangkan hal apa pertama kali dia lakukan saat bertemu dengan Arvin. Memeluknya kah? Atau bersikap biasa saja? Semua itu berputar-putar di kepalanya.
Namun semakin lama rasa debaran jantungnya sirna karena penantian yang cukup lama. Air mata Alara pun menganak sungai tanpa bisa di cegah. Dia begitu kecewa. Tiada kabar dan berita, namun saat tahu jika hari ini suaminya kembali, Alara sangat antusias untuk menyambutnya.
Sayang sungguh sayang, kenyataannya mampu menampar dirinya yang begitu mengharapkan kedatangan dari pangeran tampan yang sudah sah menjadi suaminya itu.
"Hiks kamu tega, Mas!" sempat berfikiran buruk, tapi kembali dia berusaha masih tetap berpikir positif. Mungkin saja delay sehingga membuat Arvin terlambat datang. Dirinya masih setia memaku di tempat duduk hingga waktu menunjukkan pukul satu dini hari.
Ansel setengah berlari mencari Alara ke seluruh bandara. Beruntung dia datang menyinggahi rumah Arvin sekedar mengetahui keadaan Alara agar tidak larut dalam kesedihan. Ansel tahu, seberapa kuat dia mencoba menghibur gadis itu, tetap saja tidak akan bisa membuatnya menghentikan harapan akan bertemu atau sekedar mendengar suaranya saja.
Ansel dibuat kelimpungan saat Bi Muna bilang jika Alara sedang menjemput Arvin di bandara karena mendapat kabar dari Erina jika Tuannya akan pulang malam ini. Namun Ansel sedih kala memastikan jika Arvin beneran pulang atau tidak.
Dan saat Ansel menghubungi Arvin, pria itu bilang tengah berada di Negeri Kanguru. Tidak ingin terjadi hal buruk dengan Alara, Ansel langsung saja menyusul wanita itu ke Bandara.
Setelah berputar-putar selama tiga puluh menit, akhirnya Ansel bisa menemukan sosok gadis berhijab duduk termangu dengan deraian air mata. Terlihat sangat menyedihkan. Dengan langkah lambat, Ansel mendekatinya. Dia mendudukan diri tepat disamping Alara, tangisan pilu terdengar jelas di indera pendengarannya. Sehingga Alara pun tidak menyadari bila seseorang sudah duduk berada di dekatnya.
"Alara!" panggil Ansel, namun gadis itu bergeming.
"Alara!" panggilnya sekali lagi sambil menyentuh pundak sang gadis.
"Iya, Kak!" jawab Alara tanpa menoleh ke asal suara.
"Sudah malam, sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ayo, aku antar kamu ke rumah!" Wanita disebelahnya masih tetap bergeming. Dilihatnya air mata masih deras menetes tanpa suara seperti tadi.
"Alara." Lembut, Ansel memanggil namanya kembali.
"Nanti, Kak. Aku sedang menunggu kepulangan mas Arvin. Aku takut dia merasa diabaikan jika aku tidak ada di sini." Hati mana yang kuat mendengar kata-kata sendu dari pemilik mata lentik di depannya ini. Ansel bisa merasakan, seberapa dalam kecewa bercampur harapan di dalam hati Alara.
"Dia tidak akan pulang malam ini Alara. Mungkin dia akan kembali seminggu lagi!" jelas Ansel sesuai perkataan Arvin tadi.
"Kak! Kenapa suamiku tega memperlakukan aku seperti ini, ya! Apa salahku sebenarnya?" Ingin sekali cowok itu memberi tahu kenyataan yang sebenarnya. Ingin sekali Ansel membongkar sandiwara sepupunya tersebut. Namun hal itu belum tentu membuat hati dan pikiran Alara menjadi baik. Justru jika harus terbongkar akan semakin membuat wanita itu jauh lebih terpuruk. Dan yang pasti, hubungan dia dengan Arvin juga akan menjadi renggang karena masalah ini.
Tidak, Ansel tidak akan melakukan itu. Dia pun sudah menganggap Arvin seperti saudara kandungnya sendiri, karena antara dirinya dengan Arvin merupakan sama-sama anak semata wayang di keluarganya masing-masing.
"Alara lebih baik kita pulang, yuk! Saat ini Arvin sedang berada di Melbourne, dia mengecek kondisi perusahaan pusat karena sudah lama tidak dia kunjungi. Oleh sebab itu sekarang dia berada di sana untuk menyelesaikan urusannya terlebih dahulu baru kembali ke sini. Sudah ya, lebih baik kamu pulang, istirahat dan siapkan dirimu sebaik mungkin untuk menyambut kedatangannya seminggu lagi." Alara menoleh ke arah Ansel.
"Kenapa dia selalu menghubungimu tapi tidak pernah sekali pun mau menghubungiku, Kak! Kesalahan apa yang aku buat sehingga dia tega melakukan ini padaku?" Ansel gelagapan, dia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga sepupunya. Namun dia juga tidak tega melihat kerapuhan gadis itu.
Dia harus bicara kepada Arvin, Arvin tidak boleh menyakiti Alara lebih dalam lagi. "Aku tidak tahu Alara. Nanti kalau dia menghubungiku lagi, akan aku bicarakan hal ini padanya." Ansel berdiri, bersiap untuk meraih tangan Alara akan tetapi wanita itu menarik tangannya.
"Aku bisa sendiri, Kak!" tanpa menunggu laki-laki di sebelahnya, Alara lebih dulu melangkah meninggalkan pria tersebut. Sudah menjadi kebiasaan bagi Ansel jika dirinya selalu ditinggalkan oleh gadis yang menyedihkan itu.
"Huft, kebiasaan banget. Selalu ninggalin aku sendiri. Apa sudah menjadi hobi barunya harus meninggalkan sosok orang yang selalu berusaha melindunginya. Menyebalkan." Satu sudut bibir Ansel terangkat. Dia pun selalu geleng-geleng kepala setiap melihat tingkah Alara.
"Aku harus menasehati Arvin. Biar bagaimana pun pernikahannya, dia tidak boleh memperlakukan Alara dengan buruk. Gadis itu tidak bersalah, tidak sepatutnya menerima balas dendam yang tak beralasan ini. Arvin benar-benar sudah keterlaluan." Sambil mengutak atik ponsel guna mencari nama Arvin, Ansel yang sudah sangat emosi terus saja ngedumal tanpa henti.
Panggilan pun tersambung dan detik itu juga Ansel tidak bisa menahan cacian yang sudah sedari tadi Ia tahan. "Bisa tidak kamu berlaku baik sebentar saja kepada istrimu! Apa kamu tahu bagaimana seharian ini dia menunggu kedatanganmu? Aku tidak menyangka seorang Arvin Mahaprana bisa setega ini terhadap wanita. Bukankah kamu bilang, sebagai lelaki kita harus menghargai dan menjaga kaum Hawa sepenuh hati? Karena jika berlaku buruk maka tidak halnya kita melakukan itu terhadap ibu kita sendiri. Apa kau sudah lupa dengan semua petuah yang kamu ucapkan padaku?" teriak Ansel meluapkan kekesalannya terhadap sepupunya.
"Sel!"
"Diam! Apa hak mu menyakiti wanita sebaik dan setulus Alara, hah? Andai saja waktu itu kamu tidak menikahinya pun dia malah tidak rugi, bahkan dia juga tidak meminta untuk kamu nikahin dia, kan? Semua itu paksaan dari Tante, kan? Bukan dari gadis malang itu? Kenapa tidak kamu ceraikan saja dia biar dia bisa memperoleh kebahagiaannya sendiri bersama pria lain. Aku benar-benar kecewa denganmu Arvin. Sungguh sikapmu ini bukan seperti pria sejati. Cepat hubungi istrimu dan beri dia kabar agar tidak terlalu sedih seperti sekarang ini!" Panggilan pun diakhiri sepihak. Ansel berharap, kali ini Arvin mau menuruti permintaannya. Hatinya ikut sedih setiap kali melihat air mata yang keluar dari pelupuk mata gadis itu.
Di seberang sana Arvin memikirkan ucapan semua yang terlontar dari bibir pedas asistennya. Apa yang dikatakan Ansel memang benar adanya, dia bertindak kejam karena tidak mau berinteraksi sedikit pun dengan istrinya. "Apa aku harus menghubunginya?"
Setelah banyak pertimbangan, akhirnya Arvin memutuskan untuk menghubungi Alara. "Hallo." Suara gemetar terdengar jelas di telinga Arvin. Suara berat khas sehabis menangis lama begitu ketara.
"Hai, bagaimana kabarmu?" tidak ada sahutan sama sekali. Alara belum mampu menjawab pertanyaan Arvin karena dirinya sedang dikuasai oleh cairan bening yang masih belum mau berhenti.
"Alara, aku minta maaf atas sikapku selama ini karena tidak bisa memberimu kabar. Aku sibuk Alara, kumohon kamu mau mengerti."
Dengan sesenggukan Alara pun menjawab seadanya. "Iya, aku mengerti."
"Apa kamu marah padaku?"
"Tidak, untuk apa aku marah denganmu? Sedangkan aku memang tidak punya hak untuk itu," jawaban menohok begitu menyentil hati Arvin.
"Tidak Alara kamu berhak, maafkan aku. Bisakah aku beralih kepanggilan video." Alara bergeming. Saat ini kemarahannya sudah memuncak, untuk sekarang sepertinya enggan buat bertatap muka dengan Arvin.
Entah setuju atau tidak, diamnya Alara membuat Arvin berpikiran jika istrinya menyetujui melakukan panggilan video. Dua menit kemudian, mode panggilan sudah berubah. Sebenarnya antara malu, bahagia, sedih, kecewa serta marah menjadi satu padu di dirinya.
Ragu-ragu namun Alara tetap mengangkatnya, dia tidak ingin mengecewakan pria itu walaupun sang mata Elang itu sudah sangat mengecewakannya. "Assalamualaikum," salam Alara lirih, tapi terdengar merdu di gendang telinga Arvin.
"Walaikum salam. Kenapa malah atap yang nampak, dimana wajah istriku?" Rayu Arvin.
"Apa Mas tidak sibuk sehingga menghubungiku?" Tanya Alara tanpa mau menunjukkan wajahnya, bisa dipastikan jika saat ini mata Alara membengkak akibat terlalu lama menangis.
"Bukankah kamu merindukanku? Kenapa wajahmu kamu sembunyikan? Apa ungkapan kangenmu waktu itu hanya kebohongan belaka?" Perlahan kamera diarahkan ke wajahnya, bodo amat dengan yang namanya sembab. Mau tak mau dia harus mengabulkan keinginan suaminya.
Ketika wajah Alara mulai muncul sedikit demi sedikit hingga akhirnya nampak seluruhnya, ada sedikit rasa tidak enak hati karena sudah membuat wanita itu menangis hingga terlihat begitu nelangsa. "Apa aku sudah sekejam itu? Ah, tapi biarlah. Memang ini kan yang aku mau? Aku harus mengenyahkan rasa kasihanku padanya. Tidak ada ampun untuknya, ingat Arvin, nanti malam kamu akan melamar wanita yang begitu kamu cintai. Jangan goyahkan hatimu. Buat gadis itu semenderita mungkin, buang jauh-jauh belas kasihan untuknya." Arvin menggeleng lalu kembali mencoba berucap lagi selembut mungkin.
"Apa kamu habis menangis? Kenapa menangis?" sungguh pria tidak berakhlak. Bisa-bisanya dia bertanya tanpa beban. Bukankah semua ini gara-gara dia. Jika saja dia memiliki sedikit waktu untuk Alara, mana mungkin matanya sebesar bakpao seperti sekarang ini.
Alara menghela nafas berkali-kali, mencoba meredam kemarahannya. Dia takut saat bicara hanya umpatan yang akan keluar dari bibirnya. Istigfar berkali-kali digumamkan sebelum menjawab rentetan pertanyaan dari suaminya.
"Bismillahirrohmaanirrohiim."
Hai kakak kakak semua terima kasih banyak untuk dukungannya ya, ayu kak! mohon beri saya komentar dan reviewnya. Jangan lupa juga untuk tambahkan novel ini ke koleksi kakak semua. semoga kita selalu diberi kesehatan dan dijauhkan dari segala hal buruk ya. selamat pagi, selamat beraktifitas. semoga tulisan ini bisa membuat awal hari kalian menyenangkan.